Mau Layanan Rawat Jalan Eksekutif? Baca Peraturannya
Utama

Mau Layanan Rawat Jalan Eksekutif? Baca Peraturannya

Kalau tak dikelola dengan baik bisa menimbulkan diskriminasi layanan. Pasien harus membuat surat pernyataan sanggup bayar selisih biaya.

Oleh:
ADY TD ACHMAD
Bacaan 2 Menit
Loket BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit. Foto: RES
Loket BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit. Foto: RES
Menteri Kesehatan telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 11 Tahun 2016 tentang Penyelengaraan Pelayanan Rawat Jalan Eksekutif di Rumah Sakit. Layanan eksekutif itu bisa diakses peserta umum dan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) non-Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Berdasarkan Permenkes tersebut, Pelayanan Rawat Jalan Eksekutif adalah pemberian pelayanan kesehatan rawat jalan nonreguler di rumah sakit yang diselenggarakan melalui pelayanan dokter spesialis-subspesialis dalam satu fasilitas ruangan terpadu secara khusus tanpa menginap di rumah sakit. Layanan itu memberikan sarana dan prasarana di atas standar.

Direktur Rumah Sakit (RS) Anna Medika Bekasi, Slamet Effendy, secara umum menilai Permenkes No. 11 Tahun 2016 membuka peluang asuransi swasta untuk menciptakan produk yang bisa mengakomodasi peserta JKN yang ingin mendapat pelayanan di atas standar. Bisa saja produk asuransi yang dihasilkan itu selain memberi pelayanan eksekutif juga termasuk kepesertaan JKN. Peraturan perundang-undangan memungkinkan coordination of benefit (COB) antara asuransi swasta dan BPJS Kesehatan.

Pemerintah punya target, semua penduduk Indonesia menjadi peserta JKN paling lambat 2019. Permenkes No. 11 Tahun 2016, kata Slamet, salah satu upaya untuk mencapai target itu. Kebijakan ini menyasar penduduk yang punya kemampuan ekonomi lebih untuk membeli produk asuransi kesehatan yang memberi pelayanan di atas standar.

Konsekuensi Permenkes ini adalah peluang munculnya klinik atau layanan eksekutif. Cuma, Slamet menyarankan agar ada pembatasan agar layanan reguler bagi masyarakat tak mampu tetap berjalan dengan baik. “Boleh saja pemerintah mempersilakan RS membentuk klinik eksekutif. Tapi perlu regulasi yang membatasi berapa jumlah klinik eksekutif yang layak untuk setiap RS,” ujarnya.

Pernyataan bernada kritik datang dari Timboel Siregar. Koordinator Advokasi BPJS Watch ini mengatakan Permenkes diundangkan 7 April 2016 itu memang memungkinkan peserta JKN mengakses layanan rawat jalan eksekutif. Tapi akses itu tak mudah. Peserta JKN harus mengantongi syarat seperti surat rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP). Ia juga harus membuat surat pernyataan bersedia mematuhi ketentuan sebagai pasien rawat jalan eksekutif, dan bersedia membayar selisih biaya pelayanan sesuai peraturan perundang-undangan.

Timboel menilai Permenkes berpotensi menciptakan diskriminasi terhadap peserta JKN dan mengganggu pelayanan pasien reguler di RS. RS tipe A, B, dan C diduga akan berlomba-lomba membuka layanan rawat jalan eksekutif. Kalau dugaan ini benar-benar terjadi, Timboel khawatir porsi pelayanan terhadap pasien reguler termasuk peserta JKN menjadi berkurang.

Misalnya, RS mengubah ruang pelayanan yang tadinya ditujukan untuk seluruh pasien (peserta JKN atau umum) menjadi pelayanan rawat jalan eksekutif. Timboel menengarai modus ini sudah terjadi di rumah sakit pemerintah di Semarang. “Itu bisa saja terjadi karena pelayanan rawat jalan eksekutif punya tarif khusus dan lebih mahal,” katanya di Jakarta, Senin (9/5).

Timboel melihat ada potensi pelayanan yang diskriminatif terhadap peserta JKN yang tidak mampu membayar selisih untuk mendapatkan fasilitas rawat jalan eksekutif. Keharusan membayar selisih itu dibuat dalam bentuk surat pernyataan, sesuai amanat Pasal 13 ayat (2) Permenkes. Tentu saja, pelayanan lebih akan diterima mereka yang punya uang dan sanggup membayar selisih biaya.

Jika ruangan untuk pelayanan rawat jalan reguler dikurangi, antrian pasien semakin panjang. Waktu yang dihabiskan pasien makin lama di RS. Selain itu, Timboel khawatir dokter spesialis dan subspesialis cenderung lebih memilih berpraktik di ruang pelayanan rawat jalan eksekutif ketimbang reguler. Tarif rawat jalan eksekutif yang khusus dan mahal memungkinkan dokter mendapat remunerasi lebih besar.

Agar kekhawatiran seperti yang disampaikan Timboel tak terjadi, sebenarnya Permenkes sudah membuat rambu. Pasal 11 ayat (1) menegaskan pelayanan rawat jalan eksekutif harus memiliki alur pelayanan tersendiri dan tidak boleh mengganggu pelayanan rawat jalan reguler. Pasal 12 juga melarang RS milik masyarakat menggunakan dokter spesialis dan subspesialis RS milik Pemerintah pada jam kerja.

Meskipun sudah ada rambu-rambu, Timboel tetap berharap Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek meninjau ulang beleid yang baru berumur sebulan itu. “Seharusnya Menteri Kesehatan meninjau kembali Permenkes ini dan mau mencabutnya,” usulnya.
Tags:

Berita Terkait