Kebijakan Proyek Energi Menggunakan Batu Bara Menuai Kritik
Berita

Kebijakan Proyek Energi Menggunakan Batu Bara Menuai Kritik

LSM desak pemerintah mengubah Kebijakan Energi Nasional (KEN) sebelum Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) ditetapkan.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Koalisi Break Free. Foto: NNP
Koalisi Break Free. Foto: NNP
Sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) mengkritik kebijakan proyek energi nasional 35.000 MW lantaran masih menggunakan energi batu bara. Mereka yang tergabung dalam Koalisi Break Free meminta pemerintah untuk menghentikan penggunaan energi batu bara dan segera beralih sepenuhnya kepada energi baru terbarukan. Tak cuma mulai menghentikan penggunaan batu bara, koalisi juga mendesak pemerintah mengubah kebijakan penggunaan batu bara dalam proyek energi 35.000 MW.

Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Hendrik Siregar mengatakan, pemerintah mestinya mengubah ketentuan dalam PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) terutama terkait dengan penyediaan dan pemanfaatan energi batu bara sebagai dalam rangka mencapai bauran energi primer yang optimal pada tahun 2025 dan 2050 nanti.

“Perubahan mendasar harus segera dilakukan. Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan target rasio elektrifikasi yang berpondasi fosil harus diganti,” ujarnya dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (9/5).

Pasal 9 huruf f PP Nomor 79 Tahun 2014 mengatur komposisi bauran energi primer pada tahun 2025 dan tahun 2050. Dalam ayat (3) aturan tersebut dinyatakan bahwa pada tahun 2025 peran batu bara paling minim 30 persen. Sementara pada tahun 2050, peran batu bara paling minim 25 persen. Terhadap regulasi tersebut, Hendrik mendorong pemerintah melakukan revisi terhadap aturan yang menjadi payung hukum pada bidang energi. Selain itu, ia juga mendorong revisi KEN tersebut lebih fokus pada energi terbarukan.

Memang, hingga saat ini Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sebagai aturan yang menjadi pedoman pelaksaan serta pengelolaan menyeluruh pada sektor energi masih belum ditetapkan. Prinsipnya, KEN menjadi pedoman penyusunan RUEN. Namun, lanjut Hendrik, hal itu bukan menjadi permasalahan bila RUEN nantinya menghilangkan penggunaan sumber energi, khususnya batu bara. “Toh KEN juga masih bisa direvisi kembali, jangan menjadi kaku,” tambahnya.

Berbagai upaya untuk memberikan perspektif pada pemerintah juga telah dilakukan oleh koalisi. Dikatakan Hendrik, sekira awal tahun 2015 kemarin ia pernah melakukan ‘lobby’ dengan salah satu anggota Dewan Energi Nasional (DEN) A Sonny Keraf. Namun upaya itu belum membuahkan hasil, padahal koalisi berharap dilibatkan dalam memberikan pendapat pada penyusunan RUEN. Koalisi janji akan terus kawal persoalan ini.

“Energi terbarukan mesti menjadi prioritas dan bisnis utama dalam mengejar target rasio elektrifikasi dan pertumbuhan ekonomi. Di kemudian hari nanti pemerintahan selanjutnya dan rakyat yang akan menanggung masalahnya,” katanya.  

Di sisi lain, koalisi menilai pembangunan sejumlah PLTU serta perluasan tambang batu bara dalam proyek 35.000 MW tidak memperhatikan dampak sosial dan lingkungan yang serius. Saat ini, 42 PLTU yang telah beroperasi di Indonesia telah menghasilkan polutan berbahaya seperti merkuri, arsenik, serta PM 2,5 dan PM 10.

Kedua jenis partikulat berbahaya sebagai akibat dari pembakaran batu bara dapat menyebar hingga radius 500-1000 km dari lokasi PLTU. Namun, bahaya partikulat itu tak cuma mengancam warga sekitar wilayah PLTU, melainkan warga di wilayah yang tidak terdapat PLTU juga terncam terkena dampat tersebut.

Selain itu, perluasan pembongkaran dan penghancuran kawasan hutan lindung pada konsesi tambang di wilayah Kalimantan atau daerah lainnya di Indonesia dinilai berdampak pada kerusakan bentang alam. Juru Bicara Eksekutif Nasional WALHI, Khalisah Khalid berpendapat, perluasan ekspansi industri batu bara untuk kepentingan ekspor dan industri membuat ketergantungan akan energi ‘kotor’ semakin tinggi. Padahal, catatan WALHI menunjukkan bahwa sumber energi ‘bersih’ terbarukan jauh lebih melimpah dan bahkan lebih mudah diakses oleh rakyat.

“Dengan semakin meningkat dan masifnya bencana ekologis, kita tidak memiliki waktu yang lebih lama khususnya bagi pemerintah untuk segera memutuskan beralih dari energi ‘kotor’ batu bara ke energi ‘bersih’ dan terbarukan demi generasi hari ini dan akan datang,” ujarnya.

Di tempat yang sama, Kepala Greenpeace Indonesia, Longgena Ginting menegaskan bahwa Indonesia mesti segera menghentikan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap energi batu bara. Menurutnya, proyek energi 35.000MW yang sebagian besar menggunakan sumber energi batu bara akan mengancam masa depan Indonesia yang seharusnya bersih dan aman.

Sebagai contoh, Tiongkok dan India kini mulai mengurangi ketergantungan meraka terhadap bahan bakar fosil lantaran membuat rakyat di negara mereka menanggung polusi udara akibat kebijakan energi yang keliru pada saat itu. “Dengan ancaman mematikan perubahan iklim. Kita tidak punya kemewahan waktu untuk berlama-lama menggunakan energi fosil yang kotor. Pemerintah harus membuat target dan membangun proses transisi yang adil untuk segera beralih menuju energi bersih terbarukan,” tutup Ginting.

Mendapat Dukungan
Di tempat yang sama, Ketua Komite Pengarah Indonesia Bergerak Menyelamatkan Bumi (Siaga Bumi) Din Syamsudin turut mendukung langkah koalisi dalam upaya menyelamatkan bumi dari krisis ekologi. Menurutnya, pemerintah mestinya mengubah paradigma dengan paradigma pembangunan berkelanjutan dengan makna (sustainable development meaning) dalam setiap menetapkan kebijakan. “Saya mendukung langkah penyelematan bumi ini,” ujarnya mantap.

Lebih lanjut, mantan Ketua PP Muhammadiyah itu berpendapat meski kebijakan proyek energi 35.000 MW punya tujuan baik yakni untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, jika kebijakan tersebut dibuat tanpa paradigma berkelanjutan dengan makna, ia memastikan kebijakan tersebut hanya akan mengekploitasi kekayaan bangsa. Untuk itu, pemerintah mesti punya kemauan secara moral dan politik untuk menggunakan energi baru terbarukan sebagai sumber utama. “Itu akan wariskan kerusakan kepada bangsa nantinya,” sambungnya. 

Meski sepakat dan mendukung gerakan untuk menggunakan energi baru terbarukan, Din sadar betul kalau upaya ini tak bisa serta merta dilaksanakan dalam waktu dekat. Sebab, sekira November 2015 kemarin dalam konferensi PBB tentang perubahan iklim (Conference of Parties/ COP-21) di Paris, Perancis, Din berkesempatan memberikan pendapatnya dalam sesi Interfaith Dialogue: Faith Action for Climate Solution yang membahas upaya dunia menggunakan sumber energi baru terbarukan.

Sebagai tindak lanjutnya, melalui LSM Religions for Peace dibuat petisi online yang per Senin (9/5) sudah mencapai angka 335.000-an pendukung. Petisi itu dalam rangka mendukung upaya serta mendesak ketetapan perubahan iklim dengan target 100 persen energi terbarukan pada tahun 2050. “Ada waktu belasan tahun berkreasi mengolah energi baru terbarukan. Ada energi matahari, ombak, angin, panas bumi, hingga nabati. Kita pasti bisa,” tutupnya.

Untuk sekedar informasi, Koalisi Break Free akan menggelar aksi besar-besaran pada Rabu 11 Mei mendatang di depan Bundaran Hotel Indonesia (HI), Jakarta. Koalisi mengajak seluruh elemen masyarakat untuk turun ke jalan dan menggelar aksi dan melakukan mobilisasi untuk menyuarakan bahwa eksploitasi energi batu bara akan membawa dampak yang sangat buruk kepada generasi yang akan datang.
Tags:

Berita Terkait