Pemerintah Minta Permohonan Setya Novanto Ditolak
Utama

Pemerintah Minta Permohonan Setya Novanto Ditolak

Klausula ‘pemufakatan jahat’ justru penting untuk mencegah tindak pidana korupsi.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Pemerintah yang diwakili Koordinator Jamdatun Kejagung Muhammad Dofir saat menyampaikan keterangannya dalam sidang pengujian UU Tipikor, Senin (11/4) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto: Humas MK
Pemerintah yang diwakili Koordinator Jamdatun Kejagung Muhammad Dofir saat menyampaikan keterangannya dalam sidang pengujian UU Tipikor, Senin (11/4) di Ruang Sidang Pleno Gedung MK. Foto: Humas MK
Pemerintah meminta Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian KUHP dan UU Tipikor yang diajukan mantan Ketua DPR Setya Novanto melalui kuasa hukumnya. Pemerintah beralasan frasa ‘permufakatan jahat’ yang dipersoalkan Setya Novanto adalah kebijakan terbuka pembentuk Undang-Undang.

Menurut Pemerintah, rumusan Pasal 88 UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 15 UU No. 31 Tahun 1999  tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi merupakan open legal policy pembentuk Undang-Undang guna mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.

“Pencantuman frasa ‘permufakatan jahat’ didasarkan keinginan kuat pembuat UU untuk mencegah terjadinya tipikor yang meluas dan sistematis,” ujar Koordinator Jamdatun pada Kejaksaan Agung Muhammad Dofir di sidang lanjutan uji materi UU KUHP dan UU Tipikor yang dimohonkan mantan Ketua DPR Setya Novanto di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Senin (11/4).

Pasal 88 KUHP menyebutkan “Dikatakan ada pemufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan.” Sementara Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor disebutkan “Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.”

Dofir melanjutkan frasa “permufakatan jahat” adalah cara pembentuk UU memberi peringatan kepada semua orang bahwa seseorang dapat dipidana apabila mencapai suatu kesepakatan tertantu meski akhirnya tindak pidana tidak atau belum dilakukan. “Jadi, baru pada tahapan niat untuk melakukan perbuatan jahat saja dapat dikenakan pidana,” kata Dofir.

Dijelaskan Dofir, unsur terpenting ‘permufakatan jahat’ yang harus diketahui yakni adanya dua atau lebih, adanya kesepakatan, dan kehendak melakukan kejahatan. Dari unsur tersebut secara teoritis permufakatan jahat untuk melakukan korupsi seharusnya melihat sebagai perbuatan persiapan.

“Kejahatan dalam rumusan ‘permufakatan jahat’ berupa delik korupsi sesungguhnya tipikor tersebut tidak terjadi atau belum terjadi termasuk belum terjadi percobaan menurut pengertian ‘permufakatan jahat’,” jelasnya.

Dia mengingatkan unsur “setiap orang” dalam Pasal 15 UU Tipikor termasuk delik umum yang tindak pidananya bisa dilakukan oleh siapapun. Karena itu, Pemohon keliru memaknai delik umum dan delik kualifikasi bahwa pengertian “permufakatan jahat” dalam Pasal 15 UU Tipikor tidak mengharuskan apakah orang-orang yang bersepakat melakukan tipikor mempunyai kualitas tertentu. “Terpenting, ada kata kesekapatan melakukan tipikor.”

Dari uraian itu, menurutnya, dalil-dalil yang disampaikan pemohon bukanlah terkait konstitusionalitas norma, melainkan lebih pada permasalahan penerapan norma. Karena itu, Pemerintah menganggap Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan ini karena sebenarnya Pemohon tidak dirugikan hak konstitusional dengan berlakunya pasal yang diuji.

“Seharusnya, Pemohon dapat mengajukan keberatan terhadap hal-hal yang diuji materi saat masuk pemeriksaan sudah ditingkatkan pada tahap penyidikan. Karena itu, seharusnya permohonan ini ditolak atau tidak dapat diterima,” harapnya.

Lewat tim kuasa hukumnya, Setya Novanto (Setnov) mempersoalkan Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor khususnya menyangkut makna frasa ‘pemufakatan jahat’. Sebab, frasa ‘pemufakatan jahat’ dalam Pasal 88 KUHP yang dijadikan acuan UU Pemberantasan Tipikor tidak jelas dan menimbulkan beragam penafsiran yang potensial melanggar hak konstitusional dalam penegakan hukum.

Seperti dialami Pemohon yang populer dengan sebutan “Papa Minta Saham” PT Freeport Indonesia. Sejak Setnov mundur sebagai ketua DPR saat diadili Majelis Kehormatan Dewan (MKD), Jampidsus pada Kejagung menyelidiki dugaan tipikor terkait perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Setnov dan beberapa pihak lain telah diselidik yang diduga melakukan permufakatan jahat atau mencoba melakukan korupsi yang dijerat Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor.

Bagi Pemohon, pengertian “pemufakatan jahat” pada Pasal 88 KUHP hanya berlaku dalam tindak pidana umum. Namun, ketika dihubungkan pemufakatan jahat dalam korupsi harus mensyaratkan kualitas dan kapasitas tertentu. Sebab, dari sejumlah pemberitaan media disebutkan Direktur Penyelidikan pada Jampidsus memandang Setnov terlibat dalam pemufakatan jahat untuk memperpanjang izin divestasi saham PT. Freeport Indonesia.

Menurutnya, Setnov tidak pada posisi berwenang dan berkapasitas memperpanjang kontrak PT Freeport. Jaksa Agung telah menyederhanakan unsur “dua orang atau lebih yang bersepakat” tanpa memahami lebih jauh apakah “dua orang atau lebih” itu memiliki kapasitas dan kualitas melakukan tindak pidana dan apakah kesepakatan itu ditujukan melakukan tindak pidana.

Karena itu, pemohon meminta frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 88 KUHP yang kemudian diadopsi oleh Pasal 15 UU Tipikor dimaknai “dikatakan ada pemufakatan jahat bila dua orang atau lebih mempunyai kualitas dan kapasitas bersepakat melakukan tindak pidana” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Tags:

Berita Terkait