MA Tolak Uji Materi PP Gaji Hakim
Berita

MA Tolak Uji Materi PP Gaji Hakim

Alasan majelis hakim agung dinilai sumir.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Para hakim yang tergabung dalam FDHI. Foto: RES
Para hakim yang tergabung dalam FDHI. Foto: RES
Setelah ditunggu kalangan hakim, akhirnya Majelis Hakim Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan uji materi tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim. Alasannya, materi muatan PP Gaji Hakim ini tidaklah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.   Majelis menganggap semua dalil permohonan dianggap tidak beralasan hukum. “Menyatakan menolak permohonan untuk seluruhnya,” demikian bunyi amar putusan uji materi bernomor 28 P/HUM/2015. Putusan uji materi ini diputus pada 29 Desember 2015 lalu oleh majelis yang diketuai Yulius beranggotakan Imam Soebechi dan Mohammad Saleh dan baru diterima pengadilan pengaju pada 24 Maret 2016.   Seperti termuat dalam pertimbangan putusan itu, Majelis berpendapat dalil para Pemohon (FDHI) tidak dapat dibenarkan. Sebab, apa yang menjadi objek permohonan ini tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.   Menurut Majelis kata “” dalam Pasal 5 PP No. 94 Tahun 2012 yang mengatur tunjangan perumahan dan transportasi bagi Hakim faktanya memang belum terpenuhi sesuai kemampuan negara saat ini. Sesuai maknanya kata “” tersebut berarti memang ‘’. “Berdasarkan pertimbangan di atas, dalil permohonan para pemohon tidak beralasan menurut hukum,” sebutnya dalam pertimbangan putusan.   Menanggapi putusan ini, Koordinator FDHI Djoe Hadisasmito menilai pertimbangan p “Yang Sebagai seorang yang juga berprofesi hakim, dia mengingatkan hukum acara telah menggariskan agar setiap petitum permohonan dipertimbangkan. “Saya pikir, banyak hakim kecewa dengan putusan ini. Apalagi, pertimbangannya sumir dan tidak argumentatif seperti itu,” kritiknya. April 2015 lalu, Forum Diskusi Hakim Indonesia () melayangkan uji materi Pasal 3 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 PP No. 94 Tahun 2012. Pasalnya, beleid yang berisi kenaikan gaji dan tunjangan hakim ini dinilai telah mendegradasi kedudukan hakim sebagai pejabat negara karena struktur gaji dan tunjangan hakim masih mengikuti struktur penggajian pegawai negeri sipil (PNS).

Pemohon mengakui sebenarnya di satu sisi PP ini menguntungkan bagi hakim, tetapi dalam implementasinya bermasalah. Karena itu, Pemohon minta Pasal 3 ayat (2) PP No. 94 Tahun 2012 dihapus, kata ‘dapat’ dalam Pasal 5 ayat (2) harus dimaknai ‘wajib’. Sedangkan Pasal 11 terkait pensiun PNS diubah dengan pensiun pejabat negara.

Untuk diketahui, mengacu pada PP No. 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di bawah Mahkamah Agung, disebutkan tunjangan Ketua Pengadilan Tingkat Banding sebesar Rp40,2 juta dan hakim pemula (masa kerja 0 tahun) untuk pengadilan Kelas II sebesar Rp8,5 juta. Jadi, diperkirakan take home pay hakim pemula berkisar Rp10,5 juta hingga Rp45 juta bagi hakim paling senior (hakim tinggi).

PP No. 94 Tahun 2012





dapatdapattidak wajib

utusan uji materi  Pasal 3 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), dan Pasal 11 PP Gaji Hakim masih sumir dan tidak memberi pertimbangan yang cukup. Sebab, dari tiga pasal atau petitum yang dimohonkan pengujian hanya Pasal 5 ayat (2) yang dipertimbangkan majelis. Sedangkan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 11 sama sekali tidak dipertimbangkan.

dipertimbangkan hanya Pasal 5 ayat (2). Itu pun sumir sekali pertimbangannya. Pertimbangan putusan uji materi PP No. 94 Tahun 2012 hanya satu alinea, jadi sangat sumir,” kata Djoe kepada hukumonline, Jum’at (01/4).

“Saya berhak mengomentari putusan ini dalam kapasitas saya sebagai salah seorang Pemohon hak uji materi (HUM), bukan sebagai Hakim.”

Sebelumnya, padaFDHI

Padahal, sejumlah undang-undang paket peradilan tahun 2009 telah mendudukan hakim sebagai pejabat negara.   Ketentuan itu dianggap bertentangan dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 49 Tahun 2009  tentang Peradilan Umum, UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.

Misalnya, Pasal 3 ayat (2) PP No. 94 Tahun 2012 masih menyamakan gaji hakim dengan gaji PNS. Padahal, di aturan sebelumnya gaji hakim dan PNS dibedakan.   Misalnya, Pasal 5 ayat (2) yang menyebut dalam hal rumah negara dan sarana transportasi belum tersedia, para hakim dapat diberikan tunjangan perumahan dan transportasi sesuai kemampuan keuangan negara.

Menurut FDHI, kata ‘dapat’ itu menimbulkan ketidakpastian bagi hakim karena tunjangan tersebut terkesan tidak menjamin kepastian kesejahteraan.   Sementara Pasal 11 disebutkan pensiun hakim mengikuti ketentuan pensiun PNS. Hal ini dinilai kontradiktif ketika hakim menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pejabat negara, namun ketentuan pensiunnya mengikuti ketentuan PNS.
Tags:

Berita Terkait