Kasus Katebelece Ketua MK Tidak Bisa Dianggap Remeh
Berita

Kasus Katebelece Ketua MK Tidak Bisa Dianggap Remeh

Dewan Etik mesti mengumumkan pemberian sanksi terhadap Ketua MK ke publik.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil. Foto: SGP
Anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil. Foto: SGP
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat telah diberikan sanksi etik terkait dengan kasus memo ketebelece kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas) Kejagung. Demi menjaga martabat lembaga konstitusi, Dewan Etik MK mesti mengumumkan ke publik agar tidak terjadi kesimpangsiuran terkait sanksi apa yang diberikan terhadap Arief Hidayat. Hal ini disampaikan anggota Komisi III DPR, Muhammad Nasir Djamil, melalui sambungan telepon kepada hukumonline, Selasa (3/5).

“Sebaiknya MK menyampaikan ke publik aturan apa yang dilanggar dan sanksi apa yang diberikan terkait jenis pelanggaran tersebut, sehingga publik tidak mengandai-andai dan tidak ragu,” ujarnya.

Menurutnya, tepat tidaknya sanksi yang diberikan kepada Arief, telah ada mekanisme yang mengaturnya. Namun seorang hakim konstitusi merupakan sosok negarawan yang mestinya menghindari perbuatan pelanggaran etik. Nasir berpandangan tindakan Arief sebagai bentuk nepotisme. Mestinya, Arief dapat melakukan hal tersebut dengan lisan tanpa mengeluarkan memo dan membawa lembaga.

“Jadi memang dengan membawa lembaga dan posisi ketua lembaga tidak dibenarkan. Kalau dikatakan bagian nepotisme, bisa mungkin tapi kadarnya. Tapi ini apakah orang yang direkomendasikan punya kemampuan, cakap dan layak ditempatkan, itu pertanyaan,” ujarnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu berbaik sangka bahwa Arief hanya khilaf hingga terlampau bersemangat dengan menuangkannya dalam bentuk memo. Menurutnya, dengan membawa lembaga terkesan atensi mesti diperhatikan untuk ditindaklanjuti. Ia berharap insiden tersebut tak terulang terhadap hakim konstitusi lainnya. Sebab dengan begitu, marwah lembaga dapat tetap terjaga.

“Jadi, kadang-kadang orang sering tersandung masalah kecil, tapi tidak boleh dianggap masalah kecil juga ini. Tidak boleh dianggap remeh, jarang orang tersandung batu besar, karena batu besar sudah nampak di depannya. Makanya kalau media mau meributkan maka jatuhlah itu Arief. Cuma media tidak membesar-besarkan,” katanya.

Berbeda dengan Nasir, peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal  mengatakan tindakan Arief membuat Indonesia sebagai negara hukum tercoreng hitam. Ia menilai Arief tak layak disebut sebagai seorang negarawan. Ia pun berpandangan Arief dapat dilaporkan kembali atas dugaan pelanggaran etik lantaran melakukan kebohongan publik. Pasalnya Arief sebelumnya pernah menyangkal ‘menjual’ pengaruhnya dalam memo ketebelece untuk kerabatnya tersebut.

“Untuk menyelamatkan kredibilitas MK, dia harus mundur,” ujarnya melalui pesan singkat.

Lebih jauh, Erwin berpendapat sekalipun diberikan sanksi berupa teguran pun tidak cukup. Memandang dari aspek sistem, kata Erwin, UU No.8 Tahun 2011 tentang MK mesti direvisi. Khususnya penguatan pengawasan etik terhadap para hakim konstitusi. Selain itu perlu adanya standar seleksi yang sama di setiap lembaga pengusul. Sebab, MK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan amat besar perlu diperketat pengawasannya.

“Agar peristiwa Akil Mochtar dan Arif ini tidak terulang lagi di masa mendatang. Kepercayaan publik dibalas oleh mereka dengan menyimpangi sakralitas konstitusi,” ujarnya.

Ketua Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Victor Santoso Tandiasa, berpandangan sembilan hakim yang bertengger di singgasana lembaga konstitusi merupakan para negarawan yang mesti menjaga integritas, berkepribadian tidak tercela dan berwibawa. Selain itu, kewibawaan dan kehormatan lembaga mesti dijaga dengan tidak melakukan perbuatan tercela dan melanggar etik. Pasalnya, hanya dalam Pasal 15 UU MK yang mensyaratkan hakim konstitusi mesti seorang negarawan.

“Namun kami sangat menyayangkan dan prihatin atas tindakan yang dilakukan oleh ketua MK Arief Hidayat yang telah melakukan kebohongan publik dan menggunakan kekuasaanya membuat memo di selembar kerta dengan tertera log Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.

Victor menyayangkan dewan etik hanya memberikan sanksi ringan. Padahal, kebohongan publik yang dilakukan yakni membantah tidak melakukan hal tersebut. Namun, saat menjalani pemeriksaan di dewan etik, Arief terbukti melakukan perbuatan yang dinilai melanggar etik sebagaimana diatur dalam kode etik MK. Kendati demikian Victor menilai penyangkalan maupun bantahan tidak dinilai sebagai tindakan pelanggaran etik. Padahal kebohongan publik sebagai bentuk tindak pidana.

“Oleh karena itu demi terjaganya kewibawaan Mahkamah Konstitusi, dan demi menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga penjaga hak-hak konstitusional warga negara, maka kami meminta dengan segala kerelaan dan kebesaran hati ketua MK Arief Hidayat agar mengundurkan diri dari Jabatannya sebagai Hakim Konstitusi jika memang beliau adalah seorang Negarawan sejati,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait