Inilah Poin-Poin Perubahan Perpres Jaminan Kesehatan
Utama

Inilah Poin-Poin Perubahan Perpres Jaminan Kesehatan

Pencegahan kecurangan dimasukkan dan diatur dalam satu bab khusus. Anggota DPRD masuk kategori peserta penerima upah.

Oleh:
ADY TD ACHMAD
Bacaan 2 Menit
Inilah Poin-Poin Perubahan Perpres Jaminan Kesehatan
Hukumonline
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Perubahan pertamanya dilakukan lewat Perpres No. 111 Tahun 2013. Perubahan keduanya ini berimplikasi pada pemangku kepentingan seperti peserta. Sebab ada beberapa perubahan penting dalam revisi Perpres. Simak saja poin-poin pentingnya.

Pasal 1 angka 14a Perpres mengatur tentang kecurangan kecurangan (fraud) dalam pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) pada Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Fraud adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan keuntungan finansial dari program JKN dalam SJSN melalui perbuatan curang yang tidak sesuai dengan ketentuan. Berarti agar terjadi fraud ada unsur kesengajaan.

Pasal 4 ayat (2) huruf e Perpres memasukkan pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dalam kategori peserta penerima upah (PPU).

Pasal 5 ayat (1) menegaskan jumlah anggota keluarga yang ditanggung peserta kategori PPU paling banyak 5 orang yakni PPU, istri/suami yang sah, anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah, dan anak angkat yang sah.

Bagi pekerja yang belum didaftarkan pemberi kerja dalam program JKN, sesuai ketentuan Pasal 11 ayat (3) Perpres, boleh mendaftar sendiri dengan melampirkan dokumen yang membuktikan status ketenagakerjaannya. Ayat selanjutnya menegaskan iuran yang dibayar pekerja yang mendaftar sendiri besaran iurannya mengacu Perpres Jamkes.

Pasal 11 ayat (5) Perpres menyebut jika pekerja/buruh belum terdaftar pada BPJS Kesehatan, pemberi kerja wajib bertanggung jawab pada saat pekerja membutuhkan pelayanan kesehatan sesuai manfaat yang diberikan oleh BPJS Kesehatan. Pasal 11 ayat (6) mengatur sanksi untuk pemberi kerja yang belum mendaftarkan pekerjanya dalam program JKN, sanksi berupa teguran tertulis; denda; dan/atau tidak mendapat pelayanan publik tertentu.

“Tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” begitu bunyi pasal 11 ayat (7) Perpres Jamkes.

Pasal 11 ayat (8) mengamanatkan kepada setiap pekerja bukan penerima upah sesuai ketentuan pasal 6 ayat (3) huruf c wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya secara sendiri-sendiri atau berkelompok sebagai peserta JKN. Ketentuan itu juga berlaku bagi setiap orang bukan pekerja sebagaimana diatur dalam pasal 11 ayat (9) Perpres Jamkes.

Ketentuan baru yang ditambahkan dalam Perpres Jamkes yaitu Pasal 12 ayat (2) tentang identitas peserta berupa Kartu Indonesia Sehat (KIS). Identitas paling sedikit memuat nama dan nomor identitas peserta yang terintegrasi dengan nomor identitas kependudukan (NIK) kecuali untuk bayi baru lahir dari ibu yang terdaftar sebagai PBI. Pasal 12 ayat (2a) menegaskan KIS diberikan kepada peserta secara bertahap.

Pasal 16 ayat (3) menegaskan iuran JKN bagi PBPU dan bukan pekerja (BP) dibayar oleh peserta atau pihak lain atas nama peserta. Pasal 16A ayat (1) memaparkan kenaikan besaran iuran PBI dari Rp19.225 menjadi Rp.23.000 per orang setiap bulan. Pasal 16A ayat (2) mengatur berlakunya iuran PBI itu sejak 1 Januari 2016.

Pasal 16B ayat (1) sebagian besar tidak ada perubahan, hanya ada penambahan frasa 'pimpinan dan anggota DPRD.' Begitu juga pasal 16B ayat (3) huruf b ada tambahan frasa 'bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah, pimpinan dan anggota DPRD.'

Pasal 16D mengubah batas atas gaji atau upah per bulan yang digunakan sebagai dasar penghitungan besaran iuran JKN bagi PPU dari 2 kali penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dengan status kawin dengan 1 orang anak menjadi Rp8 juta.

Besaran iuran bagi PBPU naik, itu tercantum dalam pasal 16F ayat (1). Untuk ruang perawatan kelas III Rp30.000 (sebelumnya Rp25.500), kelas II Rp51.000 (sebelumnya Rp42.500), kelas 1 Rp80.000 (sebelumnya Rp59.500). Pasal 16F ayat (2) mengatur kenaikan besaran iuran itu mulai berlaku 1 April 2016.

Ada satu ayat yang ditambahkan dalam pasal 16H yakni ayat (4), menjelaskan pembayaran iuran JKN bagi anggota keluarga yang lain sebagaimana ayat (2) diawali dengan pemberian surat kuasa dari pekerja kepada pemberi kerja untuk melakukan pemotongan tambahan iuran dan menyetorkan kepada BPJS Kesehatan.

Pasal 17A.1 berisi ketentuan yang intinya mengatur penghentian penjaminan oleh BPJS Kesehatan bagi peserta yang terlambat membayar iuran lebih dari sebulan sejak tanggal 10, serta denda yang dikenakan kepada peserta yang telat membayar iuran.

Pasal 21 ayat (1) huruf b nomenklatur 'imunisasi dasar' diubah menjadi 'imunisasi rutin. Pasal 21 ayat (3) mengatur pelayanan imunisasi rutin meliputi pemberian jenis imunisasi rutin sesuai ketentuan perundang-undangan. Pasal 21 ayat 4 menegaskan pelayanan kontrasepsi vasektomi dan tubektomi masuk sebagai manfaat promotif preventif.

Pasal 21 ayat 4a mengatur pemenuhan kebutuhan alat dan obat kontrasepsi bagi peserta JKN di fasilitas kesehatan (faskes) diatur dengan Peraturan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). “Vaksin untuk imunisasi rutin serta alat dan obat kontrasepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) disediakan oleh pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” begitu paparan pasal 21 ayat (5) Perpres Jamkes.

Pasal 22 ayat (1) menghapus pelayanan transfusi darah di faskes tingkat pertama (FKTP). Untuk pelayanan di faskes tingkat lanjutan (FKRTL) ada yang ditambah yaitu pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi medis dasar (ayat (1) huruf b angka 2); pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik (ayat (1) huruf b angka 3); dan pelayanan keluarga berencana (ayat (1) huruf b angka 11).

Pasal 22 ayat (2) menjelaskan pelayanan kesehatan yang dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 2 hanya berlaku untuk pelayanan di unit gawat darurat. Pasal 22 ayat (3) mengatur pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b angka 11 tidak termasuk keluarga berencana yang telah dibiayai pemerintah.

Selain mendapat pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pasal 22 ayat (1) mengacu pasal 22 ayat (4) peserta juga berhak mendapat pelayanan berupa alat kesehatan. Ditegaskan pasal 22 ayat (5) alat kesehatan yang dimaksud termasuk alat bantu kesehatan.

Pasal 22A memberi kewenangan kepada Menteri untuk menetapkan pelayanan kesehatan lain yang dijamin berdasarkan penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment) dengan memperhitungkan kecukupan iuran setelah berkoordinasi dengan menteri keuangan.

Berikutnya, Pasal 23 huruf b angka 4 memasukan PPU selain angka 1 sampai 3 dan pegawai pemerintah non PNS dengan gaji sampai Rp4 juta mendapat ruang perawatan kelas II. Kelas I untuk pimpinan dan anggota DPRD beserta anggota keluarganya (Pasal 23 huruf c angka 2). Ruang perawatan kelas I juga diperoleh peserta PPU selain angka 1 sampai 5 dan pegawai pemerintah non PNS dengan gaji di atas Rp4-Rp8 juta (Pasal 23 huruf c angka 8).

Dibanding peraturan sebelumnya, Perpres Jamkes mengatur lebih rinci peserta yang menginginkan kelas perawatan yang lebih tinggi daripada haknya. Itu diatur dalam Pasal 24 yang terdiri dari empat ayat. Ada beberapa ketentuan baru dalam Pasal 25 yang mengatur tentang pelayanan kesehatan yang tidak dijamin BPJS Kesehatan. Misalnya, Pasal 25 ayat (1) huruf c menjelaskan BPJS Kesehatan tidak menjamin pelayanan kesehatan yang dijamin oleh program Jaminan Kecelakaan Kerja terhadap penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja atau hubungan kerja.

Pada Pasal 29 ayat (2a), (2b) dan (2c) diatur bahwa BPJS Kesehatan bisa memindahkan peserta dari satu FKTP ke FKTP lain. Pasal 32 ayat (3) memasukan BKKBN sebagai salah satu unsur dalam Komite Nasional. Pasal 32A ayat (1) dan (2) menegaskan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah atas ketersediaan obat, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai sesuai dengan ketentuang peraturan perundang-undangan. Pasal 36 ayat (4a) mengatur keterlibatan dinas kesehatan kabupaten/kota dalam pelaksanaan kerja sama BPJS Kesehatan dengan faskes.

Pasal 36A terdiri dari tiga ayat yang intinya melarang faskes menarik biaya kepada peserta selama pelayanan yang diberikan sesuai dengan manfaat yang berhak diterima peserta. Pasal 38 ayat (1) huruf b dan c menegaskan batas waktu pembayaran klaim BPJS Kesehatan kepada faskes paling lambat 15 hari kerja. Pasal 38A mengatur daluarsa pengajuan klaim oleh faskes kepada BPJS Kesehatan yakni dua tahun sejak pelayanan kesehatan diberikan.

Pasal 39 ayat (1a) menegaskan pengaturan pembayaran kapitasi kepada FKTP milik pemerintah pusat mengikuti ketentuan di bidang keuangan negara. Pasal 39 ayat (5) mengamanatkan agar evaluasi tarif kapitasi dan INA-CBGs dilakukan dengan menghitung kecukupan iuran dan kesinambungan program sampai dua tahun ke depan. Pasal 39A ayat (1) dan (2) membolehkan BPJS Kesehatan meminta rekam medis peserta kepada faskes.

Pasal 43A ayat (1), (2) dan (3) mengatur pengembangan teknis operasionalisasi sistem pelayanan kesehatan, kendali mutu pelayanan dan pembayaran pelayanan kesehatan dalam JKN. Pasal 45 ayat (2) menjelaskan peserta dan faskes bisa mengadu kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota dan/atau Menteri jika tidak mendapat pelayanan yang baik dari BPJS Kesehatan. Pasal 46 ayat (1a) memperjelas peran Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, Kabupaten/Kota dan/atau Badan Pengawas Rumah Sakit (RS) dalam penyelesaian sengketa pelayanan kesehatan pada program JKN.

Pemerintah menyelaraskan Perpres Jamkes dengan Permenkes No. 36 Tahun 2015 tentang Pencegahan Kecurangan (fraud) Dalam Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan. Itu terlihat dari adanya BAB khusus terkait fraud di pasal 46A ayat (1)-(5) Perpres Jamkes.

Bab XIII mengatur tentang pengawasan dalam penyelenggaraan program JKN. Pasal 46B ayat (1) sampai ayat (4) menjelaskan keterlibatan berbagai pihak dalam melakukan pengawasan seperti Dinas Kesehatan, Badan Pengawas RS, Dewan Pengawas RS, perhimpunan/asosiasi RS dan/atau organisasi profesi.

Dalam ketentuan peralihan ada Pasal 46D yang menjelaskan kartu kepesertaan yang dimiliki peserta sebelum Perpres Jamkes diundangkan dinyatakan tetap berlaku sepanjang belum diganti dengan KIS. Perpres ini ditetapkan di Jakarta pada 29 Februari 2016 oleh Presiden Joko Widodo, dan diundangkan Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly pada 1 Maret 2016.
Tags:

Berita Terkait