Begini Hukum Indonesia Memandang Perusahaan ‘Cangkang’
Berita

Begini Hukum Indonesia Memandang Perusahaan ‘Cangkang’

Meski tak diatur spesifik, namun keberadaan perusahaan offshore adalah legal sepanjang untuk tujuan yang tidak bertentangan dengan undang-undang. Praktiknya pun lazim dilakukan di Indonesia.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
ICIJ Offshore Leaks Database kategori Indonesia. Foto: https://offshoreleaks.icij.org (screenshot)
ICIJ Offshore Leaks Database kategori Indonesia. Foto: https://offshoreleaks.icij.org (screenshot)
Berita mengenai hasil investigasi bertajuk “Panama Papers” yang dimotori oleh International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ) dan Suddeutsche Zeitung kini tengah hangat diperbincangkan. Menjadi menarik, karena dokumen berukuran 2,6 terabita ini diketahui berasal dari dokumen ‘bocor’ dari sebuah lawfirm bernama Mosseck Fonseca & Co. (MF). Diketahui, dokumen tersebut menguak praktik penyembunyian aset dan penghindaran pajak yang diduga dilakukan sejumlah pengusaha, politisi, hingga olahragawan.

Hal menarik yang diungkap lainnya adalah bagaimana praktik penyembunyian aset dan penghindaran pajak modusnya dengan mendirikan perusahaan ‘cangkang’ (shell corporation) di negara-negara yang dikenal dengan surga bebas pajak (Tax Haven). Firma hukum asal Panama itu disebut-sebut punya expertise dalam mendirikan shell corporation.

Merujuk pada definisi dari www.investopedia.com, Shell Coporation adalah sebuah perusahaan tanpa aktivitas bisnis atau aset signifikan. Shell corporation umumnya didirikan dalam rangka memulai bisnis rintisan (start up business). Shell corporation juga dapat dikaitkan dengan upaya penghindaran pajak. Lantas, bagaimana sebetulnya perusahaan cangkang ini dalam kacamata hukum di Indonesia?

Dosen Hukum Bisnis di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Andi Syafrani berpendapat, bahwa secara spesifik regulasi di Indonesia terutama dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas memang tidak mengatur keberadaan perusahaan cangkang. Sebab, lanjut Andi, UU Nomor 40 Tahun 2007 lebih banyak mengatur terkait pendirian perusahaan yang didirikan di wilayah Indonesia (onshore company).

“Secara spesifik memang tidak ada kalau bicara di undang-undang perseroan terbatas karena UU PT kita hanya mengatur tentang pembentukan perusahaan onshore atau perusahaan yang ada di Indonesia.  Sedangkan perusahaan cangkang ini adalah perusahaan yang didirikan di luar negeri (offshore),” kata Andi saat dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis (8/4).

Meski UU Nomor 40 Tahun 2007 tidak menjangkau offshore company ini, namun dalam kondisi tertentu perusahaan tersebut terikat dengan aturan hukum di Indonesia. “Kalau offshore masuk ke Indonesia dan terdaftar sebagai perusahaan investasi dalam menjalankan aktivitas bisnisnya di Indonesia dia terikat dengan perangkat aturan di Indonesia. Tapi dasar hukum pendirian perusahaan ini (offshore) bukan di Indonesia. Jadi yang mengikat dia itu hanya aktivitas bisnisnya tapi tidak pada subjek hukumnya sendiri karena PT didirikan misalnya di Panama atau negara lain,” jelasnya.

Menurut Andi, oleh karena perusahaan offshore berdiri di wilayah di luar Indonesia, maka tak bisa jika hanya dilihat dari satu perspektif hukum semata. Setidaknya, ada dua aspek hukum yang bisa dipakai ketika melihat offshore company dari kacamata hukum di Indonesia. Pertama, adalah aspek penanaman modal. Dimana jika dilihat dari aspek ini berarti, kata Andi, kebanyakan perusahaan tersebut bukan berbentuk holding company melainkan anak perusahaan atau sisters company.

Offshore dia harus register terlebih dulu di Indonesia. Perusahaan yang masuk dari luar itu tercatat di luar negeri tapi sebenarnya pemiliknya orang Indonesia. Itu kira-kira salah satu tujuan membentuk perusahaan cangkang untuk menghapus jejak kepemilikan aslinya,” ujar Partner dari Zidny-Andi (ZiA) & Partners Law Firm itu.

Kedua, yakni dilihat dari perspektif perpajakan. Kata Andi, dalam istilah perpajakan perusahaan semacam ini disebt sebagai Special Purpose Vehicle (SPV)Company. Khususnya dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 258/PMK.03/2008 Tahun 2008 tentang Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Saham Sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3c) UU Pajak Penghasilan yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak Luar Negeri.

Pasal 1 ayat (2) PMK Nomor 258/PMK.03/2008 mendefinisikan SPV Company sebagai “Perusahaan Antara” (special purpose company atau conduit company) yang dibentuk untuk tujuan penjualan atau pengalihan saham perusahaan yang didirikan atau bertempat kedudukan di negara yang memberikan perhitungan pajak (Tax Haven Country) yang mempunyai hubungan istimewa dengan badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau bentuk usaha tetap di Indonesia.

“Perusahaan yang dibuat dengan tujuan khusus. Itu jadi bagian atau objek yang harus diperhatikan dalam pajak,” katanya.

Akan tetapi, Andi menegaskan bahwa offshore company merupakan sesuatu yang lumrah dalam hal bisnis. Secara hukum, kedudukan perusahaan ini juga bukanlah ilegal. Menurutnya, baik onshore ataupun offshore, keduanya merupakan alternatif yang bisa dipilih oleh pengusaha dengan beragam motivasi di balik penentuan pilihan tersebut.

Bagi Andi, ada hal lain yang cukup mengganjal ketika dokumen Panama Papers memperlihatkan sejumlah pengusaha lebih memilih untuk mendirikan offshore company. “Kenapa jadi pilhan bagi pebisinis?” ujarnya dengan maksud menunjukkan ada problem tertentu.   

Meski begitu, Andi menambahkan, hal itu secara tidak langsung menunjukkan persoalan hukum terutama terkait dengan aspek korporasi, bisnis, dan bahkan perpajakan. Pengusaha cenderung akan memilih yang tentunya memberikan efisiensi dan kepastian hukum bagi usahanya. Dalam dokumen itu, terlihat fakta bahwa di negara-negara tersebut ternyata pengurusan pendirian perusahaan bisa jadi lebih cepat, mudah, dan murah bila dibandingkan dengan di Indonesia. belum lagi, waktu pengurusan serta perizinan yang diperlukan cukup rumit dan membebankan pengusaha.

Dari kondisi demikian, ia mencoba menarik garis tegas bahwa ada yang mesti dibenahi misalnya dalam pendirian perusahaan di Indonesia agar bisa lebih murah, mudah, cepat, dan tidak bertele-tele. Tak sampai di sana, Andi juga mengusulkan kepada pemerintah agar melakukan pendekatan dialogis dengan sejumlah pengusaha yang menaruh dana di offshore company kenapa mereka tidak menaruh uang mereka di Indonesia.

“Kritik yang terbesar pada aspek administrasi dan birokrasi. Bagaimana undang-undang dan perangkat hukum teknis di bawahnya serta aparatnya bisa mengimplementasikan hukum korporasi ini dalam waktu yang singkat. Misalnya pembuatan perusahaan bisa lebih murah, mudah, dan cepat, tidak bertele-tele, dan tidak banyak persuratan atau yang dibutuhkan. Itu tentu memakan waktu dan biaya, nah ini harus dievaluasi sehingga orang lebih mendapat kemudahan,” tutup Andi.

Sementara itu, Partner dari AKSET Law Firm M Kadri mengatakan, bahwa ada pemahaman yang kurang tepat mengenai perusahaan offshore yang banyak didirikan di Tax Haven Country. Menurutnya, Special Purpose Vehicle (SPV)Company diperuntukkan untuk membantu perusahaan ketika berhutang. Singkatnya, perusahaan itu bukan untuk investasi atau menyimpan sejumlah uang dengan cara tax evasion atau penghindaran pajak.

“Banyak lawyer bantu transaksi perusahaan untuk berhutang dengan menggunakan SPV Company yang didirikan di tax haven country untuk penerbitan utang, artinya legitimate. Team-nya akan melibatkan tax adviser di sini dan lawyer di local jurisdiction (lawyer negara tersebut),” ujar Kadri dalam keterangan tertulisnya di laman facebook, Jumat (8/4).

Teknisnya sendiri, lanjut Kadri, perusahaan yang ingin berhutang di Indonesia (original borrower) mendirikan SPV. Setelah SPV berdiri, perusahaan akan menerbitkan surat utang dalam bentuk obligasi (bonds) dengan dijamin cash flow dan semua aset dari original borrower di Indonesia. Selanjutnya, uang yang diterima oleh SPV akan dipinjamkan kembali (on-lend) kepada original borrower. Nantinya, dana tersebut digunakan untuk original borrower dengan membayar bunga kepada SPV dan diteruskan dengan membayar bunga kembali ke bond holders di luar negeri.

“Jadi SPV menjadi anak perusahaan (subsidiary) si calon pengutang. Jadi rutenya gitu, nggak ada uang nongkrong di luar negeri. Shell company itu akan kosong atau dormant dan cuma catat liability (kewajiban) saja dan aset berupa tagihan utang on-lend ke original borrower di Indonesia. nanti akan ada saving tax untuk bunga atau dividen, juga keuntungan remote bankruptcy,” paparnya.

Lebih lanjut, ia mengatakan bahwa penggunaan SPV selalu didiskusikan dengan tax adviser di Indonesia. bahkan, untuk perusahaan go public (terbuka), laporan keuangan untuk perusahaan akan di-disclose ke publik. Dan jika belum go public, strukturnya juga kan di-disclose dalam info memo, semacam prospektus. “Itu tadi (penjelasan  terkait) SPV atau paper company untuk terbitin utang,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait