Resmi Jadi UU, Ini Poin Penting UU Penanganan Krisis
Utama

Resmi Jadi UU, Ini Poin Penting UU Penanganan Krisis

Mulai peranan KSSK hingga penanganan dengan mengedepankan konsep bail in.

Oleh:
ROFIQ HIDAYAT
Bacaan 2 Menit
Suasana sidang paripurna DPR. Foto: SGP
Suasana sidang paripurna DPR. Foto: SGP
DPR akhirnya memberi persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK) menjadi UU melalui rapat paripurna yang digelar Kamis (17/3) sore kemarin. Sejumlah poin penting dalam UU tersebut sebagai upaya pencegahan dan penanganan krisis keuangan dalam negeri terhadap gejolak luar negeri.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, inti dari UU PPKSK fokus pada pencegahan dan penenganan permasalahan bank sistemik sebagai bagian penting dari sistem keuangan.  Pertama, permasalahan bank sistemik dapat menyebabkan gagalnya sistem pembayaran yang berujung tidak berfungsinya sistem keuangan secara efektif. Bahkan berdampak langsung terhadap roda perekonomian.

Kedua, sebagian besar dana masyarakat dikelola oleh sektor perbankan, khususnya bank sistemik. Oleh sebab itulah, dibutuhkan penjagaan keberlangsungan fungsi dan layanan utama bank dari kemungkinnan kegagalan. Terhadap UU PPKSK, setidaknya Bambang mencatat terdapat lima poin utama.

Pertama, penguatan peran dan fungsi serta koordinasi antara empat lembaga yang bergabung dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Komite ini diatur dalam Bab II yakni Pasal 4 hingga Pasal 15. KSSK terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan. Keberadaan KSSK dalam rangka melakukan pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. Keempat lembaga tersebut masing-masing sesuai dengan tupoksinya melaksanakan upaya maksimal melakukan pencegahan krisis sistem keuangan

“Selain itu, RUU ini juga mengamanatkan kepada keempat lembaga tersebut untuk secara bersama-sama melakukan koordinasi yang reguler dan intensif, baik dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan, maupun penanganan kondisi krisis sistem keuangan,” ujarnya dalam rapat paripurna.

Kedua, mendorong upaya pencegahan krisis melalui penguatan fungsi pengawasan perbankan. Khususnya, bank yang ditetapkpan sebagai bank sistemik. Penerapan daftar bank sistemik mesti dilakukan sedari awal saat stabilitas keuangan dalam kondisi normal.

Tak hanya itu, mesti pula dilakukan pemuktahiran daftar bank sistemik per enam bulan. Menurutnya, untuk kali pertama penetapan daftar bank sistemik dilakukan paling lambat tiga bulan sejak diundangkannya UU PPKSK. Dengan kata lain, penetapan sistemik tidaknya suatu bank, tak boleh dilakukan saat bank tersebut megalami permasalahan.

Ketiga, penanganan permasalahan bank dengan mengedepankan konsep bail in. Yakni, penanganan permasalahan likuiditas dan solvabilitas bank menggunakan sumber daya bank bersangkutan yang berasal dari pemegang saham dan kreditur bank. Kemudian, hasil pengelolaan asset dan kewajiban bank serta kontribusi industry perbankan. Bambang berpandangan pendekatan tersbeut sejalan dengan rekomendasi Financial Stability Board (FSB). Bahkan menjadi praktik yang lazim diterapkan di negara G-20.

“Melalui pendekatanbail in, diharapkan penanganan permasalahan bank tidak membebani keuangan Negara,” imbuhnya.

Keempat, metode penanganan permasalahan likuditas dan solvabilitas bank diatur secara lengkap dan komprehensif, yakni dilakukan lebih dini antara lain melalui penerapan rencana aksi penyehatan bank (recovery plan) yang ttelah disusun oleh bank. Menurutnya, ketika terjadi permasalahan likuiditas, UU PPKSK mengatur detil mekanisme pemberian pinjaman likuiditas jangka pendek, atau pembiayaan likuiditas jangka pendek berdasarkan prinsip syariah.

Kemudian, bila bank mengalami permasalahan solvabilitas, UU PPKSK memperkenalkan dua metode baru dalam penanganan yang lebih efektif, yakni pengalihan sebagian atau seluruh asset dana tau kewajiban bank kepada bank lain sebagai bank penerima. Selain itu, dapat pula melakukan pengalihan kepada bank baru yang didirika sebagai bank perantara.

Kelima, presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan memegang kendali penuh dalam penanganan ksisis system keuangan. Presiden pun bertindak selaku penentu akhir untuk memutuskan kondisi stabilitas sistem keuangan dalam kondisi normal atau krisis sistem keuangan setelah mendapat rekomendasi dari KSSK. Presiden pun dapat memutuskan atau mengakhiri program restrukturisasi perbankan apabila terjadi permasalahan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional.

Wakil Ketua Komisi XI M Prakosa mengatakan, UU PPKSK terdiri dari 8 Bab dan 55 pasal. Bab I mengatur ketentuan umum, Bab II mengatur KSSK, Bab III mengatur pencegahan krisis sistem keuangan, Bab IV mengatur penanganan ksisis sistem keuangan. Kemudian Bab V mengatur ketentuan pidana, Bab VI mengatur ketentuan lain-lain, Bab VII mengatur peralihan, dan Bab VIII mengatur penutup.

Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengatakan, setelah disahkan menjadi UU, menjadi landasan dan payung hukum bagi lembaga dalam upaya memelihara stabilitas sistem keuangan. Menurutnya dengan stabiltas sistem keuangan yang terjaga akan meningkatkan kepercayaan dan kenyamanan masyarakat terhadap sector keuangan.

“Sehingga tercipta iklim perekonomian nasional yang stabil dan tangguh untuk mendukung program-program pembangunan nasional,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait