DJP Pilah Nama Pelaku Offshore Dibawa ke Meja Hijau
Berita

DJP Pilah Nama Pelaku Offshore Dibawa ke Meja Hijau

Panama Papers hanya persoalan hilir, pemerintah memiliki data yang lebih komprehensif.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: https://panamapapers.icij.org/
Foto: https://panamapapers.icij.org/
Bocornya dokumen Panama Papers mengingatkan kembali bahwa banyak para pelaku usaha Indonesia yang menyimpan uang di luar negeri. Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Agus Santoso, mengungkapkan pihaknya telah mengambil langkah untuk menindaklanjuti Panama Papers. Tak tanggung-tanggung, PPATK sudah membentuk tim untuk pemetaan dan pengelompokan nama-nama yang tercuat di dalam dokumen tersebut.

“Tim dibentuk untuk melihat nama-nama yang terkait dengan laporan hasil analisis penghindaran pajak, nama-nama yang pernah ada laporan kegiatan transaksi mencurigakan, nama-nama political exposedpersons dan profesi-profesi yang mungkin menjadi gate keeper,” katanya dalam diskusi terbatas yang diselenggarakan di Jakarta, Selasa (12/4).

Menurut Agus, sebenarnya pelacakan dana yang dilarikan ke luar negeri bukan baru sekarang dilakukan. Ia mengaku, sejak tahun 2012 PPATK sudah melakukan pelacakan tersebut. Hanya saja, menurut Agus, menindaklanjuti temuan pelacakan untuk menarik dana tersebut bukan pekerjaan yang mudah.

Salah satu kendala yang harus dihadapi adalah benturan dengan regulasi di negeri tempat warga Indonesia melarikan dana mereka. Agus menilai regulasi negara-negara tersebut cenderung melindungi warga Indonesia yang menyimpan dana mereka. Bahkan menurut Agus, sekalipun dana yang disimpan merupakan hasil kejahatan.

"Itu yang menjadi kesulitan, salah satunya karena perbedaan hukum yang berlaku di negara kita dengan yang berlaku di luar negeri," ujarnya.

Memang tidak semua dana yang disimpan di luar negeri bukan hasil kejahatan. Agus melihat, kebanyakan dana disimpan di luar negeri karena alasan kemudahan. Sebab, offshore atau tax haven jurisdiction memudahkan dan sangat menjaga kerahasiaan. Sehingga, tak mengherankan jika banyak pelaku usaha melarikan dananya ke luar negeri untuk menghindari pajak.

“Ada dua alasan warga negara terutama Politically Exposed Person (PEP) menyimpan dana ke luar negeri. Pertama, memang orang yang sudah menjadi buronan. Dalam kapasitas itu, orang-orang tersebut melarikan uang hasil kejahatan, salah satunya adalah buronan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dan Bank Bali. Tetapi ada juga yang kedua, yaitu yang menghindari pajak,” tambahnya.

Apapun alasannya, orang yang menyimpan uang di luar negeir dalam jumlah besar menurut Agus harus dilacak dengan serius. Oleh karenanya, ia mengatakan bahwa Panama Papers atau temuan lainnya harus ditangkap sebagai indikasi. Pihaknya akan mempelajari dokumen tersebut untuk mencari informasi, terutama melalui the Egmont Group (EG). “Akan tetapi, tindak lanjut berupa verifikasi bukan lagi ranah kewenangan PPATK, melainkan tugas penyidik,” tambahnya.

Di sisi lain, Kepala Sub Direktorat Pemeriksaan Transaksi Khusus Dirjen Pajak Amran Imran menilai bahwa Panama Papers bagi DJP hanyalah masalah di hilir saja. Sehingga, menurutnya para pengusaha tak perlu khawatir berlebihan bahwa dokumen itu akan membawa dampak bagi mereka. Justru menurut Amran, pihaknya telah memiliki data yang lebih komprehensif dari itu untuk membawa kembali dana yang disimpan di luar negeri.

Ia mengatakan, dari catatan Kementerian Keuangan, potensi dana yang bisa ditarik di luar negeri mencapai Rp11.400 triliun. Jumlah tersebut hampir setara dengan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sekitar Rp12.000 triliun. Saat ini, menurutnya data tersebut sedang dalam proses.

“Panama Papers ini hanya hilir saja, jadi kenapa pengusaha berdebar-debar. Kami sebenarnya sudah punya data yang Rp 11,450 triliun. Data ini masih dalam proses. Nanti kami pilih dan pilah yang nantinya akan dieksekusi mana yang pidana, pemeriksaan, dan imbauan,” katanya.

Amran pun mengakui, data yang dimiliki itu menunjukan bahwa para pihak yang menyimpan di luar negeri menghindar dari kewajibannya membayar pajak. Ia menjanjikan nantinya hasil pemilahan data, pihak yang memenuhi syarat akan dibawa ke ranah pidana. Namun demikian, langkah itu akan lebih maksimal jika ada integrasi data antar institusi. Integrasi data tersebut diperlukan untuk mempermudah mereka menginvestigasi wajib pajak.

“Aturan yang berbelit-belit, membuat kinerja DJP tidak maksimal untuk menarik wajib pajak. Misalnya dengan akses data di dunia perbankan, DJP cukup kesulitan mengakses rekening rekening bank wajib pajak. Kalaupun bisa harus menjalani proses yang cukup panjang. Harus izin ke Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan dan Kementerian Keuangan,” tandas Amran.

Untuk itu, dia berharap integrasi data segera terwujud. Menurutnya, integrasi tersebut diperlukan untuk menopang kinerja Dirjen Pajak dalam memaksimalkan pendapatan negara melalui pajak. Namun demikian, integrasi itu akan jauh lebih optimal dengan menguatkan undang-undang perpajakan.

Tags:

Berita Terkait