FITRA Kritik Kebijakan Pengampunan Pajak
Berita

FITRA Kritik Kebijakan Pengampunan Pajak

“Justru seperti vitamin bagi gerombolan pengemplang pajak”.

Oleh:
FNH
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: HLM
Foto ilustrasi: HLM
RUU Pengampunan Pajak (RUU Tax Amnesty) akan segera dibahas. Dorongan untuk membahas RUU ini kian mengemuka setelah muncul skandal Panama Papers. Panama Papers memuat sejumlah nama yang terkait dengan dunia usaha di Indonesia. Terutama informasi tentang siapa saja yang mendirikan perusahaan cangkang di negara-negara surga pajak (tax heaven countries).

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menilai RUU Pengampunan Pajak bukan solusi atas pengemplangan pajak di Indonesia. RUU Pengampunan Pajak justru terkesan bertentangan dengan semangat penegakan hukum yang dicanangkan sendiri Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Fitra menilai keinginan Pemerintah mendorong ‘pengampunan’ justru suatu langkah mundur.

“Sedih, di Indonesia Panama Papers justru seperti vitamin bagi gerombolan pengemplang pajak yang siap diampuni,” kata Sekjen FITRA Yenny Sucipto dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (14/4).

Menurut Yenny, rencana pengampunan itu bertepatan dengan momentum APBN-Perubahan 2016 yang direncakan dibahas pada April-Mei 2016, ada potensi penyanderaaan. APBN Perubahan akan dibahas setelah RUU Tax Amnesty dibahas kilat sebelum momentum heboh Panama Papers berakhir. Ia berpendapat RUU ini bukanlah jalan keluar yang baik. Apalagi substansinya belum tentu bisa langsung aplikatif. Fitra malah melihat legislasi yang layak diprioritaskan adalah revisi UU Ketentuan Umum Dan Tata Cara Pemungutan Pajak.

Fitra mencatat ada empat persoalan yang harus diperhatikan pemerintah sebelum memutuskan untuk mengesahkan RUU Pengampunan Pajak. Pertama, persoalam Panama Papers dan beberapa nama penyelenggara yang terlibat dalam skandal pajak tersebut. Sepatutnya, kata Yenny, pejabat negara yang sebut dalam Panama Papers memberikan klarifikasi. Jika tidak mampu memberikan klarifikasi yang dapat dipertanggungjawabkan, jalan terbaiknya adalah mundur sebagai pejabat negara

“Menjadi persoalan di Indonesia adalah kegagalan etis. Maksudnya kegagalan etis adalah ketika pejabat negara yang terlibat dalam transasksi ilegal dan tidak sehat justu membantah mentah-mentah, menantang institusi hukum seolah mereka benar-benar bersih,” tuturnya.

Kedua, pengampunan pajak bukan menjadi solusi. Di tengah kondisi penerimaan pajak yang belum maksimal, Pemerintah malah mengusulkan jalan pintas tax amnesty agar mampu merepatriasi dana-dana di luar negeri untuk bisa kembali ke Indonesia, potongannya pun sangat kecil, yakni hanya 2% saja. Menurut Yenny, Pemerintah perlu berhati-hati karena kebijakan tax amnesty rentan dimanipulai. Jangan sampai menjadi boomerang.

Ketiga, pembahasan revisi UU KUP jauh lebih penting ketimbang mendahulukan RUU Pengampunan Pajak. Mekanisme pengampunan masih rapuh, dukungan legislasi belum kuat, dan database wajib pajak (WP) belum terintegrasi..

Dalam hal ini. Yenny berpandangan pemerintah sebaikanya tidak hanya berfokus pada pemenuhan capaian target penerimaan negara namun juga perlu berpikir pada hal yang lebih fundamental yaitu menciptakan iklim perpajakan, kepastian perpajakan yang baik dan sehat.  Revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah cara yang lebih masuk akal daripada menggunakan sistem Tax Amnesty ditengah  belum siapnya infrastruktur perpajakan di Indonesia.

Keempat, APBN P 2016 terancam defisit. Dalam APBN P 2016, terdapat ancaman defisit Negara karena target penerimaan pajak disinyalir tidak akan tercapai. Realisasi penerimaan pajak pada kuartal I Tahun 2016 tercatat masih rendah di angka 14%  dari target Rp. 1300 T.  Sehingga untuk menutupi hal tersebut pemerintah mendesain beberapa solusi yaitu, menurunkan target pajak, rencana menarik utang luar negeri, efisiensi  anggaran kementrian dan Tax Amnesty.

Paling santer adalah bayangan defisit APBN ini dijadikan sandera saat pembahasan APBN P 2016. “Jadi APBN P akan dibahas jika RUU Tax Amnesty disahkan dulu oleh DPR dan Pemerintah. Hal ini tentu menjad ilogika yang salah, dimana keputusan jangka pendek justru diambil hanya untuk mendapatkan Dana dari Tax Amnesty yang sangat kecil mencapai Rp60 T saja.

Atas pertimbangan tersebut, FITRA memberikan beberapa masukan kepada pemerintah. Pertama, seluruh Pejabat Negara yang masuk dalam daftar Panama Papers dan tidak melaporkan dalam LHKPN merupakan bentuk cacat integritas sebagai penyelenggara Negara, ada beberapa Menteri danKepalaBadanPemerintahan. FITRA menuntut agar Istana bersih dari Panama Papers dan menuntut Pejabat yang terlibat untuk mundur serentak.

Kedua, FITRA menilai Tax Amnesty bukan solusi, bukan hal yang mendesak karena adanya Vitamin Panama Papers. Justru dengan Panama Papers ini, Tax Amnesty seharusnya dibatalkan dan memperbaiki sistem pemungutan perpajakan yanglbih prioritas.

Ketiga, bahwa pembahasan revisi UU KUP lebih prioritas untuk dibahas. Sudah ada dalam tiga masa sidang Prolegnas tetapi sengaja tidak dibahas. Padahal fondasi pemungutan pajak di Indonesia harus diperbaiki untuk meminimalisir kebocoran dana lari ke luar negeri seperti Panama Papers.

“Keempat, Tax Amnesty dan Panama Papers jangan menjadi sandera dalam pembahasan APBN P 2016. Banyakhallebihpentingdalam APBN P 2016 sepreti PMN BUMN, Dana Desa, infrastruktur dan upaya peningkatan perpajakan dan alternatif pendanaan lainya,” tandasnya.

Anggota Komisi XI DPR Donny Imam Priambodo mengatakan masih ada yang perlu dikaji mendalam. Pertama, terkait dengan tarif uang tebusan yang mesti dibayar ke kas negara. Tarif yang ditetapkan harusnya proporsional dan mengedepankan asas keadilan. Jika tarif pajak rendah, akan sulit bagi DJP mencapai target penerimaan.

Ia berpandangan, tarif mesti sepadan dengan fasilitas pengampunan pajak yang akan diterima oleh wajib pajak. Dengan begitu setidaknya akan timbul kesetaraan.  Catatan lainnya, kata politisi Nasdem itu, jika kebijakan pengampunan pajak dijalankan, perlu diikuti penegakan hukum yang lebih tegas. Jika tidak, pengampunan pajak bisa menjadi bomerang.
Tags:

Berita Terkait