Putusan-Putusan Pengadilan Terkait Reklamasi
Berita

Putusan-Putusan Pengadilan Terkait Reklamasi

Reklamasi tak hanya dipermasalahkan di ranah tata usaha negara, tetapi juga di ranah perdata hingga pidana.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Definisi reklamasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “usaha untuk memperluas tanah dengan memanfaatkan daerah yang semula tidak berguna”. Cara melaksanakan reklamasi beragam, mulai dari pengerukan rawa-rawa hingga penimbunan wilayah perairan. BIasanya cara-cara ini lazim dilakukan developer atau pengembang.

Namun, upaya untuk membuat suatu wilayah menjadi berguna ini rupanya tak melulu mendapat restu. Sebut saja reklamasi Teluk Jakarta yang kini justru menarik banyak perhatian masyarakat karena ada indikasi perbuatan korupsi yang dilakukan pengembang dalam mendapatkan izin kegiatannya.

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan hukumonline, rupanya telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang berkaitan dengan reklamasi. Mulai dari putusan tata usaha negara, perdata, sampai pidana. Berikut empat putusan yang berhasil dirangkum hukumonline:

1.    Reklamasi Tanpa Izin di Pantai Teluk Lalong, Sulawesi Tengah
Fadly dan Lahmuddin didakwa karena telah melakukan reklamasi seluas 786.30 meter persegi di Pantai Teluk Lalong, Sulawesi Tengah, tahun 2013. Keduanya melakukan kegiatan tersebut tanpa izin lingkungan dari pejabat yang berwenang. Padahal, ahli menerangkan dokumen Amdal atau Upaya Pengelolaan Lingkungan Dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) dan izin tersebut wajib dikantongi terlebih dulu.

Karena perbuatan tersebut, kedua terdakwa ini pun akhirnya didakwa dengan Pasal 109 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Keduanya diancam dengan pidana penjara antara 1 sampai 3 tahun, dan denda antara 1 sampai 3 miliar rupiah.

Setelah dilakukan pemeriksaan, Hakim pun menyatakan Fadly dan Lahmuddin terbukti bersalah. Dikutip dari Putusan Mahkamah Agung Nomor: 171 K/Pid.Sus/2015, pada pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, keduanya dihukum penjara 1 tahun 6 bulan dan denda masing-masing Rp1 miliar. Namun dalam kasasi, denda dihapuskan dan terdakwa masing-masing dijatuhkan pidana percobaan selama satu tahun.

2.    Reklamasi Sungai di Batam yang Melebihi Luas Wilayah
PT Lautan Lestari Shipyard (LLS) menggugat Sudarno selaku Direktur dari PT Asta Mitra Persada (AMP) karena perusahaannya tersebut telah melakukan reklamasi melebihi batas ukuran yang seharusnya. LLS yang salah satunya bergerak di bidang produksi kapal harus menanggung biaya operasional jauh lebih besar akibat perbuatan AMP tersebut.

Usaha LLS yang tadinya berada di kategori kelas 1 juga harus turun ke kelas 2 karena reklamasi yang tak sesuai ketentuan ini. Tak tanggung-tanggung, LLS menyebutkan bahwa kerugiannya mencapai angka Rp40 miliar. Untuk itu, ia menggugat AMP agar membayar kerugian tersebut dan meminta agar reklamasi yang telah ada dapat dibongkar oleh tergugat.

Gugatan LLS berbuah kemenangan. Hakim memerintahkan tergugat untuk membongkar kembali timbunan yang telah dilakukannya dan membayar ganti rugi kepada penggugat. Namun, jumlahnya memang jauh dari petitum. Dalam putusannya, hakim menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi kepada penggugat sebesar Rp1,3 miliar.

3.    Titik Reklamasi Berada di Atas Sistem Komunikasi Kabel Laut
PT Mora Telematika Indonesia dan PT Indosat Tbk tak terima dengan Keputusan Kepala Badan Pengusahan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) yang memberikan izin pengalokasian guna tanah dan hak pengelolaan kepada PT Vries Marine Offshores Service. Pasalnya, di atas lokasi pengalihan guna tanah atau reklamasi tersebut, terdapat Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) milik keduanya.

Bila reklamasi diteruskan, maka SKKL akan putus. Makanya, kepada majelis hakim PTUN Tanjung Pinang, keduanya meminta surat keputusan tersebut dibatalkan. “Apabila Sistem Komunikasi Kabel Laut Para Penggugat putus maka akan mengakibatkan risiko seperti lumpuhnya sistem komunikasi dan informasi,” tulis tergugat yang disebutkan lebih rinci dalam gugatannya.

Sayangnya, gugatan ini kandas. Dalam Putusan Nomor 8/G/2015/PTUN-TPI, hakim menolak seluruh gugatan yang dilayangkan oleh para penggugat.

4.    Reklamasi Teluk Jakarta yang Sempat Dilarang Menteri Lingkungan Hidup
Agak berbeda dengan kasus sebelumnya, dalam perkara yang satu ini, pemerintah justru diminta membuka kembali jalan untuk para penggugat melakukan reklamasi di Pantai Utara Jakarta. Mereka meminta agar Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta oleh Badan Pelaksana Reklamasi Pantai Utara Jakarta di Propinsi DKI Jakarta dicabut.

Pasalnya, penggugat telah melakukan kontrak untuk melakukan reklamasi dengan Pemerintah DKI Jakarta sebelum adanya SK Menteri ini. Sehingga dengan adanya SK tersebut,  penggugat merasa dirugikan. Hal inilah yang menjadi legal standing para penggugat membawa SK Menteri ke PTUN.

Dalam pengadilan tingkat pertama gugatan para penggugat dinyatakan hakim tidak dapat diterima. Begitu pun dalam tingkat banding dan kasasi, hakim menguatkan putusan sebelumnya. Namun, dalam Peninjauan Kembali, Mahkamah Agung justru memutus sebaliknya. Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor 12 PK/TUN/2011 ini mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya, yaitu menyatakan SK Menteri tidak sah dan meminta Menteri Negara Lingkungan Hidup untuk mencabut SK tersebut.
Tags:

Berita Terkait