Gara-Gara ‘Memo Sakti’, Ketua MK Dijatuhi Sanksi Etik
Berita

Gara-Gara ‘Memo Sakti’, Ketua MK Dijatuhi Sanksi Etik

Arief Hidayat dinilai telah melanggar Kode Etik, Prinsip Keempat ‘Kepantasan dan Kesopanan’, penerapan butir 8.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ketua MK, Arief Hidayat. Foto: RES
Ketua MK, Arief Hidayat. Foto: RES
Gara-gara pernah mengirim memo katebelece alias “surat sakti” kepada Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Widyo Pramono, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat dijatuhi sanksi ringan berupa teguran lisan oleh Dewan Etik MK. Dewan Etik menilai tindakan Arief mengirim memo tersebut untuk “menitipkan” Jaksa pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Trenggalek, M. Zainur Rochman, adalah bentuk pelanggaran etik.

“Dewan Etik menjatuhkan keputusan Hakim Terduga, Arief Hidayat dinyatakan melakukan pelanggaran ringan terhadap Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi dengan sanksi teguran lisan,” demikian bunyi keputusan Dewan Etik MK yang dimuat di website MK, Jumat (29/4). Keputusan ini dijatuhkan Majelis Dewan Etik yang diketuai Abdul Mukhtie Fadjar dengan anggota M. Zaidun dan M Hatta Mustafa pada 15 Maret 2016.

Kasus ini bermula adanya pemberitaan media nasional yang menyebutkan adanya dugaan Ketua MK Arief Hidayat membuat memo katabelece/surat pengantar, pada Januari 2016, yang ditujukan kepada R Widyo Pramono. Dalam pemberitaan itu intinya Arief meminta bantuan promosi M. Zainur Rochman yang masih famili sang ketua MK itu.

Dalam pemberitaan itu tertulis “Saya hadapkan famili saya yang mengantar berkas ini bernama M. Zainur Rochman. Ybs adalah Jaksa di Kejari Trenggalek dengan jabatan Kasie Perdatun dengan pangkat Jaksa Pratama/Penata Muda IIIc. Mohon titip dan dibina dijadikan Anak Bapak.

Saat diperiksa Dewan Etik dan saksi-saksi lain, Arief mengakui pernah meminta tolong Zainur mengantarkan dokumen hasil penilaian karya ilmiah Widyo Pramono sebagai syarat pengusulan calon guru besar di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dari dokumen itu sekaligus melampirkan surat/memo tertanggal 16 April 2015 yang diantaranya berisi pesan agar M. Zainur Rochman “dibina sebagai anak bapak”.

Pesan ini dimaksudkan agar Widyo sebagai jaksa senior yang bakal menjadi guru besar dapat membimbing Zainur dalam rangka meningkatkan integritas dan ilmu pengetahuan yang dimiliki. Jadi, memo itu bukan untuk menitipkan atau meminta bantuan Widyo agar bisa mempromosi atau memutasi tanpa memperhatikan persyaratan yang semestinya. Lagipula, kewenangan promosi-mutasi ada pada Jaksa Agung Muda Pembinaan.

Dalam pertimbanganya, Dewan Etik tak sependapat dengan pembelaan atau klarifikasi Arief. Sebab, bagaimanapun isi memo itu bisa menimbulkan multiintepretasi negatif. Meski Dewan Etik belum menemukan motif sesungguhnya dari butir dua memo tersebut, tetapi tindakan ini menunjukkan kekuranghati-hatian Hakim Terlapor dalam membuat memo yang isinya bisa ditafsirkan negatif bagi seseorang yang baru saja dikenal.

Lepas dari itu, menurut Dewan Etik, tindakan Hakim Terlapor itu tidak sesuai Kode Etik Prinsip Keempat “Kepantasan dan Kesopanan”, penerapan butir kedelapan berbunyi “Hakim Konstitusi dilarang memanfaatkan atau memberikan kesempatan kepada orang lain untuk memanfaatkan wibawa Mahkamah bagi kepentingan pribadi Hakim Konstitusi atau anggota keluarganya, atau siapapun juga…..”.

“Hakim Terduga telah melanggar Kode Etik, Prinsip Keempat ‘Kepantasan dan Kesopanan’, penerapan butir 8,” sebut Majelis Dewan Etik dalam keputusannya.

Dewan Etik pun mengingatkan Hakim Terduga selaku Ketua MK harus selalu menjadi tauladan dalam mematuhi Kode Etik serta senantiasa menjaga wibawa dan marwah MK.“Hal yang meringankan yaitu Hakim Terduga mengakui perbuatannya. Motif dan niatnya baik untuk mendorong seseorang terus belajar untuk meraih kemajuan serta tidak terbukti tindakannya untuk tujuan yang negatif.”
Tags:

Berita Terkait