Rehabilitasi Nama Terdakwa, Media Punya Kewajiban Apa?
Berita

Rehabilitasi Nama Terdakwa, Media Punya Kewajiban Apa?

Kasus-kasus menarik biasanya otomatis dipublikasikan.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
FH Usahid Jakarta menggelar seminar nasional yang membahas independensi dan imparsialitas pers dalam kasus korupsi. Foto: MYS
FH Usahid Jakarta menggelar seminar nasional yang membahas independensi dan imparsialitas pers dalam kasus korupsi. Foto: MYS
Pemberitaan eksploitatif mengenai dugaan tindak pidana korupsi bisa merusak nama naik, harkat, dan martabat seseorang. Apalagi pemberitaan tidak diikuti dengan prinsip praduga tak bersalah, tidak cover both sides, dan bersifat menghakimi. Tokoh publik atau artis yang namanya terseret pusaran kasus korupsi seringkali menjadi ‘bulan-bulanan’ pemberitaan meskipun yang bersangkutan tak terlibat langsung perkara korupsinya.

Beberapa kali hakim memutus terdakwa tidak bersalah. Jika terdakwa tidak salah, hakim umumnya memerintahkan agar nama baik, harkat dan martabat yang bersangkutan dipulihkan.

Pasal 97 KUHAP menegaskan seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Ketua Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum Fakultas Hukum Universitas Sahid (FH Usahid) Jakarta, Yuherman, mengatakan rehabilitasi itu melekat dengan sendirinya pada putusan hakim. Putusan hakim itu, yang memuat amar rehabilitasi, adalah deklarasi rehabilitasi nama, harkat, dan martabat terdakwa. “Itu ada dalam amar majelisnya langsung,” kata Yuherman kepada hukumonline di sela-sela seminar tentang ‘Independensi dan Imparsialitas Peran Media Massa dalam Pemberantasan Korupsi’ di Jakarta, Senin (28/3).

Pemberitaan mengenai tindak pidana korupsi masih sering tidak fokus. Misalnya, jika ada nama artis atau tokoh yang disebut, fokus pemberitaan mengarah pada tokoh dimaksud meskipun keterlibatannya hanya sekadar menerima uang saat mengisi acara. Berita besarnya justru mengenai artis atau tokoh bersangkutan. Menurut Yuherman, inilah tantangan independensi dan imparsialitas media massa dalam pemberantasan korupsi.

Pemberitaan yang berlebihan (eksploitatif) dan tidak fokus bisa merusak harkat dan martabat seseorang. Jika sudah rusak, tak mudah mengembalikan nama baik, harkat dan martabat seseorang yang pernah dituduh melakukan korupsi. Kerusakan itu bisa dalam lingkup kantor, sekolah, keluarga, atau di komunitas tertentu. “Itu sulit sekali dipulihkan,” kata Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers 2013-2016, M. Ridlo Eisy.

Yuherman dan Ridlo sependapat tidak ada kewajiban hakim untuk memerintahkan media mempublikasikan rehabilitasi nama dan martabat seorang terdakwa yang divonis bebas. Yang bisa dilakukan media adalah secara sukarela untuk memberitakan vonis bebas terdakwa. Itu pun tidak ada jaminan semua media yang dulu menulis dugaan korupsi itu akan memuat vonis bebas tersebut. Namun berdasarkan kelaziman, media akan otomatis memberitakan putusan bebas kasus-kasus yang menarik. Apalagi jika sejak awal media bersangkutan mengikuti proses persidangan.

Karena itu, Ridlo mengusulkan agar pengadilan mengirimkan semacam rilis ke media jika hakim memerintahkan rehabilitasi kepada seseorang. Meskipun tak mungkin ‘mengobati’ kerusakan nama baik, setidaknya ada upaya bersama untuk melakukan rehabilitasi melalui pemberitaan. Selain itu, Ridlo menyarankan agar media selalu berhati-hati menuliskan kasus korupsi, perzinaan, dan pembunuhan. “Berita mengenai hal itu harus disusun dengan hati-hati,” ujarnya saat menjadi pembicara di acara yang sama.  

Hakim agung T. Gayus Lumbuun, berpendapat kunci penting pers menjalankan tanggung jawabnya di alam demokrasi adalah profesionalisme. Ia yakin jika profesional, media akan tetap menjaga independensinya.
Tags:

Berita Terkait