4 Hal yang Wajib Diperhatikan Advokat Sebelum Terima Klien
Berita

4 Hal yang Wajib Diperhatikan Advokat Sebelum Terima Klien

Mulai dari mempertimbangkan skill hingga minta ‘restu’ dari firma hukum.

Oleh:
NNP/FAT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Bahwa saya tidak akan menolak untuk melakukan pembelaan atau memberi jasa hukum di dalam suatu perkara yang menurut hemat saya merupakan bagian daripada tanggung jawab profesi saya sebagai seorang advokat”. Itulah sepenggal bunyi sumpah yang wajib diucapkan setap advokat sebelum menjalankan profesinya dalam sidang terbuka di pengadilan tinggi di wilayah domisili hukum masing-masing.

Pada praktiknya, tak mudah bagi advokat jika harus menerima semua perkara yang dibawa oleh calon klien. Padahal, Pasal 6 huruf f UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tegas menyatakan bahwa advokat dapat dikenai tindakan apabila melakukan pelanggaran yang dalam hal ini berarti melanggar sumpah atau janjinya tersebut. Lantas, bagaimana sebaiknya sikap advokat? Apakah ada hal-hal yang mesti diperhatikan sebelum menangani perkara?

Ditemui hukumonline di sela-sela gathering yang digelar oleh DPC PERADI Bandung pada Sabtu (19/3) di Bandung, Wakil Ketua Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Advokat Indonesia (DPP AAI), Efran Helmi Juni dan Wakil Ketua Pos Bantuan Hukum Ikatan Advokat Indonesia (Posbakum IKADIN) Bandung, Deden R Aquariandi bersedia berbagi pengalamannya sekaligus berbagi tips kepada para advokat sebelum menerima perkara yang dibawa oleh calon klien.

Berikut sejumlah tips yang berhasil hukumonline himpun:    

1.    Sesuaikan dengan Skill
Meski dilarang menolak menangani suatu perkara dari seorang klien. Namun dalam kondisi-kondisi tertentu, advokat dibolehkan dan bahkan diwajibkan menolak perkara atau memberikan bantuan hukum kepada calon klien. Secara etik, hal yang demikian itu memang dimungkinkan untuk dilakukan advokat. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 3 huruf a Kode Etik Profesi Advokat (KEAI) yang menyatakan bahwa advokat dibolehkan menolak jika tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya.

Berangkat dari sana, Efran berpendapat bahwa advokat memang tidak dapat menangani semua jenis perkara. Sebagaimana diketahui, lingkup praktik advokat umumnya terdiri dari litigasi dan non litigasi. Selain itu, karakteristik antara keduanya juga sangat berbeda satu dengan lainnya. Sehingga, lanjutnya, setiap advokat mesti menyesuaikan skill mereka terhadap jenis perkara tertentu yang dibawa oleh calon klien.

“Kalau dia basic di korporasi, kalau ada perkara di litigasi dia akan sulit. Sebaliknya, advokat yang memang fokus ke litigasi, dia ngga bisa ketika menyangkut masalah transaksi bisnis, merger, akuisisi, hingga kepailitan. Itu perlu hal-hal yang khusus,” kata Efran.

2.    Minta ‘Restu’ Firma Hukum
Secara umum, di setiap firma hukum biasanya terdiri dari beberapa partners, senior associate, hingga junior associate. Dalam konteks menerima atau menolak calon klien, dalam praktiknya seorang advokat juga bisa membutuhkan ‘restu’ dari firma hukum tempatnya bekerja. Meski, Pasal 15 UU Nomor 18 Tahun 2003 menyebutkan bahwa advokat bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya. 

Bagi Deden, setiap advokat sebelumnya mesti berunding dengan firma hukumnya sebelum akhirnya menerima atau menolak calon klien. Tak hanya terkait dengan konteks menolak atau menerima calon klien, tujuan seorang advokat berunding sekaligus untuk membicarakan bagaimana teknis penanganan perkara yang dibawa oleh sang klien.

“Kita harus bahas itu. Rembukan dulu untuk bagaimana nanti penanganan perkaranya,” jelas Deden.

Hal senada juga disampaikan oleh Efran. Firma hukum tempatnya bekerja di Efran Helmi Juni & Associates memilki aturan bahwa seorang advokat tidak bisa memutuskan sendiri apakah menerima atau menolak calon klien yang datang kepadanya. Ia menjelaskan, mekanisme menerima atau menolak perkara tertentu diputuskan dalam forum rapat kantor.

Salah satu pertimbangannya, lanjut Efran, lantaran jasa hukum yang diberikan oleh advokat menyangkut dengan pertanggungjawaban profesional yang mesti diukur secara tepat. Sehingga, dipandang perlu untuk mendapat persetujuan dalam forum apakah perkara tertentu akan ditangani atau tidak.

“Itu diputuskan dalam forum rapat kantor. Baik menyangkut masalah teknis dan ranah kode etik. Itu keputusannya adalah insitusional kantor, bukan keputusan pribadi. Kita harus tukar pikiran, minta pendapat hukum dari partner dan associate di kantor,” jelas Efran.

3.    Terbuka dengan Calon Klien
Dalam kondisi dimana perkara yang dibawa oleh calon klien ternyata tidak dapat ditangani oleh advokat. Lalu, bagaimana cara menyampaikan hal itu kepada calon klien?

Baik Efran maupun Deden, keduanya berpendapat bahwa setiap calon klien mestinya tahu apa yang melatarbelakangi kasus yang dialaminya tidak bisa ditangani oleh advokat. Meski cara penyampaiannya disesuaikan kondisi tertentu. Namun, yang menjadi prinsip adalah KEAI secara rinci mengatur alasan-alasan seorang advokat boleh menolak perkara tertentu.

Misalnya, advokat tersebut menilai bahwa perkara tertentu secara prinsip dan teknis pelaksanaannya nantinya berpotensi menimbulkan hal yang tidak sreg antara advokat dengan klien. Dimana, hal itu berpengaruh kepada profesionalitas seorang advokat yang semestinya dipegang teguh selama menangani perkara.

“Harus terbuka, karena dengan terbuka itu akan lebih baik. Klien, baik orang per orang atau korporasi merasa senang kalau advokat itu terbuka. Jangan terima perkara yang nantinya malah jadi tidak profesional,” sebut Efran.

4.    FeeJangan Jadi Ukuran
Masing-masing advokat punya kriteria sendiri ketika menentukan besarnya honorarium yang mesti dibayar oleh sang klien. Namun, pertimbangan besar atau kecilnya honorarium jika merujuk pada Pasal 4 huruf d KEAI juga mesti mempertimbangkan kemampuan klien. Tak hanya itu, advokat juga dilarang membenani klien dengan biaya-biaya yang diperlukan. 

Antara Efran dan Deden, keduanya sepakat bahwa setiap advokat tidak boleh menolak perkara yang dibawa oleh calon klien lantaran persoalan besaran fee yang dianggap ‘tidak cocok’. Bagi Efran, besarnya fee yang diminta mestinya rasional disesuaikan dengan jenis perkara, estimasi lamanya perkara tersebut, sampai dengan apakah klien itu orang per orang atau korporasi.    

“Itu jadi pertimbangan tentukan rate kita. Misalnya, litigasi kan bisa berbulan-bulan. Kita bisa ukur operasional kita berapa yang dikeluarkan dan itu jadi ukuran tentukan fee. Tapi kita ngga boleh tolak karena alasan fee,” kata Efran.

Sementara itu, Deden berpendapat bahwa ketika klien yang datang kepada advokat ternyata berlatar belakang orang yang kurang mampu. UU Nomor 18 Tahun 2003 tegas melarang advokat untuk menolak calon klien tersebut. “Kalaupun klien tidak mampu kita kan ada wadah yang namanya Posbakum atau Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Kita harus tetap terima meskipun ada beberapa syarat ya, seperti surat keterangan tidak mampu,” pungkasnya.
Tags: