Kasus Klasik Buruh Vs Perusahaan
Utama

Kasus Klasik Buruh Vs Perusahaan

Persoalan dua pihak mulai dari upah, fasilitas, PHK hingga pesangon.

Oleh:
KARTINI LARAS MAKMUR
Bacaan 2 Menit
Foto: SGP
Foto: SGP
Tanggal 1 Mei akan menjadi hari besar bagi kalangan buruh. Di balik momentum peringatan hari buruh tersebut, masih banyak kasus hukum yang melibatkan buruh dan pengusaha. Berikut beberapa putusan pengadilan terkait dengan kasus klasik dalam hubungan perburuhan yang dirangkum hukumonline.

Upah di bawah UMK
Pada tanggal 5 Desember 2012, seorang pengusaha di Surabaya, Tjioe Christina Chandra, harus menelan pil pahit pidana. Ia dihukum penjara satu bulan lantaran membayar murah buruhnya. Tjioe terbukti memberi upah lebih rendah dari standar upah minimum berdasarkan pada wilayah kota atau provinsi.

Tjioe dinyatakan melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni Pasal 90 Ayat (1) jo. Pasal 185 Ayat (1). Pasal 90 Ayat (1) menyebutkan, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Sementara Pasal 185 Ayat (1) menyebutkan, pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun, dan/atau denda paling sedikit Rp 100 juta dan paling banyak Rp 400 juta.

Di dalam vonis kasasi No. perkara 687 K/Pid.Sus/2012, Tjioe juga diganjar dengan hukuman tambahan berupa denda Rp 100 juta. Apabila ia tidak mampu membayar denda tersebut, hakim M. Zaharuddin Utama yang didampingi Surya Jaya dan T. Gayus Lumbuun menetapkan dapat diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan. Dalam proses sebelumnya di Pengadilan Negeri Surabaya Tjioe diputus bebas, tetapi jaksa penuntut umum mengajukan kasasi.

Fasilitas rekreasi
Serikat Pekerja Kimia Energi Pertambangan Minyak dan Gas PT Multi Bina Pura Internasional menuntut perusahaannya. Mereka menuntut agar perusahaan mengadakan kegiatan rekreasi di luar perusahaan. Fasilitas itu diminta untuk diberikan kepada karyawan dan keluarganya setahun sekali.

Selain menuntut rekreasi, serikat buruh juga meminta perusahaan memberikan tunjangan tidak tetap. Tunjangan kerajinan diberikan untuk semua pekerja. Ketentuan ini dianggap menyeimbangkan sanksi bagi pekerja yang terlambat maupun pulang awal.

Di tingkat pertama, Pengadilan Hubungan Industrian pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menerima permintaan tersebut. Tidak puas dengan putusan pengadilan yang tidak mengakomodasi tuntutan mengenai skema upah, serikat pekerja pun mengajukan peninjauan kembali. Namun, Mahkamah Agung melalui putusannya No. 117 PK/Pdt.Sus-PHI/2015 menolah permohonan tersebut.

PHK tidak sah
Pada tanggal 21 Januari 2013, Daryati, seorang perempuan asal Tangerang dipecat oleh perusahaannya. Operator pada bagian kontrol kualitas di PT Natindo Adi Raya dengan gaji tak sampai Rp 2,5 juta saat itu, tak terima dirinya dipecat begitu saja. Ia pun mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang.

Dalam proses mediasi, Daryati berhasil meyakinkan perusahaan bahwa kesalahannya tidak fatal. Ia hanya melakukan perintah atasan dan tidak memiliki itikad tidak baik. Pada akhirnya, dirinya kembali dipekerjakan oleh perusahaan.

Hanya saja, selama proses hukum berjalan Daryati tidak menerima hak yang biasa diterimanya. Ia pun mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung agar perusahaan membayarkan haknya selama proses mediasi berlangsung. Akan tetapi, majelis hakim yang diketuai oleh Mahdi Soroinda dalam Putusan MA No. 841 K/Pdt.Sus-PHI/2015 menyatakan Daryati tak berhak dibayar selama mediasi karena tak ada bukti ia berkehendak melakukan pekerjaan selama waktu itu.

Tak bayar pesangon
Setelah empat belas tahun bekerja, Harisanto diberhentikan dengan cukup dramatis. Ia dinilai bermalas-malasan saat waktu kerja padahal sedang beristirahat untuk minum. Kepala Gudang PT Sinar Abadi Indo Makmur di Semarang itu pun harus kehilangan penghasilannya sekitar Rp 800 ribu per bulan.

Merasa bahwa pemecatannya tidak sesuai prosedur hukum, Harisanto kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial pad Pengadilan Negeri Semarang. Ia pun meminta haknya dipenuhi perusahaan. Selain menuntut pembayaran pesangon, Harisanto juga meminta uang penghargaan masa kerja, uang penggantian sisa cuti, serta kekurangan upah karena upahnya di bawah UMK Kota Semarang.

Setelah ditotal, Harisanto menuntut perusahaan memberinya hampir Rp 68 juta. Pada tanggal 17 September 2015, pengadilan memutuskan Harisanto berhak mendapatkan pesangon dan uang penggantian dengan nilai sekitar Rp 13 juta. Pihak perusahaan kemudian mengajukan kasasi dan menyatakan bahwa pemutusan hubungan kerja dilakukan atas inisiatif Harisanto sendiri. Akan tetapi, MA menolak permohonan kasasi tersebut.

Tags:

Berita Terkait