Konvensi Disabilitas Jamin Hak Pilih Penderita Gangguan Mental
Utama

Konvensi Disabilitas Jamin Hak Pilih Penderita Gangguan Mental

Pemohon hadirkan ahli dari Australia.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Bivitri Susanti. Foto: Sgp
Bivitri Susanti. Foto: Sgp
Staf pengajar Indonesia Jentera School of Law (IJSL), Bivitri Susanti menilai Pasal 57 ayat (3) huruf a UU  UU No. 8 Tahun 2015  tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU Pilkada) sangat potensial menghilangkan hak warga negara dalam Pilkada khususnya bagi penyandang disabilitas mental dan intelektual. Sebab, Indonesia telah meratifikasi (mengesahkan) Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) yang menjamin hak-hak penyandang disabilitas melalui UU No. 19 Tahun 2011.

“Istilah disablitas mental dan intelektual juga telah diadopsi UU Penyandang Disabilitas yang baru disahkan pada 17 Maret kemarin,” ujar Bivitri Susanti saat memberi pandangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU Pilkada di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Senin (04/4).

Sebelumnya, sejumlah masyarakat sipil seperti Jenny Rosanna Damayanti dari Perhimpunan Jiwa Sehat, Hj. Ariani dari Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA), dan Titi Anggraini dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mempersoalkan larangan penderita gangguan ingatan atau disabilitas gangguan mental (stress) untuk memilih dalam Pilkada yang diatur Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada.

Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada berbunyi: “Untuk dapat didaftar sebagai pemilih, warga negara Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya.” Pasal itu dinilai diskriminatif dan menghilangkan hak pilih warga negara yang mengidap psikososial atau disabilitas mental.

Menurutnya, gangguan psikososial dan disabilitas gangguan mental bukanlah jenis penyakit yang muncul terus menerus, setiap saat. Pengidap psikososial merupakan penyakit gejala gangguan mental dan gejala hilang ingatanyang bisa hilang sewaktu-waktu dan orang bersangkutan bisa normal kembali. Para pemohon meminta MK agar menghapus berlakunya pasal itu.

Bivitri mengutip Pasal 4 UU Penyandang Disabilitas yang menyebut ragam penyandang disabilitas yakni penyandang disabilitas fisik, intelektual, mental, dan sensoris. Menurutnya, hal terpenting, negara tidak memberi fasilitas kepada penyandang disabilitas karena belas kasihan, tetapi karena ada jaminan hak-haknya agar diterapkan secara akuntabel. Karena itu, hak diabilitas bukanlah open legal policy pembentuk UU, melainkan hak konstitusional.

“Kesetaraan semua warga negara termasuk penyandang disabilitas dijamin Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, sehingga tidak dapat didiskriminasi atas dasar apapun,” ujar ahli yang sengaja dihadirkan pemohon ini.

Menurutnya, pandangan pemerintah yang menyatakan Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada open legal policy karena dianggap sebagai syarat belaka merupakan logika keliru. Sebab, syarat didaftar sebagai pemilih merupakan fondasi dari hak untuk memilih. Bila tidak bisa didaftar jelas-jelas seseorang kehilangan hak politiknya. Apalagi, pasal itu tidak mengkualifikasi lebih lanjut mengenai frasa “tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya”.

“Pasal 57 ayat (3) huruf a UU Pilkada secara substantif melanggar hak semua penyandang disabilitas mental dan intelektual dan tidak akuntabel. Sebab, negara tidak memperlakukan secara sama setiap warganya dalam aktivitas penyelenggaraan negara,” tegasnya.

Ahli pemohon lainnya, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sydney, Ronald Clive McCallum, mengingatkan semua warga negara memiliki hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum yang dijamin konvensi internasional secara universal. Seperti, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), Konvensi Hak Sipil dan Politik, dan Konvensi Penyadang Disabilitas.

Profesor emeritus itu mengakui hingga tahun 2000, banyak warga negara yang terhalang berpartisipasi dalam pemilu lantaran disabilitas yang disandangnya. Lantaran dinilai melanggar HAM, Sidang Umum PBB mengesahkan CRPD pada Desember 2006. Hingga kini, sudah 162 negara, termasuk Indonesia dan Australia,  meratifikasi Konvensi Hak Disabilitas tersebut.

Ahli, penyandang tunanetra ini, mengutip Pasal 29 CRPD yang menyebut setiap penyandang disabilitas termasuk disabilitas mental memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu. “Pasal itu mengharuskan pemerintah untuk membolehkan setiap orang termasuk penyandang disabilitas menyalurkan hak pilihnya termasuk menyediakan tempat pemungutan suara sedemikian rupa bagi penyandang disabilitas,” ujar mantan Ketua Komite Hak-Hak Penyandang Disabilitas PBB ini.
Tags:

Berita Terkait