1 April Iuran Naik, Cermati Ketentuan Jaminan Kesehatan
Berita

1 April Iuran Naik, Cermati Ketentuan Jaminan Kesehatan

Ada tujuh pasal yang perlu dicermati.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Loket BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit. Foto: RES
Loket BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit. Foto: RES
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Regulasi terbaru mengatur antara lain kenaikan iuran peserta bukan penerima upah (PBPU) dan penerima bantuan iuran (PBI). Kenaikan iuran untuk PBPU berlaku mulai 1 April 2016.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mencatat ada sejumlah pasal dalam Perpres No. 19 Tahun 2016 yang patut dicermati selain ketentuan yang mengatur soal kenaikan iuran untuk PBPU. Misalnya, Pasal 11 ayat (5) Perpres No. 19 Tahun 2016 membuka peluang multitafsir, bisa digunakan oleh pemberi kerja untuk tidak mendaftarkan pekerjanya dalam program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola BPJS Kesehatan.

Ketentuan itu harus diperbaiki dan diperjelas agar pekerja yang belum didaftarkan itu jadi tanggungjawab perusahaan. BPJS Kesehatan untuk sementara menanggung biaya pelayanan kesehatan pekerja tersebut dan kemudian menagihkan biayanya kepada perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 16D mengatur batas atas upah yang digunakan sebagai penghitungan dasar besaran iuran yakni Rp8 juta. Timboel mengusulkan agar batas atas itu tidak menggunakan acuan nominal tapi PTKP sebagaimana regulasi sebelumnya. Sebab, PTKP secara otomatis setiap tahun naik, sehingga  besaran iuran yang dibayar juga meningkat. Menurutnya itu penting untuk membantu mengatasi masalah defisit yang dialami BPJS Kesehatan. “Mestinya batas atas yang digunakan itu 3 kali PTKP,” katanya di Jakarta, Senin (28/3).

Berikutnya, pasal 17 A.1 Perpres No. 19 Tahun 2016, mengatur bagi peserta yang telat bayar iuran dalam satu bulan pelayanannya langsung dihentikan. Setelah peserta yang telat bayar iuran menunaikan kewajibannya, kepesertaan langsung aktif tapi ada masa tunggu 45 hari.

Jika dalam masa tunggu itu peserta menggunakan kartu kepesertaannya untuk mendapat pelayanan kesehatan maka peserta harus membayar 2,5 persen dari total biaya pelayanan kesehatan yang diterima atau paling tinggi Rp30 juta. Bagi Timboel ketentuan itu melanggar UU SJSN karena dalam UU tersebut tidak ada amanat kepada BPJS Kesehatan untuk mengenakan denda kepada peserta yang telat bayar iuran.

Timboel mengusulkan penghentian pelayanan kesehatan dilakukan setelah peserta yang bersangkutan telat membayar iuran selama tiga bulan. Ketentuan itu pernah diatur dalam peraturan sebelumnya. Penyebab terlambatnya peserta membayar iuran tidak melulu karena peserta itu sendiri yang lalai, tapi juga ditemukan sistem pembayaran yang ada belum optimal. Misalnya, ada peserta yang tidak bisa melakukan pembayaran lewat bank yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, akibatnya peserta telat bayar iuran.

Pasal 29 ayat (1) Perpres No. 19 Tahun 2016 menurut Timboel membatasi peserta baru untuk memilih fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama. Sebab aturan itu menyebut untuk pertama kali setiap peserta didaftarkan pada satu faskes yang ditetapkan BPJS Kesehatan setelah mendapat rekomendasi dinas kesehatan di kabupaten/kota setempat.

Mestinya, peserta boleh memilih faskes seperti yang berlaku selama ini. Jika peserta baru didaftarkan oleh BPJS Kesehatan ke satu faskes tanpa usulan peserta, bisa jadi lokasi faskes itu jauh dari tempat tinggal peserta.  Timboel melihat pasal 32 Perpres No. 19 Tahun 2016 tidak melibatkan asosiasi faskes seperti klinik dan RS dalam menentukan daftar dan harga obat, alat kesehatan serta bahan medis habis pakai. Ia mengusulkan agar Komite Nasional mengikutsertakan asosiasi faskes, itu sebagaimana amanat pasal 24 ayat (1) UU SJSN yang mengamanatkan besarnya pembayaran kepada faskes ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan asosiasi faskes di wilayah tersebut.

Pasal 38 ayat (1b) dan (1c) menyebut BPJS Kesehatan wajib membayar kepada faskes paling lambat 15 hari kerja. Merujuk pasal 24 ayat (2) UU SJSN Timboel menjelaskan pembayaran oleh BPJS Kesehatan kepada faskes paling lambat 15 hari. Jika menggunakan hari kerja sebagai acuan dikhawatirkan pembayaran klaim BPJS Kesehatan ke faskes akan lebih lama. “Ini berpotensi mengganggu cash flow RS,” ujarnya.

Terakhir, Timboel mengkritik pasal 39 ayat (5) Perpres No. 19 Tahun 2016 tentang penentuan besaran kapitasi dan INA-CBGs yang dilakukan oleh Menteri Kesehatan, DJSN, BPJS Kesehatan dan Menteri Keuangan. Ketentuan itu tidak melibatkan asosiasi faskes seperti klinik dan RS. Padahal pasal 24 ayat (1) UU SJSN mengamanatkan besarnya pembayaran kepada faskes untuk setiap wilayah ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara BPJS Kesehatan dan faskes di wilayah tersebut. “UU SJSN menginginkan kapitasi dan Indonesia Case Base Groups (INA-CBGs) besarannya tidak harus sama di seluruh Indonesia,” tukas Timboel.

Sebelumnya, Direktur Hukum, Komunikasi dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Bayu Wahyudi, mengatakan Perpres No. 19 Tahun 2016 itu diterbitkan untuk menjaga keberlanjutan program JKN. Sekaligus meningkatkan mutu layanan. Tercatat tahun 2014-2015 BPJS Kesehatan mengalami missmatch (defisit,-red) Rp5 triliun. “PP itu mengatur penyesuaian tarif bukan saja PBPU tapi juga peserta penerima bantuan iuran (PBI),” ujarnya di gedung DPR/MPR.
Tags:

Berita Terkait