Kemampuan polisi mengungkap misteri pembunuhan, di manapun, adalah pintu masuk untuk membawa pelaku ke meja hijau. Polisi memiliki instink, memiliki kejelian, teknik, dan kemampuan ‘membaca’ modus, tempus, locus, dan actus menjadi sebuah rangkaian cerita yang runut. Meskipun kadang ada missing link, polisi selalu berupa mengungkap kasus-kasus mutilasi karena perbuatan semacam itu sungguh tak berprikemanusiaan.
Kalau sering menonton serial dokumenter Homicide Hunter, Anda akan melihat bagaimana Letnan Joseph Kenda dengan anak buahnya mengungkap misteri sejumlah kasus pembunuhan di Colorado Springs. Sebagai petugas reserse, Joe Kenda banyak berhubungan dengan misteri yang terjadi di balik hilang atau terbunuhnya seseorang. Ada kemungkinan salah menduga pelaku, salah mengambil keputusan, atau mungkin kurang memaksimalkan pencarian bukti. Apa yang dilakukan Joe Kenda kini bisa disaksikan dalam serial dokumenter Homicide Hunter.
Petugas reserse di Indonesia tak ubahnya seperti yang dilakukan Joe Kenda. Salah seorang anggota polisi yang mengungkapkan ke publik kasus-kasus mutilasi yang pernah ia tangani, atau setidaknya ia terlibat, adalah M. Fadil Imran. Karirnya dibangun di dunia reserse. Ia pernah menduduki jabatan Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
Fadil menuliskan kasus-kasus mutilasi di Indonesia dalam buku setebal 97 halaman berjudul ‘Mutilasi di Indonesia: Modus, Tempus, Locus, Actus’. Buku terbitan Yayasan Obor Indonesia ini sudah pernah didiskusikan di Program Studi Kriminologi Universitas Indonesia, kampus di mana Fadil menempuh pendidikan doktor bidang kriminologi.
Ada banyak kasus mutilasi yang terjadi di Indonesia sejak 1960, dan dalam konstruksi hukum ia dikategorikan sebagai pembunuhan (hal. 4). Penyebabnya macam-macam, mulai dari urusan syahwat hingga pertengkaran suami isteri. Ironisnya, sepanjang 2001-2010, jumlah kasus mutilasi naik tajam disbanding periode sepuluh tahun sebelumnya.
Fadil tak menuliskan semua kasus itu. Ia hanya mengangkat lima kasus dimana ia terlibat langsung sebagai penyidik. Kelima kasus itu adalah mutilasi beberapa anak kecil yang dilakukan Baekuni alias Babe, pembunuhan Atikah oleh Zaki di sebuah hotel di Tanah Abang, kasus Ryan Jombang, dan dua kasus mutilasi yang pelakunya perempuan: Muryani yang membunuh suaminya di Jakarta Timur, dan Sri yang memutilasi suaminya di Tangerang.
Apa yang menyebabkan pelaku melakukan tindakan keji terhadap orang-orang dekat mereka? Inilah yang coba ditelusuri Fadil. Ia mewawancarai para pelaku. Rupanya, para pelaku ingin menghindarkan diri dari situasi yang tidak menyenangkan. Dari kasus-kasus itu ternyata ada kesamaan. Pertama, antara pelaku dan korban memiliki ikatan hubungan yang dekat. Kedua, adanya pemikiran yang sederhana dari masing-masing pelaku dalam melakukan mutilasi. Ketiga, keputusan diambil didasari oleh keterbatasan informasi atau keterbatasan individu dalam menelaah informasi yang ada (hal. 74).
Mutilasi di Indonesia: Modus, Tempus, Locus, Actus | |
Penulis | Mohammad Fadil Imran |
Penerbit | Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta |
Edisi Perdana | 2015 |
Halaman | 97 + xvii termasuk biodata penulis |
Tentu saja, buku ini tak menggambarkan perbuatan itu dilakukan secara berdarah-darah seperti dalam cover buku. Ada etika penulisan di situ. Buku ini tak menghadirkan kengerian karena tak semua pembaca bakal nyaman.
Tetapi, satu hal yang pasti, polisi telah melaksanakan tugasnya. Seperti kata Fadil, ‘mutilasi sebagai kejahatan harus menjadi perhatian tersendiri’. Dan buku ini menjadi dokumentasi keberhasilan para polisi mengungkap misteri mutilasi.