Ini Empat Catatan Terkait Perda Penghambat Investasi di Daerah
Berita

Ini Empat Catatan Terkait Perda Penghambat Investasi di Daerah

Perda yang memberatkan pelaku usaha akan membuat pelaku usaha tidak tertarik melakukan investasi di daerah tertentu.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Diskusi KPPOD di Jakarta. Foto: NNP
Diskusi KPPOD di Jakarta. Foto: NNP
Pemerintah kian gencar dalam mengupayakan peningkatan iklim investasi. Salah satunya, dengan menerbitkan Paket Kebijakan yang hingga saat ini telah sampai jilid XII. Ironisnya, di tengah upaya yang dilakukan pemerintah tersebut justru ‘dihambat’ oleh banyaknya regulasi tingkat daerah yang ditengarai menghambat peningkatan investasi di daerah. Hal itulah yang coba dikupas dalam suatu diskusi yang digelar oleh Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) di Jakarta, Selasa (3/5).

Ketua KPPOD P. Agung Pambudhi mengatakan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) semestinya memperhatikan sejumlah aspek ketika merancang regulasi tingkat daerah, seperti Peraturan Daerah (Perda). Pemda mesti mulai aware dengan isu investasi yang kini tengah diupayakan oleh Pemerintah Pusat. “Pemda jangan abaikan prinsip ekonomi saat terbitkan pemda,” ujarnya.

Alih-alih mendorong percepatan investasi ke daerah-daerah, nyatanya pemda justru membuat Perda yang secara substansi justru memberatkan pelaku usaha atau investor yang mencoba melakukan ekspansi bisnis. Di satu sisi, pemda didorong untuk lebih meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang utamanya berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah. Namun, seharusnya pemda membuat langkah inovatif yang tidak hanya bergantung pada dua sektor yang menyumbang paling besar untuk PAD.

Dalam catatan KPPOD misalnya, upaya pemda memperbesar PAD justru dengan membuat kebijakan yang ‘mengunci’ pelaku usaha lewat kewajiban-kewajiban yang dari segi ekonomi sangat memberatkan. Belum lagi, regulasi yang dibuat kebanyakan tak punya basis hukum yang kuat dan seringkali dibuat secara tumpang tindih dengan aturan yang skala nasional selevel undang-undang.

“Itu jadi tidak menarik bagi investor. Mestinya dipertimbangkan kebijakan yang mendekatkan pada kesejahteraan,” tutupnya.  

Berdasarkan kajian dan penelitian yang dilakukan sejak akhir tahun 2015, ditemukan ada 262 Perda bermasalah dari 507 Perda yang dikaji. Peneliti KPPOD Mohamad Yudha Prawira mengatakan, pihaknya merekomendasikan sekiranya terhadap 232 Perda dilakukan revisi dan dicabut. Sebab,  kajian KPPOD menemukan banyaknya potensi yang muncul berupa pungutan yang memberatkan lewat instrumen pajak daerah dan retribusi daerah oleh pemda.

“Dari hasil kajian kita memetakan ada empat lingkup permasalahan dalam regulasi daerah yang menghambat iklim investasi,” ujarnya.

Pertama, Perda Pajak. Setidaknya ada 44 Perda dari total 154 Perda yang diteliti mengandung permasalahan. Secara tipologi, permasalahan pada regulasi pajak daerah cenderung pada aspek substansi yang berkaitan dengan standar waktu, biaya, prosedur, dan struktur tarif. Misalnya, pelanggaran terkait ketentuan objek pajak dalam Perda Surabaya Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah yang memasukan rumah kos sebagai objek pajak hotel.

Pasal 3 ayat (4) aturan tersebut tersebut memasukan rumah kos dengan nilai sewa kamar paling rendah Rp 750 ribu/kamar sebagai objek pajak hotel. Padahal, Pasal 32 ayat (3) UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah telah mengecualikan objek pajak hotel adalah jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya. Dimana dalam aturan Penjelasan Pasal aturan itu disebut bahwa pengecualian tersebut didasarkan atas izin usahanya. “Kenapa ada perluasan objek pajak terhadap rumah kos?” katanya.

Aturan lain terkait dengan pajak hotel ada pada Perda Kabupaten Pangkajene Kepulauan Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah. Dalam catatan KPPOD, aturan tersebut berpotensi disalahgunakan untuk melakukan pungutan liar. Bagaimana tidak, dalam aturan itu disebutkan bahwa setiap wajib pajak hotel wajib melegalisasi atau perporasi bon penjualan (bill) kepada Kepala Dinas. Apalagi, dalam ayat selanjutnya diatur sanksi administrasi berupa denda Rp10 ribu/bulan jika tidak melakukan legalisasi terhadap bill. “Ini potensi pungutan liar karena mesti legalisasi bon oleh Kepala Dinas,” tambahnya.   

Kedua, Perda Retribusi. Setidaknya ada 166 Perda yang bermasalah dari 290 Perda yang dilakukan penelitian. Secara tipologi, permasalahan Perda Retribusi ini dinilai menghambat starting business/Start-up karena sejumlah perizinan terkait seperti izin gangguan atau HO menjadi syarat yang mesti dipenuhi diawal oleh pelaku usaha. Seperti, Perda Kota Bandung Nomor 19 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan, Retribusi IMB dan Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta dan Perda Kabupaten Sidoarjo Nomor 5 Tahun 2012 tentang Izin Gangguan yang mengatur syarat memperoleh izin gangguan melebihi syarat yang diatur dalam Permendagri Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pedoman Penetapan Izin Gangguan Di Daerah.

Dalam Permendagri tersebut hanya diatur tiga syarat memperoleh izin gangguan, yakni fotokopi KTP atau akta pendirian usaha, status kepemilikan tanah, dan formulir permohonan izin. Namun, dua Perda tersebut mengatur lebih dari hal itu. Misalnya dalam Perda Kota Bandung diatur syarat lainnya seperti fotokopi surat IMB, surat penyataan tertulis dari tetangga sekitar yang berpotensi terkena dampak usaha tersebut dan diketahui oleh RT dan RW setempat. lalu keterangan domisili perusahaan dari lurah dan camat dan fotokopi lunas PBB tahun terakhir. “Ini memberatkan perusahaan dan hambat iklim investasi di daerah,” kritiknya.

Selain itu, kendala lain terkait Perda Retribusi adalah masih beragamnya sturktur tarif retribusi izin gangguan antar daerah. Jika dibandingkan, struktur tarif dalam Perda Kota Depok Nomor 17 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan izin Pemanfaatan Ruang dan Perda Kotabaru Nomor 4 Tahun 2012 tentang Retribusi Perizinan Tertentu cukup jelas perbedaannya. Struktur tarif pada Perda Kotabaru hanya luas usaha, indeks gangguan, dan nilai retribusi. Sementara pada Perda Kota Depok terdiri indeks luas ruang tempat usaha, indeks lokasi, indeks gangguan, dan indeks skala nilai investasi.

Jika disimulasikan, perhitungan tarif izin ganggunan dalam Perda Kota baru kurang lebih sebagai berikut. Jika luas usaha 2.337.090 M2, maka perhitungan tarif retribusi izin gangguan (luas usaha x indeks x nilai retribusi) yakni: 2.337.090 x 1 x Rp5 ribu, maka besaran retribusi yang mesti dibayarkan adalah Rp11.684.450.000 dan masih harus diperbarui setiap tiga tahun sekali. “Ini menjadikan high-cost economy terutama bagi bisnis yang baru memulai usaha,” katanya

Ketiga, Perda Ketenagakerjaan. Salah satu substansi yang dinilai memberatkan pelaku usaha adalah terkait dengan pengisian lowongan pekerjaan yang memprioritaskan warga domisili sekitar perusahaan paling kurang 60 persen dari tenaga kerja yang dibutuhkan. Dikatakan Yudha, hal tersebut bertentangan dengan beberapa hal, antara lain prinsip free internal trade serta Pasal 5 UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa setiap orang diberikan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi dalam memperoleh pekerjaan.

Dua aturan yang diteliti, yakni Perda Kota Bekasi Nomor 18 Tahun 2011 tentang Pelayanan Ketenagakerjaan dan Perda Kabupaten Karawang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Ketenagakerjaan menimbulkan polemik dan permasalahan baru yang ujung-ujungnya menjadi hambatan dalam iklim investasi di daerah tersebut. “Ini sangat sulit diimplementasikan terutama bagi perusahaan yang telah lebih dulu ada sebelum diatur hal itu,” sebutnya.

Keempat, Perda Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (TJSL). Secara istilah, TJSL lebih banyak dikenal sebagai corporate social responsibily (CSR) yang  sebetulnya sudah diatur oleh sejumlah regulasi, seperti UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dari 50 Perda terkait TJSL, ditemukan ada 7 Perda yang mengatur biaya persentase TJSL.

Tujuh Perda terkait TJSL tersebut antara lan Perda Kota Bekasi Nomor 6 Tahun 2015 (3%), Perda Kabupaten Barito Utara Nomor 3 Tahun 2015 (3%), Perda Kabupaten Tanjung Jabung Timur Nomor 13 Tahun 2013 (6%), Perda Kabupaten Kotawaringin Barat Nomor 1 Tahun 2012 (1-3%), Perda Kabupaten Mojokerto Nomor 7 Tahun 2012 (1-3%), Perda Provinsi Kalimantan Timur Nomor 3 Tahun 2013 (3%), dan Perda Kota Cimahi Nomor 10 Tahun 2013 (2%).

Padahal, sebagaimana diatur dalam PP Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkutan Perseroan Terbatas diatur bahwa besaran TJSL untuk swasta adalah berdasarkan kepatutan dan kewajaran. Terlepas dari hal itu, salah satu persoalan yang dikritisi KPPOD adalah terkait pelaksanaan TJSL di Kabupaten Karawang lantaran penetapan tarif TJSL sebesar 2,5% dari laba perusahaan. Selain karena tidak berdasar pada hukum, penetapan tarif tersebut seringkali dilakukan dengan cara penekanan terhadap pelaku usaha melalui sidak rutin yang dilakukan. “Pemda tidak berwenang menuntut perusahaan mengalokasikan TJSL 2,5%,” tutupnya

Secara singkat, Direktur Eksekutif KPPOD Robert Endi Jaweng mengkritisi lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri ketika melakukan review terhadap rancangan Perda (Raperda) pada tahap pembahasan. Menurutnya, ketika pengawasan dilakukan dengan baik oleh pusat, ia yakin tak akan ada sebanyak ini Perda-Perda yang bermasalah dan tumpang tindih. Tak cuma itu, ia juga sempat heran lantaran hingga saat ini Perda yang bermasalah tersebut belum dicabut oleh Menteri Dalam Negeri.

“Pusat punya kewenangan cabut Perda. Setahu saya sampai saat ini belum pernah ada satupun Perda yang dicabut. Dan dimana provinsi? UU beri otoritas kepada provinsi untuk review Perda. Apa provinsi sebagai aksesori saja? Pengawasan preventif harus diperketat,” singkatnya.
Tags:

Berita Terkait