KPK "Lirik" Korupsi Korporasi Seiring Rencana Penerbitan SEMA
Utama

KPK "Lirik" Korupsi Korporasi Seiring Rencana Penerbitan SEMA

SEMA akan mengatur tata cara persidangan, termasuk mekanisme-mekanisme lain yang berhubungan dengan tanggung jawab korporasi.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Gedung KPK. Foto: RES
Gedung KPK. Foto: RES
Sejak KPK berdiri, lembaga antirasuah ini belum pernah menjadikan korporasi sebagai subjek atau tersangka korupsi. Padahal, UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No.20 Tahun 2001 (UU Tipikor) telah memberikan instrumen untuk menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi.

Tidak hanya KPK, instrumen tersebut pun jarang dipergunakan aparat penegak hukum lain, seperti Kepolisian dan Kejaksaan. Hanya tercatat satu kasus korupsi korporasi yang berhasil dibawa ke persidangan, yaitu kasus korupsi PT Giri Jaladhi Wana dalam proyek pembangunan Pasar Sentra Antasari yang disidik Kejaksaan Negeri Banjarmasin.

PT Giri dihukum membayar Rp1,3 miliar dan hukuman tambahan penutupan sementara selama enam bulan. Adapun kasus korupsi korporasi lainnya yang sempat disidik Kejaksaan Agung (Kejagung) adalah kasus korupsi korporasi PT Indosat Tbk dan PT Indosat Mega Media (IM2) pada 2013. Namun, tidak jelas kelanjutan perkaranya.

Meski instrumen untuk menjerat pelaku korupsi korporasi telah tersedia dalam UU Tipikor, aparat penegak hukum jarang sekali menggunakannya. Salah satu alasan yang pernah disampaikan pimpinan KPK terdahulu adalah sulitnya merumuskan bagaimana tanggung jawab korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi.

Terlebih lagi, belum ada aturan pelaksanaan mengenai acara persidangan bagi pelaku korupsi korporasi. Untuk menyiasati kekurangan itu, KPK dan Kejaksaan pernah mencoba menuntut korporasi turut serta membayar kerugian negara, tetapi kerap gagal karena hakim menganggap korporasi dimaksud tidak dijadikan sebagai terdakwa.

Mengingat permasalahan itu, Wakil Ketua KPK Laode M Syarife mengatakan, akhirnya Mahkamah Agung (MA) berencana mengeluarkan Surat Edaran. "SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) mengatur tata cara persidangan, termasuk mekanisme-mekanisme lain yang berhubungan dengan tanggung jawab korporasi," katanya, Kamis (17/3).

Laode mengungkapkan, KPK dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung diundang MA untuk membahas rencana penerbitan SEMA tersebut. Dengan adanya SEMA itu, nantinya KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian mempunyai patokan yang jelas untuk menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi.

Lantas apa saja masukan yang akan disampaikan KPK kepada MA terkait SEMA? Laode mengaku pihaknya masih merumuskan. Walau begitu, ia menegaskan, seiring dengan rencana penerbitan SEMA tengah dibahas MA, KPK akan mulai "melirik" korporasi sebagai subjek pelaku tindak pidana korupsi. "Akan segera," ujarnya.

Menjerat korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi dianggap sangat potensial untuk memaksimalkan pengembalian kerugian negara. Laode menilai, salah satu cara yang ampuh untuk meminta pertanggungjawaban korporasi adalah dengan menyasar kartel-kartel yang terlibat korupsi dengan pejabat publik.

Apa KPK akan memulai dengan menjerat korporasi milik mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin, yaitu Permai Grup, yang sudah terang-benderang di persidangan terbukti menikmati hasil korupsi dari sejumlah proyek pengadaan pemerintah? Laode menjawab, "Belum tahu. Sabar saja dulu".

Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki menilai, gerakan antikorupsi saat ini hanya mengawasi seperlima dana yang harus diawasi, yakni APBD sejumlah Rp2100 triliun. Padahal, uang yang beredar di Indonesia mencapai Rp12 ribu triliun. Untuk itu, korupsi di sektor swasta juga harus mendapat perhatian.

Menurut Teten, United Nations Convention against Corruption (UNCAC) sudah memberikan kerangka korupsi di sektor swasta. Contohnya kasus Enron di Amerika Serikat. Ketika perusahaan raksasa swasta itu melakukan korupsi dan ambruk, maka dampak sosial ke dunia sangat besar.

Indonesia sendiri sudah meratifikasi UNCAC melalui UU No.7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003. "Catatan saya ini harus menjadi perhatian kita semua, bagaimana korupsi di sektor swasta, bukan hanya fokus pengadaan pemerintah yang hanya seperlima dari total dana beredar di Indonesia," terang Teten.

Sementara, mantan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto berpendapat, ada sejumlah permasalahan yang akan dihadapi dalam penanganan korupsi korporasi. Misalnya, dampak terhadap karyawan perusahaan tersebut sehingga KPK harus bekerja sama dengan pejabat pengelolaan aset, bila terjadi pengambilalihan aset.

Bambang menyatakan, KPK pernah menangani kasus semi-korporasi di era Antasari Azhar. Kasus yang dimaksud adalah kasus korupsi Presiden Direktur PT Surya Dumai Grup, Pung Kian Hua yang mengendalikan perusahaan-perusahaan kehutanan untuk dibangun kebun sawit. Pung Kian Hua divonis 1,5 tahun penjara dan diminta membayar  uang pengganti Rp346 miliar.

Sebagaimana diketahui, Pasal 20 UU Tipikor mengatur mengenai tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh korporasi. Sanksi pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah sepertiga. Adapun pidana tambahan diatur dalam Pasal 18 UU Tipikor, salah satunya penutupan perusahaan.
Tags:

Berita Terkait