Peran Turut Serta Dahlan Iskan “Hilang” di Vonis Korupsi Mobil Listrik
Berita

Peran Turut Serta Dahlan Iskan “Hilang” di Vonis Korupsi Mobil Listrik

Penuntut umum mengaku sudah berupaya meminta majelis memanggil paksa Dahlan Iskan, tapi tidak dikabulkan.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Dasep Ahmadi di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES
Dasep Ahmadi di Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: RES
Majelis hakim yang diketuai Arifin menghilangkan peran turut serta mantan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Dahlan Iskan dalam putusan perkara korupsi pengadaan 16 unit mobil listrik Direktur PT Sarimas Ahmadi Pratama (SAP) Dasep Ahmadi. Majelis menganggap Dasep tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama Dahlan.

“Majelis belum mendapat bukti cukup atas fakta hukum untuk menyebutkan saksi Dahlan Iskan sebagai melakukan perbuatan melawan hukum secara bersama-sama terdakwa, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang mengakibatkan kerugian negara,” kata Arifin saat mebacakan pertimbangannya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (14/3).

Arifin menjelaskan, berdasarkan rumusan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, pelaku tindak pidana terdiri dari orang yang melakukan, menyuruh melakukan, atau secara bersama-sama melakukan. Dalam hal bersama-sama, sedikitnya harus ada dua orang, yakni orang yang melakukan dan turut melakukan peristiwa pidana.

Menurutnya, kedua orang tersebut harus semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan. Tidak boleh, misalnya, hanya melakukan perbuatan persiapan atau perbuatan yang sifatnya menolong. Sebab, jika demikian, orang yang menolong itu tidak masuk sebagai medepleger atau dihukum sebagai orang yang membantu tindak pidana.

Sesuai dakwaan penuntut umum, Dasep disebut melakukan tindak pidana korupsi pengadaan 16 unit mobil listrik bersama-sama Dahlan. Akan tetapi, berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, majelis belum mendapatkan bukti cukup untuk menyimpulkan Dasep melakukan tindak pidana bersama-sama Dahlan.

“Hal ini mengingat saksi Dahlan Iskan belum pernah dihadirkan penuntut umum di persidangan untuk didengar keterangannya, baik dalam kaitan perbuatan pidana yang dilakukan terdakwa maupun yang dilakukan saksi Dahlan Iskan. Prematur menyebutkan perbuatan terdakwa terbukti secara bersama-sama dengan saksi Dahlan Iskan,” ujar Arifin.

Terlebih lagi, pengadaan 16 unit kendaraan mobil listrik untuk peserta delegasi KTT APEC XXI tahun 2013 di Bali yang menjadi objek dalam perkara ini merupakan perjanjian yang disepakati oleh Dasep dengan tiga perusahaan sponsorship, yaitu PT Perusahaan Gas Negara (PGN), PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan PT Pertamina.

Namun, sekalipun Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP tidak terpenuhi, majelis tidak sependapat dengan dalil pengacara Dasep yang menilai surat dakwaan ini sengaja dibuat sebagai pintu masuk untuk menarik Dahlan sebagai tersangka atau terdakwa. Arifin menganggap penuntut umum telah melaksanakan tugas dan kewajibannya secara proporsional.

“Oleh karena itu, terkait barang bukti yang telah disita dan dijadikan barang bukti dalam perkara a quo, masih terbuka kemungkinan perkara ini untuk terdakwa lain. Maka majelis berpendapat, seluruh barang bukti akan dikembalikan kepada penuntut umum untuk dijadikan barang bukti dalam perkara lain,” terangnya.

Dengan demikian, Arifin menyatakan, Dasep terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secaramelawan hukum memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebagaimana Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU Tipikor.

Majelis menghukum Dasep tujuh tahun penjara dan denda Rp200 jutasubsidair tiga bulan kurungan. Selain itu, Dasep dihukum membayar uang pengganti Rp17,118 miliar. Apabila uang pengganti tidak dibayar satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, harta benda Dasep akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Jika tidak mencukupi juga, Dasep dipidana dua tahun penjara.

Arifin mengungkapkan, jumlah uang pengganti yang dibebankan terhadap Dasep berbeda dengan tuntutan penuntut umum, yaitu Rp28,993 miliar. Pasalnya, meski Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) telah menghitung kerugian negara sebesar Rp28,993 miliar, tidak terungkap jelas berapa sesungguhnya besaran uang yang diperoleh Dasep.

Namun, di sisi lain, telah terbukti enam unit mobil yang selesai dikerjakan Dasep telah diserahterimakan kepada PT Pratama Mitra Sejati (cucu perusahaan Pertamina) dan dihibahkan kepada enam universitas untuk digunakan sebagai sarana penelitian. Sementara, sembilan unit untuk PT PGN dan PT PLN telah disita dan satu unit lainnya telah diagunkan Dasep kepada pihak ketiga.

Kasus ini bermula rencana untuk memamerkan prototipe mobil listrik karya anak bangsa dalam KTT APEC tahun 2013 di Bali. Lalu, Dasep dengan sejumlah sponsorship dari PT BRI, PT PGN dan Pertamina melakukan kerja sama untuk pengembangan mobil listrik. Namun, menurut hakim anggota Casmaya, pembuatan bus dan mobil listrik PT BRI, PT PGN, dan Pertamina itu tidak dilakukan pelelangan sebagaimana Keputusan Direksi PT PGN tanggal 12 Februari 2013, Keputusan Direksi PT BRI tanggal 15 September 2011, dan Dokumen Pertamina tentang pedoman pengadaan barang/jasa.

Terlebih lagi, Dasep juga tidak memiliki sertifikat keahlian dalam pembuatan mobil listrik, belum mempunyai hak cipta, paten, merek, serta belum pernah membuat mobil listrik model executive car. Adapun pembuatan bus listrik ternyata hanya hasil modifikasi body yang dibuat oleh karoseri PT Aska Bogor dan PT Delima Bogor, serta chasis merek Hino.

Sementara, untuk executive electric car, Dasep membeli mobil Toyota Alphard tahun 2005 dengan harga sekitar Rp300 juta. Kemudian, mobil yang dibeli Dasep itu dimodifikasi oleh PT Rekayasa Mesin Utama yang belokasi di Bogor dan transmisi dimodifikasi oleh Dasep sendiri di Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

Nyatanya, lanjut Casmaya, PT SAP tidak membuat keseluruhan, yaitu 16 unit mobil listrik untuk mendukung sarana transportasi delegasi APEC XXI 2013 sebagaimana yang diperjanjikan dengan PT BRI, PT PGN, dan Pertamina. PT SAP hanya mampu membuat tiga unit kendaraan yang terdiri dari satu unit electric bus dan dua unit executive electric car.

Mobil-mobil itu pun, belum memenuhi syarat teknis berdasarkan surat Dirjen Perhubungan Darat tanggal 3 Oktober 2013. Berdasarkan pendapat ahli dari LKPP Nurlisa Arfani, Dasep sebagai vendor pelaksana pembuatan mobil listrik juga dinilai melanggar Perpres No.54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Masih ada celah
Meski dalam putusan, majelis menyatakan Dasep tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama Dahlan, penuntut umum Victor Antonius mengaku masih memiliki celah. Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan majelis yang mengembalikan barang bukti kepada penuntut umum untuk digunakan dalam perkara lain.

“Barang buktinya disebut digunakan untuk perkara lain, berarti masih ada nanti. (Peran Dahlan) Nanti kami dalami. Itu masih ada celah untuk penuntut umum. Jadi, kalau melihat alasannya, DI (Dahlan Iskan) ini kan dibilang belum pernah datang (ke persidangan). Padahal, kami sudah pernah meminta upaya paksa dari majelis,” tuturnya.

Bahkan, Victor pernah meminta majelis membuat penetapan untuk pemanggilan Dahlan ke persidangan. Faktanya, majelis tidak pernah mengeluarkan penetapan untuk memanggil Dahlan. Sementara, penuntut umum telah melayangkan tiga kali surat panggilan secara patut untuk menghadirkan Dahlan ke persidangan.

Alih-alih menghadiri sidang, sambung Victor, Dahlan malah mengirimkan surat kepada Kejaksaan melalui pengacaranya, yang intinya mengatakan keterangan Dahlan sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di penyidikan. Untuk itu, Dahlan meminta keterangannya dalam BAP dibacakan di persidangan.

Di lain pihak, Dasep menegaskan dirinya akan mengajukan banding atas putusan majelis. Dasep tidak terima jika upayanya untuk mengembangkan prototipe mobil listrik dianggap sebagai kejahatan. Kalaupun ada kekurangan dari pekerjaannya, Dasep menganggap hal itu bukan masuk ranah pidana, melainkan perdata.

“Kami telah melakukan sesuatu yang terbaik. Aset yang berharga dari sebuah prototipe kan sebenarnya desainnya, bukan hardware-nya. Saya lihat ini mungkin belum memahami bagaimana research itu. Jadi saya didesak teman-teman, kalau katakan lah hukumannya berlebihan, teman-teman ITB alumni mendesak saya supaya banding,” tandasnya.
Tags:

Berita Terkait