Nadirsyah Hosen: Dosen Hukum Tetap Pertama di Australia Asal Indonesia
Berita

Nadirsyah Hosen: Dosen Hukum Tetap Pertama di Australia Asal Indonesia

Sekitar 11 tahun menjadi dosen hukum tetap di Australia. Tantangan demi tantang ia hadapi.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Nadirsyah Hosen. Foto: www.monash.edu
Nadirsyah Hosen. Foto: www.monash.edu
Istilah ‘jago kandang’ yang dikenal dengan hanya berani atau unggul di lingkungannya sendiri, jelas tak tepat untuk disematkan kepada seorang Nadirsyah Hosen. Pasalnya, ia berani mencatatkan sejarah baru dengan menjadi orang Indonesia pertama yang menjadi dosen hukum di Australia.

Gus Nadir, begitu ia akrab disapa, telah menjadi tenaga pengajar tetap di negara yang terkenal dengan hewan Kangguru itu selama 11 tahun. Rinciannya, dua tahun di Universitas Queensland, delapan tahun di Universitas Wallongong, dan sejak tahun lalu di Universitas Monash, Melbourne.

Diwawancarai melalui sambungan telepon, Jumat (29/4), saat hukumonline menyanyakan alasannya kenapa memilih mengajar di Australia bukannya di negeri sendiri, Nadir malah membalikkan pertanyaan dan mengatakan, “kenapa nggak?”

“Selama ini kita itu hanya menjadi konsumen. Nggak cuma untuk orang Indonesia yang bersekolah di luar negeri ya. Di Indonesia juga sekarang sudah banyak kan justru yang memberi kuliah itu adalah dosen-dosen asing. Nah saat ada kesempatan menjadi 'produsen', ya saya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu,” Nadir menjelaskan sesaat kemudian.

Pria kelahiran tahun 1973 ini menyebutkan bahwa saat tengah bekerja sebagai post-doctoral research fellow, lowongan untuk menjadi dosen datang. Ia pun bersaing bersama ribuan pendaftar lain dengan memenuhi dan mengikuti semua proses rekrutmen yang disyaratkan oleh kampus hingga diterima menjadi dosen tetap.

Nadir mengakui, tantangan mengajar di sana memang cukup besar. Bila di Indonesia, kebanyakan jurusan ilmu hukum merupakan pilihan opsional mahasiswa, di Australia justru hukum menjadi pilihan utama. Passing grade untuk bisa duduk di bangku kuliah jurusan ini sangat tinggi.

“Karena itu, jadi setiap perkuliahan harus dipersiapkan dengan benar-benar serius. Mahasiswa hukum di sini sangat pintar, jadi bisa dibayangkan dong bagaimana dosennya? Kami itu sebelum perkuliahan dimulai harus mempersiapkan betul presentasinya, sudah harus mengunggah reading books-nya, dan setiap paper yang masuk harus benar-benar kami koreksi,” Nadir memamparkan.

Biasanya, lanjut Nadir, paper dikembalikan ke mahasiswa dengan penuh coretan. Jika ada mahasiswa yang protes dan ingin diskusi, dosen harus selalu siap. Untuk itu, dosen wajib ada di kantor setiap saat.

Lahir dengan darah seorang profesor mengalir di tubuhnya, membuat Nadir sangat mencintai dunia akademis. Hal ini bisa dilihat dari gelar akademis yang disandang putra dari Prof Ibrahim Hosen ini. Sesaat setelah menyelesaikan studi S1-nya, Nadir mengambil dua program master berturut-turut di Australia. Tak lama, ia pun langsung mengambil gelar PhD, bahkan di dua universitas sekaligus dalam waktu bersamaan.

“Waktu selesai S2 saya sempat pulang kok enam bulan. Sempat ngajar juga selama enam bulan di IAIN. Waktu itu mahasiswa pada senang banget karena mungkin dilihatnya ada dosen pengajar mereka yang lulusan luar negeri ya?” ujarnya.

Nadir yang telah menyandang gelar Master of Arts (MA) untuk jurusan Islamic Studies dari Universitas New England dan Master of Laws (LLM) dari Universitas Northern Territory lantas melanjutkan S3 dan mengejar gelar PhD di Universitas Wollongong untuk jurusan hukum umum dan di National University of Singapore (NUS) untuk jurusan hukum Islam.

“Ayah saya pernah berpesan, kelak kalau kamu menjadi dosen jangan hanya seperti ayah yang paham hanya satu bidang. Almarhum kan ahli fiqih ya, hanya hukum Islam yang dikuasainya. Nah, makanya S2 dan S3 saya mengambil hukum umum juga. Ya sebenarnya dari S1 saya sempat mengambil SH juga di UMJ, tapi ngga selesai karena keburu dapet beasiswa S2,” tuturnya.

Semangat Nasionalisme Itu Luas
“Jangan gunakan nasionalisme sempit,” begitu ungkap Nadir saat ditanya apakah tidak ada keinginan darinya untuk kembali ke tanah air. Nadir percaya dalam era kemajuan teknologi saat ini, segalanya tidak berbatas atau borderless. Termasuk juga semangat nasionalisme yang selalu dijadikan alasan orang untuk kembali ke kampung halaman dan berkontribusi.

Nadir mengatakan, dengan mengajar di negeri orang bukan berarti ia tak memiliki semangat tersebut. Menurutnya, menjadi dosen di negeri orang malah justru membuka banyak jalan bagi bangsa ini untuk ikut go international juga. Selain itu, jika ada kampus di Indonesia mau kerja sama dengan kampus di luar negeri, dengan ada dosen Indonesia yang mengajar di negara lain itu kolaborasi juga jadi lebih mudah.

“Mau mendatangkan dosen asing misalnya, atau kalau mau kolaborasi sama-sama membuat penelitian tentang sesuatu. Kalau ada kenalan dosen orang Indonesia, tentunya akan lebih mudah dong,” lanjutnya menerangkan bagaimana nasionalisme itu tetap ada meskipun tak kembali ke tempat kelahirannya.

Nadir kerap memberikan semangat dan mengajak dosen-dosen lain untuk bisa mengikuti jejaknya. Misalnya, jika dirinya mendapat undangan mengisi kuliah atau seminar ke Fakultas Hukum di Indonesia, ia akan memprovokasi dosen-dosen di sana agar tertarik mengajar di luar negeri.

“Kalau lagi di kampus-kampus gitu, saya suka minta izin sama dekannya untuk ketemu dengan dosen muda. Saya provokasi mereka, saya komporin, supaya mereka juga mau ngajar di luar. Jangan hanya jago kandang saja, saya bilang begitu ke mereka. Ya tapi kan pilihan masing-masing ya,” tutupnya.
Tags:

Berita Terkait