Pekerja Rumahan Butuh Perlindungan
Berita

Pekerja Rumahan Butuh Perlindungan

Pekerja rumahan bekerja tanpa perlindungan K3 dan jaminan sosial. Regulasinya dibutuhkan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Pekerja rumahan. Foto: Ady
Pekerja rumahan. Foto: Ady
Tahukah Anda sepatu yang Anda gunakan mungkin melewati tahap produksi yang dikerjakan dari tangan-tangan pekerja rumahan? Mungkin ya mungkin tidak.

Koordinator Program Trade Union Rights Center (TURC), I Gede Pandu, mengatakan pekerja rumahan sudah sejak lama dikenal dalam masyarakat Indonesia. Pekerja rumahan melaksanakan pekerjaan bukan di pabrik atau perusahaan tapi di rumah si pekerja rumahan itu sendiri atau di tempat lain yang bukan milik pemberi kerja.

Pekerja rumahan menerima upah atas setiap produk yang mereka kerjakan. Semakin banyak produk diselesaikan upah yang diterima lebih besar. Misalnya, menggunting tali sendal diberi upah Rp25 untuk setiap pasang sendal. Penelitian TURC di Penjaringan, Jakarta Utara, menunjukan seorang pekerja rumahan dalam satu hari bisa mengerjakan 500 pasang sendal (Rp12.500) dengan lama pengerjaan 8-10 jam.

Alat yang biasa digunakan untuk bekerja biasanya disediakan oleh perantara (pengepul dari pabrik) atau si pekerja rumahan yang bersangkutan. Menurut Pandu, perusahaan melempar sebagian tahap produksi ke pekerja rumahan dalam rangka mengurangi biaya produksi. Dengan begitu perusahaan tidak membayar sesuai upah minimum karena pekerja rumahan di bayar berdasarkan banyaknya produk yang diselesaikan. Kemudian, tidak menyiapkan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan tidak mengikutsertakan pekerja rumahan dalam program jaminan sosial.

Menurut Pandu, pemerintah perlu hadir melindungi pekerja rumahan yang posisinya sangat rentan. Pemerintah perlu menerbitkan regulasi, semisal Peraturan Menteri Ketenagakerjaan, yang melindungi para pekerja rumahan. Dalam regulasi itu pemerintah bisa menetapkan agar upah yang diterima pekerja rumahan minimal bisa mendekati upah minimum. Lalu, wajib mendapat perlindungan K3 dan jaminan sosial yang diselenggarakan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. “Kami mendesak pemerintah menerbitkan peraturan yang spesifik tentang pekerja rumahan,” katanya dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (14/4).

Perwakilan Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI), Dardiri Dardak, mengatakan sebenarnya Kementerian Ketenagakerjaan sudah turun ke beberapa daerah untuk meneliti keberadaan pekerja rumahan. Ia berharap hasilnya dapat segera dipublikasikan. Sepengetahuan Dardiri, Pemprov Jawa Timur juga tengah menginisiasi pembentukan rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang pekerja rumahan dan penguatan pengawasan ketenagakerjaan.

“Di Jawa Timur kami mendorong dibentuknya Raperda untuk mengatur pekerja rumahan dan memperkuat pengawasan ketenagakerjaan,” kata Dardiri.

Dardiri menilai pekerja rumahan masuk dalam pasal 64 dan 65 UU Ketenagakerjaan karena pelaksanaan pekerjaan yang sifatnya seperti pemborongan pekerjaan. Oleh karenanya perusahaan pemegang merek produk yang dikerjakan oleh pekerja rumahan harus bertanggung jawab. Ketika perusahaan melanggar ketentuan tadi maka hubungan kerja si pekerja rumahan bisa beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan atau pemegang merek yang produknya dikerjakan oleh pekerja rumahan.
Tags:

Berita Terkait