Anggota Komisi IV Rahmat Handoyo mengatakan, carut marutnya proyek reklamasi di Teluk Jakarta membuktikan betapa tumpang tindihnya regulasi yang ada. Meski menyetujui penghentian sementara, namun mesti dibarengi dengan adanya kebijakan yang mengikat agar proyek reklamasi tidak berjalan. Ia khawatir bila tak ada aturan mengikat, maka proyek di lapangan tetap berjalan.
“Harus ada kebijakan mengikat jangan sampai di lapangan jalan terus,” ujarnya.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu mengatakan, bila dalam rapat pemerintah menyepakati penghentian secara permanen, maka mesti adanya sanksi pidana mau pun perdata sekira di lapangan tetap dilanjutkan proyek tersebut. Menurutnya, ketika keputusan menghentikan proyek reklamasi diperlukan koordinasi antar lembaga, termasuk dengan pihak Pemda DKI.
Anggota Komisi IV Azhar Romli menambahkan, terhadap proyek reklamasi atas seijin Gubernur DKI dipandang tidak berlandaskan aturan. Menurutnya, wewenang menerbitkan aturan dan kebijakan terhadap reklamasi di Teluk Jakarta menjadi ranah pemerintah pusat, bukan Pemda DKI. Ia menilai terhadap lahan yang sudah ditimbun dengan material reklamasi, perlu ditinjau ulang demi keberlangsungan nelayan dalam menyambung hidup dan keberlangsungan lingkungan.
Andi Akmal Pasluddin mengamini pandangan Rahmat dan Azhar Romli. Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu berandangan dari segi aspek prosedur legalitas, menjadi kewenangan Pemda DKI menerbitkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Padahal terdapat peran Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap terbit tidaknya Amdal. “Kita hentikan saja reklamasi secara permanen,” ujarnya.
Anggota Komisi IV lainnya Hermanto menilai tindakan Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama yang memaksakan proyek reklamasi sebagai bentuk pejabat arogan. Dari aspek legalitas, tidak terpenuhinya proyek tersebut dari segi aturan. Kedua, kala itu Komisi IV pernah menggelar rapat dengan Gubernur DKI ketika dijabat Joko Widodo. Kesimpulannya, menyepakati pembatalan proyek reklamasi. Terlebih banyaknya masyarakat yang mendesak dihentikan secara permanen proyek tersebut.
“Lalu dipaksakan reklamasi. Ini ada apa dipaksakan. Paling tidak ada dua. Pertama untuk kepentingan hidup di situ, kedua apakah untuk kepentingan bisnis. Kalau dipaksakan, saya lihat ini orang keterlaluan. Dia sudah melanggar banyak aturan, masyarakat dilabrak, pejabat tinggi dilabrak. Untuk apa, untuk siapa dan mengapa reklamasi ini. Kita menghendaki bukan dihentikan sementara, tapi dihentikan secara permanen,” ujarnya.
Dalam kesimpulan rapat agar Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melakukan langkah pengawasan investigasi. Selain itu mengenakan sanksi terhadap pelanggaran izin dan pembangunan reklamasi sesuai dengan UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tak hanya itu, sanksi juga diberikan berdasarkan UU No.1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengamini pandangan Komisi IV. Menurutnya, hasil rapat dengan DPR akan dilaporkan kepada Kementerian Koordinator. Menurutnya dari aspek instrumen perizinan lingkungan menteri terkait berkewajiban melakukan pengawasan sesuai pasal 73.
Pasal 73 UU No.32/2009 menyatakan, “Menteri dapat melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang izin lingkungannya diterbitkan oleh pemerintah daerah jika Pemerintah menganggap terjadi pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup”.
“Apabila ada indikasi persoalan yang serius, maka perlu pendalaman investigasi terkait dengan beberapa tolak ukur. Apabila ada indikasi pencemaran kerusakan lingkungan dan apabila menimbulkan keresahan masyarakat.Kami para petugas fungsional sudah melakukan identifikasi awal dan indikasi kelemahan pemenuhan persyaratan ada. Nanti kita berikan semacam sanksi administratif,” pungkasnya.