Dua Ahli Jelaskan Risiko Menghapus Pasal 5 UU ITE
Utama

Dua Ahli Jelaskan Risiko Menghapus Pasal 5 UU ITE

Penyebarluasan rekaman yang bersifat privat tanpa seizin si pemilik dapat melanggar hak asasi manusia.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Dua Ahli Jelaskan Risiko Menghapus Pasal 5 UU ITE
Hukumonline
Pakar hukum media dari Universitas Airlangga Henry Subiakto menganggap aturan alat bukti elektronik dalam Pasal 5 ayat (1), (2) juncto Pasal 44 UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sangat penting di era teknologi informasi yang semakin pesat. Jika aturan tersebut dihilangkan, tidak ada aturan yang dapat melindungi warga negara dari kejahatan dunia maya (cyber crime).

“Kemajuan teknologi bisa mengubah hal privat menjadi milik publik meskipun tanpa izin termasuk ranah pidana dan membutuhkan perlindungan hukum untuk pencegahannnya, yakni UU ITE,” ujar Henry saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU ITE yang diajukan mantan Ketua DPR Setya Novanto di Mahkamah Konstitusi, Selasa (03/5) kemarin.

Menurut Henry, pasal-pasal UU ITE yang bersifat privat bisa masuk ranah pidana (hukum publik). Misalnya, seseorang hanya mengirim informasi kepada satu orang, tetapi satu orang itu meneruskan informasi itu kepada orang lain. Lalu, dalam waktu cukup panjang akhirnya menyebar menjadi sebuah komunikasi publik luar biasa yang jangkauannya bisa diketahui jutaan orang. “UU ITE ini untuk masa depan yang berkait dengan kehidupan digital,” kata ahli yang sengaja dihadirkan Pemerintah ini.

Menurutnya, setiap aktivitas yang terekam secara digital atau elektronik dapat dijadikan sebagai alat bukti. Namun, apabila hal itu bersifat privat, kemudian dibuka ke publik tanpa seizin si pemiliknya, maka hal itu bisa terancam pidana.

“Misalnya, ada orang berkomunikasi dengan orang lain secara privat. Kemudian salah satunya membuka pembicaraannya, apakah ini pidana atau tidak? Ya, tergantung. Sudah diatur oleh undang-undang atau tidak? Kalau sudah diatur, dia melanggar undang-undang, berarti dia pidana,” terangnya.

Hal senada disampaikan ahli pemerintah lainnya yakni pakar Hukum Telematika Universitas Indonesia Edmon Makarim. Dia mengakui penyebarluasan rekaman tanpa seizin si pemilik dapat melanggar hak asasi manusia (HAM).

Namun, lanjutnya, membatalkan berlakunya Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 44 UU ITE bukan solusi yang dapat dibenarkan. Sebab, bagaimanapun setiap informasi elektronik kerap dijadikan alat bukti yang sah. “Kalau Pasal 5 itu harus hilang dari UU ITE, kita enggak punya lagi satu entry yang menyatakan informasi elektronik sebagai alat bukti untuk multi hukum acara,” katanya.

Lewat tim kuasa hukumnya, Setya Novanto (Setnov) mempersoalkan Pasal 5 ayat (1), (2), Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Pemberantasan Tipikor terkait informasi, dokumen elektronik, rekaman sebagai alat bukti dalam proses hukum. Pemohon menganggap alat bukti berupa dokumen yang terekam secara elektronik tidak bisa dijadikan alat bukti apabila diperoleh secara tidak sah.

Menurutnya, perekaman tanpa izin/persetujuan orang yang berbicara dalam rekaman atau dilakukan secara diam-diam tanpa diketahui pihak-pihak yang terlibat jelas melanggar hak privasi orang yang pembicaraannya direkam. Seperti hasil rekaman yang dilakukan mantan Dirut PT Freeport Indonesia Ma’roef Sjamsudin kepada pemohon. Karena itu, seharusnya bukti rekaman itu tidak dapat dijadikan alat bukti karena diperoleh secara ilegal.

Setnov pun mempersoalkan Pasal 88 KUHP dan Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor khususnya menyangkut makna frasa ‘pemufakatan jahat’. Sebab, frasa ‘pemufakatan jahat’ dalam Pasal 88 KUHP yang dijadikan acuan UU Pemberantasan Tipikor tidak jelas dan menimbulkan beragam penafsiran yang potensial melanggar hak konstitusional dalam penegakan hukum.

Seperti dialami Pemohon yang populer dengan sebutan “Papa Minta Saham” PT Freeport Indonesia. Sejak Setnov mundur sebagai ketua DPR saat diadili Majelis Kehormatan Dewan (MKD), Jampidsus pada Kejagung menyelidiki dugaan tipikor terkait perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia. Setnov dan beberapa pihak lain telah diselidik yang diduga melakukan permufakatan jahat atau mencoba melakukan korupsi yang dijerat Pasal 15 UU Pemberantasan Tipikor.

Bagi Pemohon, pengertian “pemufakatan jahat” pada Pasal 88 KUHP hanya berlaku dalam tindak pidana umum. Namun, ketika dihubungkan degan pemufakatan jahat dalam korupsi harus menyaratkan kualitas dan kapasitas tertentu. Sebab, dari sejumlah pemberitaan media disebutkan Direktur Penyelidikan pada Jampidsus memandang Setnov terlibat dalam pemufakatan jahat untuk memperpanjang izin divestasi saham PT  Freeport Indonesia.

Menurutnya, Setnov tidak pada posisi berwenang dan berkapasitas memperpanjang kontrak PT Freeport. Jaksa Agung telah menyederhanakan unsur “dua orang atau lebih yang bersepakat” tanpa memahami lebih jauh apakah “dua orang atau lebih” itu memiliki kapasitas dan kualitas melakukan tindak pidana dan apakah kesepakatan itu ditujukan melakukan tindak pidana.

Karena itu, pemohon meminta frasa “pemufakatan jahat” dalam Pasal 88 KUHP yang kemudian diadopsi oleh Pasal 15 UU Tipikor dimaknai “dikatakan ada pemufakatan jahat bila dua orang atau lebih mempunyai kualitas dan kapasitas bersepakat melakukan tindak pidana” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Tags:

Berita Terkait