Aturan Mundur Tidaknya Anggota TNI, Polri dan PNS Mesti Merujuk UU Sektoral
Revisi UU Pilkada

Aturan Mundur Tidaknya Anggota TNI, Polri dan PNS Mesti Merujuk UU Sektoral

Agar tidak terjadi persoalan di lapangan. Merujuk UU sektoral, anggota TNI, PNS dan Polri yang maju pencalonan Pilkada mesti mengundurkan diri.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Perdebatan terkait wacana mesti mundur tidaknya anggota TNI, Polri dan PNS yang maju dalam perhelatan Pemilihan Kepala Daerah menjadi sorotan. Kekhawatiran sebagian kalangan bila tetap aktif menjadi anggota TNI dan Polri ketika maju  mencalonkan menjadi kepala daerah dikhawatirkan bakal berpotensi besar abuse of power. Oleh sebab pembahasan revisi UU No.8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota harus disingkronisasikan dengan Undang-Undang (UU) sektoral.

Wakil Ketua Komisi II Lukman Edy berpandangan, adanya tiga UU sektoral mesti menjadi acuan ketika pembahasan revisi UU Pilkada. Bila merujuk ketiga UU sektoral yakni UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan UU No.2 Tahun 2002 tentang Polri, maka PNS, anggota TNI dan Polri yang maju Pilkada mesti mengundurkan diri.

Pasal 9 ayat (2) UU ASN menyatakan, “Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik”. Meski tidak langsung PNS yang maju Pilkada mengundurkan diri, namun pasal tersebut sudah menegaskan seorang PNS mesti terbebas dari pengaruh kepentingan partai politik. Dengan begitu, ketika seorang PNS maju mencalonkan dalam perhetalan Pilkada maka harus mengundurkan diri.

Begitu pula dengan Pasal 2 huruf d UU TNI yang menyatakan,“Tentara Profesional, yaitu tentara yang terlatih, terdidik, diperlengkapi secara baik, tidak berpolitik praktis, tidak berbisnis, dan dijamin kesejahteraannya, serta mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi, supremasi sipil, hak asasi manusia, ketentuan hukum nasional, dan hukum internasional yang telah diratifikasi”.

Frasa ‘tidak berpolitik praktis’ sudah menegaskan anggota TNI bersikap netral. Dengan begitu ketika anggota TNI maju mencalonkan pemilihan kepala daerah mesti menanggalkan keanggotannya sebagai aparat TNI. Hal itu dikuatkan dengan Pasal 47 ayat (1) yang menyebutkan, “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”.

Sementara UU Polri lebih tegas. Pasal 28 ayat (1) menyebutkan, “Kepolisian Negara Republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.  Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak menggunakan hak memilih dan dipilih”. Kemudian ayat (3) menyatakan, “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian”.

Dalam pasal 28 ayat (3), UU tersebut menegaskan terhadap anggota Polri yang hendak menduduki jabatan di luar instansi kepolisian mesti mengundurkan diri ketika masih aktif sebagai anggota Polri. “UU masing-masing yang melarangnya,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Gedung DPR, Selasa (26/4).

Nah dengan sejumlah aturan dalam UU sektoral itulah maka pejabat negara maupun anggota TNI dan Polri melarang maju pencalonan Pilkada dalam status aktif. Berdasakan komunikasi dengan Mendagri, kata Lukman Edy, pihak pemerintah enggan mencabut ketentuan PNS mesti netral dalam UU ASN melalui UU Pilkada.

Komisioner KPU Juri Andrianto mengatakan revisi UU Pilkada dilakukan terbatas. Harapannya penyelenggara pilkada dilakukan menyeluruh. Namun mengingat menghadapi Pilkada serentak 2017 mendatang, maka hanya dapat dilakukan revisi terbatas. Revisi UU Pilkada memang salah satunya menyorot soal mundur tidaknya anggota TNI, Polri dan PNS yang maju dalam pencalonan Pilkada.

Menurutnya pembahasan revisi UU Pilkada mesti menempatkan UU sektoral lainnya. Memang dalam UU Pilkada menyebutkan adanya hak setiap warga negara untuk dipilih dan memilih. Namun bukan berarti UU Pilkada meniadakan UU sektoral lainnya yang mengatur PNS, TNI dan Polri.

“Kalau pandangan KPU mestinya harus ada singkronisasi di dalam RUU ini,” ujarnya.

Lebih jauh Juri Andrianto menilai bila tidak dilakukan singkronisasi, selain bakal terjadi tabrakan penimplementaian juga menjadi problem di lapangan. Pasanya ketika terjadi gugatan, para calon dalam merujuk pada UU Pilkada yang notabene bersifat umum. Yakni hanya mengatur setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih.

“Kalau pun tidak singkron, maka ditegaskan dalam UU ini. Misalnya kalau ada calon kepala daerah berasal dari TNI/Polri harus mundur atau silakan membaca ketentuan sesuai UU sektoral tersebut. Sehingga UU Pilkada nantinya tidak mengambang, melainkan membeerikan jalan keluarnya. Artinya menyelesaikan masalah,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait