Pemerintah Dalilkan Nebis in Idem dalam Pengujian UU Tipikor
Berita

Pemerintah Dalilkan Nebis in Idem dalam Pengujian UU Tipikor

UU Administrasi Pemerintahan sama sekali tidak mengubah pola pendekatan penindakan tipikor.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pemerintah Dalilkan Nebis in Idem dalam Pengujian UU Tipikor
Hukumonline
Pemerintah menganggap pengujian Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) nebis in idem. Sebab, pengujian objek pasal yang sama pernah diuji dan diputus melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 003/PUU-IV/2006 dan putusan MK No. 44/PUU-XI/2013.

“Permohonan para Pemohon dalam perkara ini nebis in idem,” ujar Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Yunan Hilmy dalam sidang lanjutan uji materi UU Pemberantasan Tipikor di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Kamis (21/4).

Yunan menilai kata “dapat” dan frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor tidaklah mengandung ambigu. Justru, keduanya telah memberikan kepastian hukum asalkan memaknainya dalam rangkaian seluruh ayat atau pasal. Misalnya, unsur “yang dapat merugikan keuangan negara” tidak bisa hanya dimaknai kata “dapat” saja, tetapi sebagai satu kesatuan yang menimbulkan akibat memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi.

Menurutnya, apabila frasa “atau orang lain atau korporasi” dihilangkan maka resiko kasus tipikor yang hasil korupsinya dititipkan orang lain atau korporasi bukan lagi delik pidana (korupsi). Sebab, pembuktiannya hanya hasil korupsi yang ada pada dirinya. Frasa “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi” mempunyai bobot delik pidana yang sama dan merupakan satu kesatuan yang tidak boleh salah satunya dihilangkan.

“Jika permohonan ini dikabulkan justru menghilangkan ‘roh’ delik tipikor yang melemahkan upaya pemberantasan tipikor. Sebab, upaya mengejar aset kekayaan negara dari orang lain atau korporasi hilang. Atau koruptornya dipenjara, tetapi hasil korupsinya tidak bisa dikembalikan karena asetnya tidak dalam penguasaan koruptor,” bebernya.

Pemerintah juga tak sependapat dengan dalil Pemohon yang menyatakan putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 26 Juli 2006 sudah tidak relevan lagi karena bertentangan dengan semangat UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Menurutnya, putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 hingga saat ini masih relevan dan valid untuk tetap dilaksanakan bagi aparat penegak hukum.

“Pemohon keliru memaknai hubungan antara UU Tipikor dan UU Administrasi Pemerintahan yang sebenarnya jauh berbeda. Sebab, yang satu mengatur tindak pidana korupsi dan satu lagi mengatur segala hal yang mengatur administrasi pemerintahan,” lanjut Yunan.

Dia mengakui UU Administrasi Pemerintahan dibuat untuk meningkatkan penyelenggaraan pemerintahah negara yang baik sebagai upaya pencegahan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) terkait kesalahan administrasi (maladministrasi) atau penyalahgunaan wewenang dalam proses pengambilan kebijakan/keputusan oleh pejabat pemerintah.

“Keberadaan UU Administrasi Pemerintahan sama sekali tidak mengubah pola pendekatan penindakan tipikor, apalagi sampai mereduksi UU Tipikor. Jadi, UU Administrasi Pemerintahan hanya memberi rambu-rambu tindakan pejabat pemerintahan sesuai lingkup kewenangannya demi mencegah terjadi KKN,” ujarnya menjelaskan.

Lewat tim kuasa hukumnya, Firdaus, Yulius Nawawi, Imam Mardi Nugroho, HA Hasdullah, Sudarno Eddi, Jamaludin Masuku, dan Jempin Marbun mempersoalkan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tipikor. Mereka meminta MK menghapus kata “dapat” dan frasa “atau orang lain atau suatu korporasi” di dua pasal itu. Keduanya pasal itu dinilai multitafsir, ambigu, penerapannya tidak pasti, dan potensial disalahgunakan aparat penegak hukum.

Pemohon menilai pemaknaan kata “dapat” Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor menimbulkan ketidakpastian dan ketidakadilan bagi Para Pemohon yang berstatus sebagai terdakwa/terpidana korupsi. Praktiknya, adanya kata “dapat” menimbulkan rasa takut dan khawatir bagi orang yang sedang menduduki jabatan pemerintahan. Sebab, setiap mengeluarkan keputusan atau tindakan dalam jabatannya dalam ancaman delik korupsi.

Menurut pemohon, pemahaman ini disebabkan implikasi Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 yang telah mengkualifikasi korupsi sebagai delik formil, sehingga pemaknaan unsur “merugikan keuangan negara atau perekonomian” tidak harus nyata. Faktanya tak jarang, unsur kerugian negara tersebut baru dihitung setelah penetapan tersangka korupsi.

Bagi pemohon, sejak UU Adminitrasi Pemerintahan  terbit, kesalahan administrasi yang merugikan keuangan negara belum tentu memenuhi unsur tipikor. Jadi, aparatur sipil negara (ASN) yang diduga melanggar peraturan administrasi karena kesengajaan, kelalaian atau tidak patut baru menjadi delik korupsi apabila ada niat jahat (mens it rea), bukan karena jabatannya. Ini setelah menempuh prosedur penyelesaian hukum administrasi terlebih dulu.
Tags:

Berita Terkait