Warisan Guru Besar Pidana Ikut Dieksekusi, AAI Persoalkan Putusan MA
Utama

Warisan Guru Besar Pidana Ikut Dieksekusi, AAI Persoalkan Putusan MA

Setelah mengajukan penangguhan penahanan, pihak ahli waris mendaftarkan gugatan perlawanan untuk membatalkan eksekusi.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: BAS
Foto ilustrasi: BAS
Hinggap saja bagai langau, titik saja bagai hujan. Peribahasa itu mungkin cocok menggambarkan peristiwa yang tengah menimpa keluarga alm. Prof. Loebby Loqman, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Indonesia. Pasalnya, tanpa ada kejadian apa-apa, tiba-tiba ahli waris Prof. Loebby mendapat surat perintah eksekusi.

Surat pemberitahuan eksekusi yang datang didasarkan pada penetapan pelaksanaan eksekusi dalam perkara nomor 429/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Sel tertanggal 21 Desember 2015. Sesuai putusan Mahkamah Agung No. 351/PK/Pdt/2014 jo. Putusan MA No. 300 K/Pdt/2011 jo. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 134/PDT/2010 jo. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 429/Pdt.G/2009/PN.Jkt.Sel.

Perkara tersebut sesungguhnya tidak melibatkan keluarga alm. Prof Loebby. Seseorang bernama Liu Djan Sen, warga Cipulir Jakarta Selatan, mengajukan gugatan kepada Kepala Kantor BPN Jakarta Selatan, Kepala Kantor Kelurahan Petukangan Selatan, serta lima orang dengan alamat yang sama di daerah Menteng Jakarta Pusat. Mereka adalah Susilowati Ng., Ali Handoyo, Rudy Handoyo, Efie Handoyo, dan Agus Handoyo. Selain itu, ada tiga pihak lain yang menjadi turut tergugat dalam perkara ini. Mereka adalah notaris, Kepala Kantor BPN Kabupaten Tangerang, dan seorang bernama Frederik Berthold.

Dalam perkara wanprestasi itu, Liu Djan Sen menggugat agar dirinya dinyatakan sebagai pemilik yang sah atas sebidang tanah seluas 4.570 m2 di daerah Cipulir, Jakarta Selatan. Dia juga meminta majelis membatalkan sertifikat-sertifikat yang telah terbit atas nama para tergugat. Sehingga, ia bisa menguasai tanah yang menjadi objek sengketa tersebut.

Pada tingkat pertama, majelis hakim mengabulkan sebagian gugatan Liu Djan Sen. Ia dinyatakan sebagai pemilik sah tanah yang menjadi objek sengketa. Kemudian, majelis hakim juga memutus bahwa tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum. Tak hanya itu, hakim menilai 17 sertifikat atas nama para tergugat cacat hukum.

“Segala pengalihan hak ataupun penandatanganan surat-surat maupun akta atas tanah berikut bangunan tersebut kepada pihak lain tanpa sepengetahuan dan seizing penggugat adalah tidak sah dan batal demi hukum,” demikian diungkapkan Hakim Ketua Prasetyo Ibwu Asmara, sebagaimana dikutip dari berkas putusannya.

Hakim pun memerintahkan kepada para tergugat atau siapa saja yang menempati tanah beserta bangunan yang menjadi objek sengketa itu untuk segera meninggalkannya dalam keadaan baik. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah bagi keluarga alm. Prof. Loebby Loqman. Sebab, setelah menempati tanah dan bangunan milik keluarga mereka sejak tahun 1983, tiba-tiba mereka diminta untuk pergi pada hari Senin (7/3).

Ternyata, tanah dan bangunan warisan Prof. Loebby Loqman masuk ke dalam bagian tanah yang diperkarakan. Tak terima dengan putusan yang mengusik kedamaian kehidupan keluarganya, kedua anak Prof. Loebby Loqman pun meminta Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) untuk membela mereka. Alhasil, eksekusi atas tanah dan rumah keluarga itu berhasil ditangguhkan.

“Jadi saya meilhat ini ada kesalahan objek sengketa. Seharusnya para pihak yang bersengketa itu janganlah menyeret-nyeret sampai ke tanah orang. Kami punya bukti-bukti kuat, makanya eksekusi terhadap tanah dan rumah kami bisa ditangguhkan. Hanya tanah kosong di sebelah rumah saja yang akhirnya diekseksui,” ujar Hamonangan Sinurat, salah satu kuasa hukum ahli waris Prof. Loebby Loqman kepada hukumonline, Kamis (10/3).

Menurut Hamonangan, pihak keluarga tidak pernah mengalihkan hak tanah dan bangunan mereka kepada siapapun. Terlebih dalam perkara yang menyangkut tanah kosong di sebelah tanah keluarga Prof. Loebby Loqman, tak ada satupun anggota keluarga yang menjadi pihak. Sehingga, Hamonangan yakin bahwa putusan MA itu salah sasaran.

Untuk membuktikan kesimpulannya, Hamonangan bersama timnya telah mengajukan gugatan perlawanan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan itu ia daftarkan pada hari Kamis (3/3) lalu. “Kami harus membatalkan penetapan eksekusi atas rumah milik (alm.) Prof. Loebby tersebut melalui gugatan perlawanan kami,” tandas Hamonangan.

Tags:

Berita Terkait