Pemohon mengakui sebenarnya di satu sisi PP ini menguntungkan bagi hakim, tetapi dalam implementasinya bermasalah. Karena itu, Pemohon minta Pasal 3 ayat (2) PP No. 94 Tahun 2012 dihapus, kata ‘dapat’ dalam Pasal 5 ayat (2) harus dimaknai ‘wajib’. Sedangkan Pasal 11 terkait pensiun PNS diubah dengan pensiun pejabat negara.
Untuk diketahui, mengacu pada PP No. 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di bawah Mahkamah Agung, disebutkan tunjangan Ketua Pengadilan Tingkat Banding sebesar Rp40,2 juta dan hakim pemula (masa kerja 0 tahun) untuk pengadilan Kelas II sebesar Rp8,5 juta. Jadi, diperkirakan take home pay hakim pemula berkisar Rp10,5 juta hingga Rp45 juta bagi hakim paling senior (hakim tinggi).
dapatdapattidak wajib
utusan uji materi Pasal 3 ayat (2), Pasal 5 ayat (2), dan Pasal 11 PP Gaji Hakim masih sumir dan tidak memberi pertimbangan yang cukup. Sebab, dari tiga pasal atau petitum yang dimohonkan pengujian hanya Pasal 5 ayat (2) yang dipertimbangkan majelis. Sedangkan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 11 sama sekali tidak dipertimbangkan.
dipertimbangkan hanya Pasal 5 ayat (2). Itu pun sumir sekali pertimbangannya. Pertimbangan putusan uji materi PP No. 94 Tahun 2012 hanya satu alinea, jadi sangat sumir,” kata Djoe kepada hukumonline, Jum’at (01/4).
“Saya berhak mengomentari putusan ini dalam kapasitas saya sebagai salah seorang Pemohon hak uji materi (HUM), bukan sebagai Hakim.”
Sebelumnya, padaFDHI
Padahal, sejumlah undang-undang paket peradilan tahun 2009 telah mendudukan hakim sebagai pejabat negara. Ketentuan itu dianggap bertentangan dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), dan UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara.
Misalnya, Pasal 3 ayat (2) PP No. 94 Tahun 2012 masih menyamakan gaji hakim dengan gaji PNS. Padahal, di aturan sebelumnya gaji hakim dan PNS dibedakan. Misalnya, Pasal 5 ayat (2) yang menyebut dalam hal rumah negara dan sarana transportasi belum tersedia, para hakim dapat diberikan tunjangan perumahan dan transportasi sesuai kemampuan keuangan negara.
Menurut FDHI, kata ‘dapat’ itu menimbulkan ketidakpastian bagi hakim karena tunjangan tersebut terkesan tidak menjamin kepastian kesejahteraan. Sementara Pasal 11 disebutkan pensiun hakim mengikuti ketentuan pensiun PNS. Hal ini dinilai kontradiktif ketika hakim menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pejabat negara, namun ketentuan pensiunnya mengikuti ketentuan PNS.