Pro Kontra Badan Publik Non-Pemerintah dalam UU KIP
Berita

Pro Kontra Badan Publik Non-Pemerintah dalam UU KIP

Masih terjadi ragam persepsi terhadap Badan Publik Non-Pemerintah.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Diskusi yang digelar Komisi Informasi Pusat. Foto: NNP
Diskusi yang digelar Komisi Informasi Pusat. Foto: NNP
Meski sudah efektif berlaku kurang lebih selama enam tahun, ternyata masih terdapat perdebatan terhadap definisi “Badan Publik Non-Pemerintah” dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Pasal 1 angka 3 aturan tersebut sebetulnya sudah mendefinisikan bahwa organisasi pemerintah juga termasuk dalam rumpun badan publik, namun dengan sejumlah persyaratan.

Dalam Penjelasan Pasal 16 UU Nomor 14 Tahun 2008 kembali dipertegas bahwa yang dimaksud dengan organisasi non-pemerintah adalah “organisasi baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum yang meliputi perkumpulan, lembaga swadaya masyarakat, badan usaha non pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.”

Namun, masih terjadi perbedaan tafsir terhadap institusi atau lembaga mana sajakah yang termasuk sebagai badan publik, khususnya badan publik non-pemerintah. Wakil Ketua Komisi Informasi dan Komunikasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ibnu Hammad misalnya masih mempertanyakan apakah MUI termasuk dalam rezim badan publik non-pemerintah. Sebab, jika merujuk pada Penjelasan Pasal 16 UU KIP, ia tak melihat ada rumusan pasal yang menjadi cantolan bahwa MUI juga sebagai pihak yang wajib mempublikasikan informasi dan data kepada publik.

Misalnya, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM MUI) yang memberikan layanan berupa jasa pengecekan dalam kaitan sertifikasi halal. Ibnu justru mempertanyakan apakah kegiatan memberikan jasa sertifikasi tersebut masuk sebagai kategori pada frasa “sumbangan dari masyarakat”. Sebab, menurut pendapatnya pribadi, hal itu tidak bisa menjadi cantolan untuk menarik MUI sebagai badan publik non-pemerintah yang harus membuka informasi dan data kepada publik sebagaimana amanat undang-undang.

“Itukan jasa layanan yang diberikan. Kalau zakat itu pengelolaan atau penyaluran dana? Gimana dengan sekolah?  Definisi itu harus jelas makanya. Itu pendapat saya pribadi loh ya,” ujar Ibnu dalam diskusi yang digelar Komisi Informasi Pusat di Jakarta, Selasa (26/4).

Namun, lanjutnya, jika benar MUI termasuk sebagai badan publik non-pemerintah, ia akan merekomendasikan kepada pemangku kepentingan di internal MUI untuk segera membentuk dan menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Kata Ibnu, hingga saat ini memang PPID memang belum ada di MUI. Dan untk sementara ini masih dirangkap oleh Komisi Informasi dan Komunikasi. “Setelah ini akan diajukan untuk segera diangkat PPID. Lalu juga membuat perangkat dan SOP Pelayanan Informasi,” tambahnya.

Di tempat yang sama, Komisioner Bidang Advokasi, Sosialisasi, dan Edukasi Komisi Informasi Pusat (ASE KIP) Henny S Widyaningsih mengatakan bahwa frasa “sumbangan masyarakat” dalam Penjelasan Pasal 16 UU KIP menjadi pangkal perdebatannya. Menurutnya, apapun bentuk sumbangan masyarakat, baik secara donasi atau sumbangan sukarela, keduanya memenuhi unsur sebagai badan publik non-pemerintah.

“Untuk perkumpulan seperti asosiasi, ketika dia meminta iuran kepada anggota dia juga bisa masuk sebagai badan publik non-pemerintah,” ujarnya.

Dikatakan Henny, lembaga atau institusi mestinya dapat mendeteksi sendiri status organisasi masing-masing dengan melihat unsur-unsur dalam Pasal 1 angka 3 dan Penjelasan Pasal 16 UU KIP. Jika salah satu unsur dalam rumusan pasal tersebut terpenuhi, berarti instansi atau lembaga tersebut masuk kategori badan publik non-pemerintah. Selain itu, Pasal 3 Peraturan KIP Nomor 1 Tahun 2010 Tentang Standar Layanan Informasi Publik merinci kriteria yang dapat dikategorikan sebagai badan publik.

Lebih lanjut, kata Henny, meski dalam Lampiran I Peraturan KIP Nomor 1 Tahun 2010 juga dimuat daftar badan publik yang sesuai dengan kriteria Pasal 3 aturan tersebut. Namun, aturan ini juga terbuka terhadap lembaga lain yang belum masuk dalam daftar tapi dari segi kriteria masuk dalam kategori badan publik yang mesti menjalankan keterbukaan informasi kepada publik. “Kita harus segera sosialisasikan ke LSM-LSM,” tukasnya.

Berbagai Kendala
Komisioner Bidang ASE KIP Rumadi Ahmad mengungkapkan sejumlah hal yang diatur dalam undang-undang yang menjadi inisiatif DPR itu cukup memberatkan dan menyulitkan ketika dimplementasikan. Setidaknya ada tiga hal yang hingga saat ini masih menjadi problem terutama berkaitan dengan kewajiban undang-undang terhadap badan publik non-pemerintah.

Pertama, minimnya sosialisasi. Dikatakan Rumadi, minimnya sosialisasi yang mestinya dilakukan oleh pihaknya dilatarbelakangi sejumlah alasan. Alasan yang paling mendominasi, yakni keterbatasan anggaran untuk penyebarluasan kewajiban keterbukaan informasi kepada lembaga-lembaga tersebut. Selain itu, pada tataran teknis masih saja ada yang belum mengetahui kewajiban yang diamanatkan undang-undang terkait teknis pelaksanaannya. “KIP nggak memiliki kapasitas untuk itu kecuali anggaran KIP besar,” ujarnya.

Pasal 13 UU KIP mewajibkan pembentukan dan penunjukan PPID sebagai pintu gerbang permintaan data atau informasi ke suatu lembaga atau instansi. Sayangnya, masih banyak lembaga terutama badan publik non-pemerintah yang belum menunjuk pejabat atau pegawai yang ditugaskan sebagai PPID. Padahal, PPID berperan sangat penting dalam menyaring jenis dan informasi manakah yang dapat dipublikasikan serta merancang Daftar Informasi Publik (DIP) dan SOP Pelayanan Informasi yang mengatur prosedur serta alur permohonan informasi.

Kedua, belum seragam terkait definisi. Persoalan ini sangat krusial sehingga menghambat implementasi keterbukaan informasi publik. Cukup banyak institusi atau lembaga, terutama Badan Publik Non-Pemerintah yang merasa bukan termasuk dalam bagian yang mesti complience dengan undang-undang ini.

Dikatakan Rumadi, pihaknya tak bisa menegaskan dan memberi penjelasan secara mutlak terkait definisi Badan Publik Pemerintah dan Badan Publik Non-Pemerintah. Sebab, ia menilai ada permasalahan etik yang membuatnya tidak bisa memberikan pendapat tentang hal itu. Apalagi, ia juga menjadi majelis Komisioner dalam pemeriksaan sengketa keterbukaan informasi yang diajukan oleh pemohon atau yang membutuhkan informasi.

“Makanya sejak awal saya ngga pernah menegaskan soal definisi itu. Ada etik karena saya sebagai majelis komisoner juga,” katanya.

Ketiga, belum menjadi concern. Hal ini merupakan akibat turunan dari belum terdapatnya persepsi seragam terkait dengan kewajiban keterbukaan informasi. Misalnya, kewajiban untuk mengembangkan sistem informasi yang biasanya berupa pembuatan website yang informasi update dan juga kewajiban meja layanan informasi sebagai tempat yang dituju ketika seseorang membutuhkan data atau informasi pada suatu institusi atau lembaga.

“Pemerintah belum ada resource untuk kontrol. Lagipula KIP nggak bisa pastikan dan punya mekanisme untuk compliance. Tapi itu semua bisa diminimalisir kalau keterbukaan sudah menjadi sebuah kebutuhan, bukan lagi kewajiban,” tutupnya.

Di tempat yang sama, Wakil Koordinator ICW Agus Sunaryanto berpendapat bahwa pihaknya selaku bagian dari Badan Publik Non-Pemerintah telah comply dengan sejumlah kewajiban yang dimandatkan oleh UU KIP. Awalnya, memang menjadi persoalan bagi beberapa LSM lain terutama yang belum “mapan” dan berada di luar Jakarta dan pulau Jawa. Sebab, Agus melihat tak semua LSM memiliki banyak anggota. Bahkan, rata-rata LSM di luar Jakarta ada yang beranggotakan tak lebih dari lima orang.

“Bagaimana mesti menunjuk pegawai yang bertugas sebagai PPID kalau anggotanya tak lebih dari tiga orang. Ini masih dalam tahap yang wajar di masa enam tahun berlaku efektif. Dan masih butuh proses serta internalisasi,” ujarnya.

Hadir sebagai peserta, Mustolih Siradj mengungkapkan bahwa kendala lain dalam implementasi keterbukaan informasi adalah persoalan eksekusi. Mustolih yang ‘cukup rajin’ melakukan uji akses terhadap sejumlah lembaga dan instansi menilai bahwa eksekusi berupa permintaan penguatan kepada Pengadilan Negeri dari sisi pemohon berbiaya cukup mahal.

Sebab, lanjutnya, tidak semua instansi atau lembaga patuh dan melaksanakan putusan majelis Komisioner KIP. Tanpa dikuatkan oleh Pengadilan, ia khawatir pihak Termohon tidak melaksanakan putusan tersebut. “Ini jadi problem,” ujar Mustolih yang juga Wakil Ketua DPN APSI.

Kritik lainnya, lanjut Managing Partner dari Firma Hukum Siradj & Partners itu adalah terkait dengan terbatasnya UU KIP pada aspek formalitas. Maksudnya, UU KIP hanya sebatas menjangkau apakah suatu instansi atau lembaga secara formal telah memenuhi amanat undang-undang seperti PPID dan DIP. Namun, dalam hal substansi informasi yang dibuka kepada publik tidak dapat dijangkau oleh undang-undang ini.

“Ini masih sebatas formal. Isu substansi informasi tidak bisa apabila misalnya ada informasi yang tidak benar,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait