Ini Catatan Koalisi Terhadap RUU Pemberantasan Terorisme
Berita

Ini Catatan Koalisi Terhadap RUU Pemberantasan Terorisme

Mulai berpotensi bertentangan dengan KUHAP, konstitusi, hingga mengabaikan hak ganti kerugian korban salah tangkap.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penanganan aksi terorisme di Sarinah, Jakarta. Foto: RES
Ilustrasi penanganan aksi terorisme di Sarinah, Jakarta. Foto: RES
Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sudah mulai melakukan pembahasan dengan pemerintah. Namun, draf RUU tersebut dinilai Koalisi Masyarakat Sipil (KMP) belum menjawab permasalahan dalam pemberantasan terorisme di dalam negeri.

Anggota koalisi Erasmus Napitupulu menilai ketentuan yang terdapat dalam draf dinilai melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusnia yang dianut dalam berbagai intrumen. Mulai deklarasi universal hak asasi manusia, hingga Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (ICEAFRD).

Dalam catatan koalisi, kata Erasmus, setidaknya terdapat beberapa permasalahan dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pertama, ketetuan mengenai kewenangan penangkapan yang bertentangan dengan KUHAP. Pria biasa Eras itu mengatakan, RUU tersebut memberikan kewenangan penyidik melakukan penangkapan terhadap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme dalam waktu 30 hari.

Padahal nomenklatur hukum yang berlaku di Indonesia tidak mengenal status hukum terduga sebagaimana diatur dalam RUU ini. Aturan dalam KUHAP hanya mengatur penangkapan dilakukan dalam waktu satu hari. Sedangkan penahanan dilakukan terhadap tersangka berdasarkan bukti yang cukup.

Kedua, terkait dengan kewenangan pencabutan status kewarganegaraan. Menurutnya, ketika seseorang Warga Negara Indonesia (WNI) mengikuti segala jenis pelatihan tindak pidana terorisme, negara diberikan kewenangan mencabut status kewarganegaraan. Hal itu dinilai bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945, yakni status kewarganegaraan merupakan hak setiap orang, termasuk hak kebebasan sipil.

“Pencabutan kewarganegaraan memiliki konsekuensi status keadaan tanpa negara (statelessness) yang tidak lagi mendapatkan jaminan perlindungan dari negara sehingga patut untuk dihindari,” ujarnya di Jakarta, Senin (2/5).

Ketiga, konsep deradikalisasi terorisme. Deradikalisasi oleh pemerintah dijadikan media pendekatan baru yang digalang dalam mengatasi pemberantasan terorisme. Namun Eras menilai justru berpotensi melanggar HAM. Menurutnya dengan adanya kewenangan bagi penegak hukum menempatkan orang tertentu di satu tempat selama 6 bulan dalam rangka program deradikalisasi patut dipertanyakan. Sebab mekanisme seperti itu berpeluang mennciptakan model pusat penaganan yang rentan disalahgunakan melakukan penyiksaan dan tindakan tidak manusiasi lainnya.

Keempat, terkait akuntabilitas kinerja penegak hukum dalam pemberantasan terorisme. Eras berpandangan RUU tersebut belum membahasa gamblang bentuk pertangungjawaban dan akuntabilitas aparat penegak hukum dalam melakukan operasi pemberantasan. Kasus salah tangkap acapkali dilakukan aparat penegak hukum. Kasus Siyono misalnya. Berdasarkan catatan Komnas HAM misalnya sedikitnya terdapat 121 orang yang diduga melakukan terorisme, tewas, tanpa menjalani proses peradilan terlebih dahulu.

“Dalam kerangka hak asasi manusia, tindakan tersebut masuk dalam extrajudicial killing atau pembunuhan yang dilakukan di luar sistem hukum - tanpa putusan pengadilan-,” ujar Eras yang juga peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

Kelima, tuntuan ganti kerugian. Menurut Eras, operasi pemberantasan terorisme yang terjadi, acapkali mengesampingkan kerugian terhadap korban yang mengalami. Tak saja pihak yang diduga melakukan pidana maupun pihak lain yang terkena dampak. Padahal kerugian yang dialami korban tak saja materil dan imateril, namun juga trauma psikis, stigma teroris terhadap korban salah tangkap. “Rancangan yang ada saat ini belum membahas tentang penggantian kerugian yang dialami oleh korban ataupun pihak terdampak lain,” ujarnya.

Keenam, penguatan hak korban terorisme. Fakta di lapangan, penanganan terhadap korban terorisme kerap tidak mendapat perhatian khusus. Padahal dalam berbagai ketentuan UU, hak korban telah tercantum. Ia menilai korban dalam mendapatkan haknya kerap mesti melalui prosedur yang memberatkan.Misalnya bantuan medis psikologis hingga kompensasi.

Belum Sempurna
Menteri Hukum dan HAM (MenkumHAM) Yasonna H Laoly  dalam pembahasan dengan Pansus mengakui banyak terdapat catatan yang perlu didalami. Ia mengatakan masih terdapat banyak hal yang belum masuk dalam substansi. “RUU ini belum sempurna, perlu pembahasan bersama pemerintah dan DPR agar lebih baik. Dapat mencegah, dan deteksi terorisme dan sejauh mungkin RUU ini tidak sampai penindakan,” ujarnya pertengahan pekan lalu.

Anggota Pansus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Martin Hutabarat setidaknya mencatat empat hal. RUU tersebut mesti memberikan rasa aman terhadap seluruh masyarakat. Kedua, dapat meningkatkan kemampuan aparat penegak hukum mencegah da mendeteksi gerakan terorisme. Ketiga, RUU tersebut mesti menjadi bagian dalam pembangunan hukum dan tidak bertentangan dengan HAM, KUHAP, dan KUHP. “Sehingga tidak ada penyimpangan yang jauh,” ujarnya.

Anggota Pansus lainnya Aboe Bakar Alhabsy mengatakan masih terdapat ketidakjelasan terhadap rumusan korporasi teror, dan pencabutan kewarganegaraan. Oleh sebab itulah draf tersebut perlu dikaji mendalam sebelum dilakukan pembahasan lebih jauh. Aboe menilai terdapat beberapa pasal yang berpotensi melanggar HAM. Pasalnya boleh jadi bakal terjadi penyalahgunaan kewenangan yang berdampak pelanggaran HAM. Yaitu pasal 12b, 25, 28 dan 43a.

“FPKS melihat draf ini belum mengatur pembuktian dengan baik, bukti awal yg cukup pasal 28 KUHP diganti dengan frasa diduga keras, dua alat bukti sah. Ini menimbulkan subjektivitas tinggi,” pungkas anggota Komisi III dari Fraksi PKS itu.

Tags:

Berita Terkait