Marthen Boiliu, Satpam Merangkap Lawyer
Berita

Marthen Boiliu, Satpam Merangkap Lawyer

Sejak kecil bercita-cita menjadi pembela, ketika bekerja sebagai satpam hak-haknya tidak dipenuhi perusahaan. Itu yang mendorong Marthen mengenyam pendidikan hukum.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Marthen Boiliu di ruang sidang PN Jakpus. Foto: RES
Marthen Boiliu di ruang sidang PN Jakpus. Foto: RES
“Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan mendapat.” Begitulah kalimat bijak yang memotivasi setiap orang untuk melakukan pekerjaan, apapun, secara sungguh-sungguh. Kesungguhan adalah jalan menuju kesuksesan. Begitu pula perjalanan hidup yang dialami Marthen Boiliu. Dari seorang petugas keamanan perusahaan, ia mampu menjadi seorang lawyer. Berkat pengetahuan hukum itu pula namanya terpatri sebagai salah seorang pekerja yang berhasil menguji Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Nama Marthen tak bisa dilepaskan dari Putusan MK No. 100/PUU-IX/2013. Dalam putusan itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 96 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan bertentangan dengan konstitusi dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dampaknya, pekerja bisa menuntut pembayaran upah dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan kerja tanpa batasan waktu. Jangka waktu daluarsa jika melampaui jangka waktu dua tahun sejak timbulnya hak sudah tidak berlaku lagi. Putusan itu memberi angin segar bagi buruh yang upahnya tidak dibayar perusahaan sesuai ketentuan, termasuk uang penghargaan masa kerja dan penggantian. Lewat putusan MK itu mereka bisa menuntut hak-hak tersebut kapan saja.

Orang yang mengajukan permohonan judicial review terhadap Pasal itu, tak lain, adalah Marthen. Beberapa waktu lalu, hukumonline berkesempatan menggali kembali perjalanan hidupnya hingga memberanikan diri ke Mahkamah Konstitusi.

Ia mengaku mengerjakan permohonannya ke MK itu sendiri. Berbekal ilmu yang dia dapat di bangku kuliah dan membaca berbagai buku dan artikel hukum. “Saya mengajukan gugatan JR ke MK itu tahun 2012. Ketika itu saya masih kuliah sekitar semester empat,” kata pria kelahiran Koaenu, Kabupaten TTS, Nusa Tenggara Timur itu kepada hukumonline di Gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (17/3).

JR yang diajukan Marthen ke MK itu bermula dari tidak dipenuhinya hak-hak Marthen dan kawan-kawannya yang bekerja sebagai satpam berstatus kontrak di PT Sandhy Putra Makmur (SPM). Tahun 2009 hubungan kerja Marthen dkk diputus perusahaan (PHK) tanpa mendapat hak pesangon. PHK terjadi karena perusahaan ingin melakukan efisiensi sejak kalah tender.

Setelah di-PHK Marthen menyodorkan lamaran kerja ke PT GSD. Kemudian diterima lagi sebagai satpam dan bekerja di tempat yang sama yakni Gedung Telkom di jalan Gatot Subroto, Jakarta. Tahun 2010 sembari menjalani profesinya sebagai satpam, Marthen melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan mengikuti program sarjana di FH UKI. Di bangku kuliah, Marthen mulai mengerti bahwa dia dan rekan-rekannya di PT SPM punya hak ketika di-PHK.

Walau punya bukti yang cukup untuk memperjuangkan hak, Marthen dkk terbentur Pasal 96 UU Ketenagakerjaan. Mulai dari situ Marthen berpikir untuk mengajukan JR ke MK. “Saya bersyukur dengan putusan JR itu dampaknya bukan saja terhadap saya tapi pekerja/buruh di seluruh Indonesia,” ujarnya.

Memilih FH bukan semata-mata karena Marthen menghadapi perkara ketenagakerjaan. Ia mengaku sejak kecil sudah bercita-cita menjadi pembela. Penyebabnya, keluarga Marthen kerap mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. “Ketika saya masih SMP orang tua saya bertanya apa cita-citamu? Spontan saya menjawab mau jadi pembela,” tukasnya.

Perlakuan yang kurang baik juga dialami Marthen ketika pertama kali bekerja di Jakarta. Dia pernah menjadi staf gudang dan naik jabatan jadi kepala gudang. Walau merasa telah bekerja keras untuk perusahaan dan menjaga loyalitas, Marthen kecewa karena kesejahteraannya tidak diperhatikan perusahaan. Pengalaman pahit itu juga dia rasakan ketika bekerja ke perusahaan lain sebagai satpam.

Marthen berhasil menyelesaikan kuliahnya selama tiga setengah tahun dan wisuda di tahun 2014. Gelar sarjana hukum itu dia raih dengan penuh pengorbanan, sampai harus tidur di pinggir jalan. Marthen mengikuti kuliah jadwal reguler, sehingga waktu kuliah dan kerja harus diatur dengan baik.

Jika dia masuk shift malam, setelah bekerja dia tidak pulang ke rumah tapi langsung ke kampus untuk kuliah. Di perjalanan sebelum ke kampus, Marthen tidak segan mencari tempat teduh dan tidur beralas koran untuk menghilangkan kantuk dan lelah, sekalipun lokasinya di pinggir jalan.

“Saking lelahnya saya berulang kali nabrak saat mengendarai motor. Saya pernah masuk selokan, menabrak pohon dan jembatan,” ucap Marthen.

Marthen merasa biaya kuliah yang ketika itu Rp8 juta per semester sangat berat bagi dirinya yang bekerja sebagai satpam. Untungnya, untuk membiayai uang kuliah Marthen dibantu istrinya yang juga bekerja sebagai buruh dan kadang mendapat bantuan orang lain. Tidak jarang Marthen memperoleh keringanan dari pihak universitas karena dia sering mewakili kampus mengikuti lomba debat. Sempat meraih juara 1 dalam lomba debat hukum di FH UKI tahun 2011.

Masih Satpam
Walau sudah mengenyam gelar SH Marthen masih menjalankan pekerjaannya sebagai satpam di sebuah perusahaan. Dia sudah mengusulkan kepada manajemen perusahaan agar dirinya di PHK, namun sampai sekarang belum mendapat tanggapan. Alhasil, ketika bersidang terutama di daerah, Marthen terpaksa meninggalkan pekerjaannya. Bahkan pernah tidak masuk kerja sampai dua pekan karena harus menghadiri sidang di Kupang menangani perkara perbuatan melawan hukum (perdata).

Sampai saat ini Marthen masih menerima gaji setiap bulan dari perusahaan yang mempekerjakannya sebagai satpam. Ia merasa perusahaan memberikan privilege sehingga dia bisa tidak masuk kerja ketika ada panggilan sidang. “Saya ini pengacara tapi masih menerima gaji dari perusahaan. Mungkin profesi saya ini satpam yang merangkap pengacara,” urainya sambil tersenyum.

Sebagai pengacara, Marthen mengaku tidak terlalu fokus pada jenis perkara tertentu. Ia akan menangani perkara jenis apapun yang diterima. Menurutnya, hal itu memacu dirinya untuk terus belajar sehingga bisa menangani berbagai jenis perkara baik itu perdata, pidana atau lainnya.

Perkara paling banyak yang ditangani Marthen selama ini yakni perselisihan hubungan industrial (PHI). Kasus paling berkesan yang ia tangani yaitu gugatannya atas Pasal 96 UU Ketenagakerjaan ke MK. Menurutnya gugatan itu berkesan karena Marthen sebagai pekerja biasa melawan kekuatan yang menurutnya sangat besar yakni negara yang diwakili pemerintah. “Itu paling berkesan bagi saya karena lawan yang saya hadapi tidak seimbang, saya ini hanya satpam, buruh kontrak,” paparnya.

Ke depan Marthen berencana melakukan gugatan baru terhadap UU Ketenagakerjaan ke MK, terkait pasal yang berkaitan dengan penghitungan pesangon. Menurutnya, penghitungan pesangon yang ada di UU Ketenagakerjaan merugikan buruh yang masa kerjanya puluhan tahun. Ia berharap bisa mengulang sukses dalam mengajukan JR di MK sehingga bisa memberi dampak positif bagi buruh.

“Karena saya berangkat dari buruh maka saya akan membantu buruh selama itu dibenarkan menurut hukum,” pungkasnya.
Tags: