Ini Pandangan Kejaksaan dan Kepolisian Terkait Majelis Kehormatan Notaris
Berita

Ini Pandangan Kejaksaan dan Kepolisian Terkait Majelis Kehormatan Notaris

Intinya, Majelis Kehormatan Notaris jangan menghalangi dan menghambat proses penegakan hukum yang dilakukan.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Suasana diskusi sebagai rangkaian dari Kongres XXII INI di Palembang. Foto: NNP
Suasana diskusi sebagai rangkaian dari Kongres XXII INI di Palembang. Foto: NNP
Keberadaan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) agaknya menjadi ‘angin segar’ bagi para notaris. Lewat MKN, aparat penegak hukum tidak bisa lagi asal lakukan pemanggilan terhadap notaris tanpa mendapat persetujuan dari MKN Wilayah untuk kepentingan penyidikan dan proses peradilan atas pengambilan fotokopi minuta akta dan pemanggilan notaris dalam pemeriksaan yang berkaitan dengan akta atau protokol notaris.

Bagaimana tidak, sebelum kemunculan MKN, pernah ada instrumen serupa lewat Majelis Pengawas Daerah (MPD) sebagaimana amanat Pasal 66 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Sayangnya, Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan MK Nomor 49/PUU-X/2012 menyatakan frasa ‘dengan persetujuan Majelis Pengawas Daerah’ pada Pasal 66 ayat (1) undang-undang notaris yang lama itu dibatalkan.

Sebagai pihak yang terkait langsung dengan implementasi Pasal 66 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, pihak Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung angkat bicara mengenai kewenangan MKN yang ber-irisan dengan ‘core business’ kedua institusi itu dalam penegakan hukum. Hal itu mencuat dalam suatu sesi diskusi yang menjadi rangkaian kegiatan Kongres XXII Ikatan Notaris Indonesia (INI) bertempat di Hotel Novotel Palembang, Kamis (19/5).

Dalam kapasitasnya menggantikan Jaksa Agung HM Prasetyo, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Feri Wibisono mengatakan bahwa ‘dihidupkannya’ kembali MPD lewat MKN diharapkan bukan menjadi penghambat dalam proses penegakan hukum. Sebaliknya, keberadaan MKN mestinya membantu kelancaran proses penanganan perkara dengan tetap menjunjung tinggi asas equality before the law tidak terkecuali bagi profesi notaris.

Sebab, salah satu prinsip dalam hukum acara pidana adalah proses cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Dikatakan Feri, jangan sampai proses permintaan persetujuan dari MKN Wilayah untuk pengambilan minuta akta dan pemanggilan terhadap notaris yang terindikasi menyimpang peraturan perundang-undangan dan kode etik profesi justru menyimpangi salah satu prinsip itu, salah satunya memakan waktu yang lama.

Memang, Pasal 66 ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2014 mengatur bahwa paling lama 30 hari sejak diterimanya surat permohinan pemanggilan, MKN wajib memberikan jawaban menerima atau menolak permohonan tersebut. “Jangan sampai menghambat proses penanganan perkara. Sebab, satu hari saja ada keterlambatan pemeriksaan terhadap suatu berkas maka besar potensi tindak pidana yang sedang ditelusuri akan ‘dikaburkan’ oleh pelaku,” kata Feri yang pernah menjadi atase Kejaksaan RI di Bangkok.  

Oleh karenanya, lanjut Feri, notaris dalam menjalankan profesinya dituntut selalu menerapkan prinsip kehati-hatian, ketelitian, dan kecermatan terutama dalam membuat atau menerbitkan akta. Perlu juga dipahami, proses penegakan hukum tak cuma menjadi tanggung jawab penegak hukum. Tapi, notaris selaku pejabat umum yang punya intelektualitas tinggi juga dimandatkan oleh undang-undang untuk memahami urgensi proses penanganan perkara pada tindak pidana yang dilakukan oleh penegak hukum.

“Mudah-mudahan bisa berikan persetujuan dengan cepat dan progresif seperti urgensi hukum acara pidana,” tukasnya.

Di tempat yang sama, Kasubdit pada Bareskrim Polri, Kombes Pol Daniel Aditya juga punya pandangan yang tidak jauh berbeda. Dalam kaitannya dengan proses penyidikan, dihadirkannya notaris untuk dimintai keterangan sejatinya dalam rangka membuat terang peristiwa yang terjadi sekaligus melengkapi data-data pendukung yang menjadi wewenang notaris menurut undang-undang. Baik sebagai saksi ataupun ahli, kedua peran itu semata-mata guna memperkuat pembuktian secara materil yang ujungnya utnuk menambah keyakinan majelis hakim akan perbuatan terdakwa.

Jauh sebelum diterbitkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 7 Tahun 2016 tentang Majelis Kehormatan Notaris, antara Polri dengan Pengurus Pusat INI (PP INI) telah melakukan MoU Nomor: B/1056/V/2006 – 01/MOU/PP-INI/V/2006 tanggal 9 Mei 2006 yang pada intinya penyidik Polri perlu mendapat izin atau persetujuan ketika itu masih dimandatkan kepada MPD. Dikatakan Daniel, sayangnya karena seringkali adanya perbedaan pemahaman dengan MPD saat itu, akhirnya mekanisme ini justru menjadi hambatan dalam proses penyidikan.

“Ini perlu kerjasama dan koordinasi kedepan dengan MKN Wilayah dengan baik,” kata Daniel.

Polri berharap agar apa yang dulu terjadi ketika MPD masih diberikan kewenangan tidak terulang kembali pada MKN. Antara penegak hukum terutama penyidik Polri dengan MKN idak terjadi perbedaan persepsi kembali terkait hak dan kewajiban profesi notaris di muka hukum. “Diharapkan MKN ini tidak lama pelaksanaannya seperti dulu pada masa MPD,” tutupnya.

Tawaran MKN Pusat
Dalam sesi diskusi yang terpisah, Ketua MKN Pusat Mualimin Abdi mengungkapkan bahwa pihaknya awalnya cukup sulit ketika memberikan pemahaman terhadap institusi penegak hukum baik Polri dan Kejaksaan terkait dengan keberadaan MKN. Namun, dengan penjelasan dan pemahaman yang diberikan, Mualimin menyatakan bahwa institusi penegak hukum telah memahami bahwa MKN terbentuk bukan untuk ‘melindungi’ profesi notaris.

“MKN itu bertujuan mulia karena mencegah notaris dari tindak kriminalisasi yang dilakukan,” ujarnya yang juga menjabat Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Hukum dan HAM.

Meski begitu, Mualimin juga mengingatkan agar notaris selalu menjalankan profesinya secara profesional sesuai dengan undang-undang. Selain itu, notaris wajib menghindari pekerjaan yang diminta klien apabila itu bukan merupakan kewenangan meskipun ada ‘celah’ yang terbuka untuk dikerjakan oleh notaris. Dalam momentum perhelatan pemilihan Ketua Umum INI periode 2016-2019, Mualimin juga menawarkan solusi yang mungkin bisa diambil sebagai kebijakan.

Dalam kesempatan itu, ia menawarkan agar salah satu unsur dalam MKN Wilayah bisa diisi dari kalangan penegak hukum. Alasannya, agar penegak hukum lebih tahu secara mendalam tentang bagaimana perkerjaan yang dilakukan oleh notaris terkait dengan akta. Dengan mengetaui secara dalam, ia berpendapat penegak hukum akan tahu mana notaris yang benar-benar murni menjalankan profesi sesuai kode etik dan mana tindakan notaris yang murni tindakan kriminal.  

“Saya mendorong agar anggota MKN Wilayah bisa diisi salah satu unsur penegak hukum,” usulnya.

Untuk diketahui, hingga saat ini anggota MKN Wilayah belum ditetapkan. Sehingga untuk sementara waktu sampai MKN Wilayah terbentuk, permohonan pengambilan minuta akta dan pemanggilan notaris dapat melalui MKN Pusat. Terkait dengan unsur, MKN Wilayah juga diisi tujuh orang dari unsur profesi notaris, akademisi, dan pemerintah, sama halnya dengan MKN Pusat. Susunan MKN Pusat sendiri terdiri dari Mualimin Abdi, Ambeg Paramarta, Teddy Anggoro, Ricardo Simanjuntak, Adrian Djuaini, Risbert, dan Abdul Syukur Hasan.
Tags:

Berita Terkait