Ketua MK Sebaiknya Mundur
Berita

Ketua MK Sebaiknya Mundur

Perilaku Arief Hidayat telah menjadi preseden buruk bagi rekam jejak personalnya.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat. Foto: RES
Ketua Mahkamah Konstitusi, Arief Hidayat. Foto: RES
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat dinilai telah menciderai simbol penjaga konstitusi lantaran pernah mengirimkan memo katebelece yang “menitipkan” kerabatnya Jaksa pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Trenggalek, M. Zainur Rochman, kepada jaksa senior Widyo Pramono. Pasalnya, posisi Arief sebagai Ketua MK merupakan representasi dari lembaga tersebut.

Demikian diungkapkan oleh peneliti dari Lembaga Independensi Peradilan (LeIP), Liza Farihah, di Jakarta, Senin (2/5). Liza mengatakan, tindakan Arief sudah masuk dalam kategori nepotisme. Sebab, langkahnya mengirimkan memo tersebut dilakukan untuk menguntungkan orang lain.

“Terlepas yang bersangkutan mendapatkan keuntungan atau tidak, nyatanya Arief sebagai Ketua MK telah memanfaatkan jabatannya untuk memberikan keuntungan kepada orang lain,” ujar Liza.

Ia menyesali perbuatan yang dilakukan Arief sebagai orang yang seharusnya bisa menjaga marwah konstitusi. Di sisi lain, ia mengapresiasi sikap Arief yang mau mengakui kesalahannya. Namun, menurutnya hal ini harus diikuti dengan penyesalan.

“Jangan hanya sekadar pengakuan. Tetapi harus ada kesadaran untuk tidak mengulangi hal semacam itu di waktu mendatang,” katanya.

Liza pun menilai, tindakan Arief tersebut wajar diganjar dengan teguran lisan dari Dewan Etik MK. Ia mengatakan, sanksi sosial yang diberikan oleh masyarakat terlihat lebih berat. Menurutnya, reaksi yang ditunjukan masyarakat melalui media masa maupun media sosial menjadi penghukuman tersendiri bagi Arief.

Ia mengatakan, meski diganjar dengan sanksi ringan sudah sepatutnya posisi Ketua MK diganti. Sebab, ia mengatakan perilaku Arief telah menjadi preseden buruk bagi rekam jejak personalnya. Namun, ia menilai Arief masih tetap layak menjadi hakim konstitusi.

“Jadi memang seharusnya mundur sebagai Ketua MK. Tetapi masih tetap menjadi hakim konstitusi,” tambahnya.

Sementara itu, Liza juga berharap kasus yang dialami Arief sekaligus mengingatkan bahwa harus ada mekanisme yang transparan dan akuntabel dalam seleksi hakim konstitusi. Ia menyatakan, proses seleksi yang bersifat politis tak bisa dihindari. Hanya saja, harus ada transparansi dan akuntabilitas yang bisa dipertanggungjawabkan.

“Sejauh ini tidak ada aturan mengenai proses seleksi hakim MK. Semua dikembalikan kepada peraturan internal lembaga-lembaga yang mengajukan calon. Akan tetapi, institusi yang menjadi gerbang awal proses seleksi pun tak memiliki aturan internal yang spesifik mengenai seleksi hakim MK ini,” ungkapnya.

Selain itu, ia juga menegaskan bahwa persoalan katebelece ini harus menjadi tamparan bagi semua pejabat publik di Indonesia. Ia mengakui, pengiriman memo katebelece lazim dilakukan oleh pejabat publik di negeri ini. Sayangnya, perilaku salah itu kerap dianggap sesuatu yang wajar.

“Sebenarnya inilah sumber dari masalah carut-marutnya peradilan di Indonesia. Secara umum, tidak hanya di MK saja. Mulai dari proses rekrutmen, pembinaan, hingga pengawasan hakim tidak dilakukan dengan merit sistem. Sebab, pola semacam katebele itu senantiasa terjadi,” tuturnya.

Liza menjelaskan, proses rekrutmen hakim selama ini masih kurang transparasn. Ia mengingatkan, proses yang tidak profesional mengakibatkan banyak hakim yang tidak kapabel harus menanggung beban mengadili perkara yang banyak dan berat. Akibatnya, putusan yang dihasilkan pun tidak berkualitas.

Dirinya pun mengatakan, untuk memutus mata rantai kekacauan sistem rekrutmen itu merit system merupakan syarat yang mutlak dilaksanakan. Menurutnya, harus ada penyempurnaan dalam pengelolaan jabatan hakim. Terutama, kejelasan aturan yang lebih detail sehingga bisa menjamin transparansi dan akuntabilitas.

“Sekarang masih sering terjadi Mahkamah Agung dan Kementerian Pendayagunaan Aparatura Negara dan Reformasi Birokrasi saling lempar tanggung jawab. Akibatnya, banyak hal-hal teknis terkait pengelolaan jabatan hakim yang menjadi terbengkalai,” keluhnya.

Tags:

Berita Terkait