Praktik Korupsi di Lembaga Yudisial Cukup Sistemik
Berita

Praktik Korupsi di Lembaga Yudisial Cukup Sistemik

Langkah cepat dan tepat mesti ditempuh KPK untuk mencegah konsolidasi kembalinya mafia peradilan.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Tertangkapnya Panitera Sekretaris (Pansek) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution, yang berlanjut dengan pencegahan dan penyitaan terhadap Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi mengindikasikan adanya persoalan serius di tubuh institusi peradilan tertinggi itu.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Miko Susanto Ginting, mengatakan langkah KPK yang tak kunjung menetapkan Nurhadi sebagai tersangka menjadi pertanyaan. Pasalnya, KPK sudah melakukan pencegahan dan penyitaan sebelumnya.

“Lebih dari itu, kasus ini harus dilihat dalam rangkaian yang tidak terpisahkan dengan kasus-kasus sebelumnya. Misalnya, operasi tangkap tangan terhadap ATS (Ka Subdit Kasasi dan PK MA) serta Hakim dan Panitera PTUN Medan,” ujarnya.

Rentetan beragam kasus menunjukan adanya praktik korupsi di lembaga yudisial yang cukup sistemik. Bahkan, telah mengakar di institusi pengadilan. Oleh karena itulah langkah KPK mesti segera menentukan sikap dengan menjerat semua pihak yang diduga terlibat dalam jaringan mafia peradilan.

Miko berpandangan, langkah cepat dan tepat mesti ditempuh KPK untuk mencegah konsolidasi kembalinya mafia peradilan. Menurutnya, langkah cepat tersebut dengan segera menetapkan nama-nama yang diduga terlibat dalam jaringan mafia peradilan berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagai tersangka.

“KPK juga perlu untuk memetakan jaringan mafia peradilan dan korupsi judisial agar penanganan terhadapnya dapat dilakukan secara utuh dan menyeluruh,” katanya.

Anggota Komisi II DPR Nasir Djamil berpendapat, KPK yang memproses kasus tersebut tak boleh tebang pilih. KPK mesti membongkar mafia peradilan di tubuh lembaga peradilan. “Tentu saja penegakan hukum tidak boleh pandang bulu. Karena memang ada ditemukan barang bukti indikasi harus diproses,” ujarnya kepada hukumonline.

Meski sepakat praktik mafia di lembaga peradilan harus dibongkar, Nasir meminta penegakkan hukum tidak menargetkan seseorang menjadi tersangka. Apalagi, adanya semacam rekayasa. Pasalnya kata Nasir, aparat penegak hukum dapat melakukan rekayasa. Terlepas adanya barang bukti uang miliaran rupiah di kediaman Nurhadi, KPK mesti menangani secara objektif.

Kasus tersebut memang menjadi perhatian komisi tempatnya bernaung di DPR. Makanya, Komisi III sempat merencanakan menggelar rapat konsultasi dengan MA. Namun karena terdapat acara Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) rencana pertemuan antara MA dengan Komisi III tertunda. Nasir bersama rekan anggota lain di Komisi III mengaku tersentak dengan insiden tersebut. Termasuk ditemukannya bukti uang miliaran rupiah yang tersimpan di kediaman Nurhadi.

“Kita kaget dengan berita itu (ditemukan uang di closet, -red),” ujar politisi Partai Keadilan Sejahtera itu.

Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR), Erwin Natosmal, mengatakan dengan mengamati informasi dan keterangan dari pihak KPK terhadap penggeledahan di kediaman Nurhadi, setidaknya lembaga anti rasuah itu telah memiliki barang bukti. Ia menilai KPK semestinya sudah menetapkan Nurhadi sebagai tersangka.

Ia berharap KPK bergerak cepat dan tidak terlambat dalam menentukan status hukum Nurhadi. Ia khawatir bila saja KPK terlambat, bakal berimplikasi terhadap bukti-bukti yang dikantongi lembaga antirasuah itu. Implikasi dimaksud Erwin, yakni berpotensi dihilangkannya alat bukti.

Erwin berpandangan keterkaitan Nurhadi dalam dugaan ‘pengurusan’ perkara cukuplah kuat. Meski demikian, Erwin menghormati strategi yang digunakan KPK dalam membongkar jaringan mafia peradilan yang bercokol di lembaga beradilan. Memang, mafia peradilan terdengar santer, namun selama ini sulit dibuktikan.

“Catatan saya cuma satu, kalau KPK terlambat maka potensi alat bukti disamarkan cukup besar,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait