Begini Ahli KUHAP Maknai Seponering ‘Demi Kepentingan Umum’
Berita

Begini Ahli KUHAP Maknai Seponering ‘Demi Kepentingan Umum’

Perkara yang sudah di-SKPP seharusnya berlanjut ke persidangan. Biarkan pengadilan yang memutuskan.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Chairul Huda selaku Ahli Pemohon menyampaikan keterangannya dalam uji materi Undang-Undang tentang Kejaksaan, Selasa (10/5) di Ruang Sidang MK. Foto: Humas MK
Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Chairul Huda selaku Ahli Pemohon menyampaikan keterangannya dalam uji materi Undang-Undang tentang Kejaksaan, Selasa (10/5) di Ruang Sidang MK. Foto: Humas MK
Perdebatan kewenangan Jaksa Agung mengesampingkan perkara pidana demi kepentingan umum alias seponering (asas oportunitas) “menghiasi” sidang pengujian UU Kejaksaan di Mahkamah Konstitusi (MK). Permohon adalah Irwansyah Siregar dan Dedi Nuryadi yang pernah divonis kasus pencurian sarang burung walet sekaligus salah satu korban penembakan polisi pada Februari 2004.

Para pemohon merasa potensial dirugikan dengan berlakunya Pasal 35 huruf c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Mereka khawatir Jaksa Agung menggunakan asas oportunitas secara sewenang-wenang terhadap kasus Novel Baswedan seperti kasus para seniornya terutama kasus seponering Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah.

Belakangan dugaan kasus penganiayaan pencuri burung walet dihentikan melalui Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) No. Kep B.03/N.7.10/Ep.1/02/2016 tanggal 22 Februari 2016 yang dikeluarkan Kejaksaan Tinggi Bengkulu dengan dalih kasusnya tidak cukup bukti dan sudah daluwarsa. Hakim Praperadilan pun telah memutuskan SKPP Novel tidak sah. Karena itu, Para Pemohon meminta MK memberi tafsir konstitusional terhadap Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan.

Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan menyebut Jaksa Agung berwenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Penjelasannya menyebutkan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan/atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.

Sidang pleno yang digelar hari ini, Selasa (10/5), pemohon yang diwakili kuasa hukumnya menghadirkan Pakar Hukum Pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda. Dia mengungkapkan persoalan pokok pengujian Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan lebih tertuju pada tafsiran konstitusional yang selaras dengan prinsip penegakan hukum sesuai konstitusi. Tanpa tafsir memadai boleh jadi potensial merugikan hak konstitusional Pemohon.

Sebab, praktiknya kewenangan Jaksa Agung ini digunakan secara politis dengan menyelundupkan hukum yang justru melindungi kepentingan individu tertentu, seperti seponering kasus dugaan korupsi mantan pimpinan KPK Bibit-Chandra pada Januari 2011. Kala itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dibawah tekanan sebagian masyarakat mencampuri proses hukum dengan membentuk Tim Delapan. Selain itu, Jaksa Agung mengeluarkan seponering setelah terbitkan SKPP Bibit-Chandra dan dinyatakan tidak sah oleh PN Jaksel hingga MA.

“Seharusnya kewenangan seponering tidak dijadikan ajang ‘balasan’ atau ‘tindak lanjut’ ketika suatu perkara telah dihentikan penuntutannya oleh jaksa/penuntut umum, tetapi pengadilan negeri yang berwenang melaksanakan fungsi kontrol horisontal,” ujar Chairul Huda  di ruang sidang MK, Selasa (10/5).

Jika demikian, lanjutnya, pengadilan mewajibkan perkara yang di-SKPP-kan dilanjutkan ke proses persidangan dan menutup kemungkinan Jaksa Agung menggunakan kewenangan mengesampingkan perkara berdasarkan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan.

Dia berpendapat kewenangan seponering bukanlah diskresi yang bersifat mutlak Jaksa Agung karena frasa “demi kepentingan umum” harus dimaknai “kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas yang diwakili lembaga-lembaga negara yang berwenang menyuarakan kepentingan masyarakat”, seperti DPR, DPRD, DPD, KPK, Presiden. Hal ini berarti, kewenangan seponering sejatinya berada “diluar” Jaksa Agung agar tidak disalahgunakan.

“Penerbitan seponering tetap pada Jaksa Agung yang sifatnya hanya ‘melayani’ kepentingan umum, bukan representasi kepentingan umum itu sendiri. Ini agar kewenangan Jaksa Agung ini tidak digunakan secara serampangan,” dalihnya.

Menurut dia, hakikatnya kepentingan umum merupakan kepentingan lembaga negara atau setidaknya menyuarakan kepentingan masyarakat luas. Karena itu, seyogyanya Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan khususnya frasa “demi kepentingan umum” dimaknai sebagai ‘kepentingan lembaga-lembaga negara dan/atau kepentingan masyarakat luas yang disuarakan lembaga-lembaga negara itu agar tidak ada tafsir lain.

“Seponering bisa diterbitkan Jaksa Agung ketika ada lembaga negara yang meminta mengesampingkan perkara demi kepentingan bangsa dan negara. Seponering mantan pimpinan KPK Bambang Widjojanto dan Abraham Samad ini kepentingan siapa? Ya kepentingan Bambang-Samad, tidak ada kepentingan umum atau KPK di situ karena mereka sudah mantan,” katanya mencontohkan.

Harus dibedakan
Dalam kesempatan ini, Chairul mengingatkan harus dibedakan antara frasa “demi kepentingan hukum” dalam Pasal 140 ayat (2) huruf a KUHAP yang merupakan alasan penghentian penuntutan dan “demi kepentingan umum” sebagai alasan mengesampingkan perkara. Keduanya, tidak mungkin ada dalam perkara yang sama, seperti yang menimpa mantan pimpinan KPK.

Ditegaskan Chairul, tidak logis apabila ide mengesampingkan perkara baru ada setelah ketetapan penghentian penuntutan dinyatakan tidak sah oleh pengadilan atau sebaliknya. Praktik seponering seperti ini bukanlah yang diamanatkan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan. Justru, pengesampingan perkara dilakukan Jaksa Agung karena suatu perkara tidak dapat dihentikan penuntutannya karena alasan hukum: tidak cukup bukti, bukan tindak pidana, daluwarsa, meninggal dunia. “Dalam hal ini, kepentingan hukum untuk menuntut pidana, ‘dikalahkan’ oleh kepentingan umum,” tegasnya.
Tags:

Berita Terkait