Ini Ratio Legis Terbitnya SKMA Sumpah Advokat
Berita

Ini Ratio Legis Terbitnya SKMA Sumpah Advokat

Persoalannya, MK tidak ‘berani’ membatalkan Pasal 28 ayat (1) UU Advokat tentang single bar karena menganggap itu wilayah pembentuk UU.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Juru Bicara MA, Suhadi (kanan). Foto: Sgp
Juru Bicara MA, Suhadi (kanan). Foto: Sgp
Hingga kini, Mahkamah Agung (MA) belum merespon surat Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) bernomor 070/HKHPM/SK/III/2016 tertanggal 22 Maret 2016 terkait persoalan standardisasi sumpah advokat di Pengadilan Tinggi (PT). MA menganggap Surat Ketua Mahkamah Agung (SKMA) No. 73/KMA/HK.01/IX/2015 tentang kewenangan PT mengambil sumpah advokat dari organisasi manapun tidak bermasalah secara hukum.    

“Sampai saat ini, kita belum tahu bagaimana sikap pimpinan MA terkait surat itu (surat HKHPM, red),” ujar Juru Bicara MA Suhadi saat dihubungi, Jum’at (13/5).

Suhadi menegaskan dalam SKMA itu Ketua Pengadilan Tinggi yang meneliti semua berkas persyaratan sumpah advokat. Semua persyaratan sumpah advokat itu tetap mengacu Pasal 2 dan Pasal 3 UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Misalnya, ada bukti pernah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat (PKPA), bukti magang di kantor pengacara selama 2 tahun. 

“Persyaratannya, PT tetap mengacu ke UU Advokat. Nantinya, Ketua PT yang meneliti semua persyaratan tersebut sebelum mengambil sumpah para advokat,” kata dia.

Dia mengklaim sedari awal munculnya perpecahan organisasi advokat pada 2010 lalu, MA selalu berupaya bertindak sesuai peraturan perundang-undangan. Sejak saat itu, beberapa organisasi advokat terpecah-pecah, seperti IKADIN, KAI, termasuk PERADI sendiri yang terpecah menjadi tiga organisasi advokat.    

Di sisi lain, banyak permohonan dari kalangan advokat di luar PERADI yang ingin disumpah, tetapi terhalang dengan wadah tunggal organisasi advokat yang diatur Pasal 28 ayat (1) UU Advokat. Awalnya, MA berpedoman pada sistem single bar yang dianut UU Advokat. Namun, melihat fakta yang ada, MA tidak bisa terus-menerus menghalangi hak warga negara (calon advokat) untuk menjalankan profesinya karena potensial melanggar UUD 1945.  

“Makanya, MA mengambil kebijakan menerbitkan SKMA tentang penyumpahan advokat dari organisasi manapun. Toh, kebijakan MA ini sudah sejalan dengan putusan MK terkait sumpah advokat yang tidak melihat asal organisasi advokat. Tetapi, sayangnya MK tidak ‘berani’ membatalkan Pasal 28 ayat (1) UU Advokat tentang single bar karena menganggap itu wilayah pembentuk UU,” jelasnya.

Menurutnya, saat ini kartu advokat bukanlah syarat mutlak untuk bisa beracara atau bersidang di pengadilan. Baginya, terpenting advokat dari organisasi manapun mengantongi bukti dokumen bahwa dirinya sudah pernah disumpah PT untuk bisa bersidang di pengadilan. Sebab, PT sendiri tidak menerbitkan kartu advokat, tetapi penerbitan kartu advokat menjadi kewenangan organisasi advokat masing-masing.

“Bukti penyumpahan advokat dalam praktik tergantung Pengadilan Tinggi setempat, apakah buktinya dalam bentuk berita acara penyumpahan atau dokumen akta penyumpahan. Biasanya, setelah ada bukti penyumpahan, organisasinya mengeluarkan kartu advokat, ya silakan saja,” katanya.

“Sebelum ada UU Advokat, buktinya semacam SK Ketua PT untuk advokat/pengacara lokal dan SK Menteri Kehakiman untuk advokat yang bisa beracara di pengadilan seluruh Indonesia.”                 

Sebelumnya, HKHPM lewat suratnya kepada MA menyampaikan beberapa poin. Pertama, HKHPM mengeluhkan adanya syarat penyumpahan oleh PT menyebabkan Kartu Advokat tidak lagi menjadi satu-satunya syarat untuk membuktikan status sebagai advokat. Kedua, adanya kebingungan standar syarat yang satu atau sama untuk setiap organisasi advokat. Ketiga, meminta MA mengevaluasi SKMA itu dengan melibatkan semua organisasi advokat untuk menghindari bias penafsiran atas organisasi advokat mana yang diakui.

Dalam surat itu, beberapa ketua atau perwakilan organisasi advokat membubuhkan tanda tangan. Mereka adalah Ketua HKHPM Indra Safitri, Ketua Umum PERADI Luhut MP Pangaribuan, dan perwakilan Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI)Ira A. Eddymurthy. Sementara Ketua DPN PERADI Juniver Girsang dan Ketua Umum PERADI Fauzie Yusuf Hasibuan hanya ditembuskan, tetapi bukan berarti mereka menolak isi surat tersebut.
Tags: