Pembatasan Masa Periode Hakim Agung sebagai Bentuk Pengawasan
Berita

Pembatasan Masa Periode Hakim Agung sebagai Bentuk Pengawasan

FDHI menolak dengan meminta ketentuan rancangan Pasal 32 dihapus. IKAHI beralasan jabatan hakim agung dilakukan berjenjang dan membutuhkan pengalaman panjang.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Forum Diskusi Hakim Indonesia menyambangi Baleg DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/4). Kedatangan Forum dalam rangka mendesak Baleg untuk segera membahas RUU Jabatan Hakim.
Forum Diskusi Hakim Indonesia menyambangi Baleg DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (27/4). Kedatangan Forum dalam rangka mendesak Baleg untuk segera membahas RUU Jabatan Hakim.
Badan Legislasi (Baleg) DPR mulai meminta masukan dari berbagai pemangku kepentingan terkait dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim. Beberapa hal menarik dalam RUU itu antara lain pembatasan masa periode jabatan hakim agung selama lima tahun, untuk kemudian dapat diperpanjang atau tidak untuk periode berikutnya. Hal tersebut murni menjadi usul dari Komisi III DPR sebagai pihak pengusul inisiatif RUU tentang Jabatan Hakim.

“Isu pembatasan masa jabatan hakim agung menjadi lima tahun dan dapat ditetapkan kembali setelah mendapat penilaian dari Komisi Yudisial dan mendapat persetujuan dari DPR,” ujar anggota Baleg, Arsul Sani, dalam rapat dengar pendapat umum dengan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) dan Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI), di Gedung DPR, Senin (23/5).

Arsul yang juga menjabat sebagai anggota Komisi III itu mengatakan, Komisi III ingin menyamaratakan hakim yangdinas aktif dengan pejabat negara lainya, yakni satu periode selama lima tahun. Namun, sepanjang memiliki kinerja mumpuni dalam aspek putusan perkara, kesehatan dan persyaratan penilaian lainnya setelah mendapat penilaian baik dari KY dan mendapat persetujuan dari DPR untuk dapat melanjutkan periode berikutnya.

Pasal 32  ayat (1) RUU tentang Jabatan Hakim menyatakan, “Hakim Agung memegang jabatan selama 5 (lima) tahun dan dapat ditetapkan kembali dalam jabatan yang sama  setiap 5 (lima) tahun berikutnya setelah melalui evaluasi yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Ayat (2) menyatakan, “Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia”.

Arsul berpandangan rancangan pasal tersebut bukan sebagai bentuk intervensi terhadap kekuasaan yudikatif. Sebaliknya,ketentuan rancangan Pasal 32 dalam RUU Jabatan Hakim sama halnya dengan Pasal 22 UU No. 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi.

Pasal 22 UU tentang MK menyatakan, “Masa jabatan hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1(satu) kali masa jabatan berikutnya”. Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu menilai, bila saja hakim tak setuju dengan ketentuan Pasal 22, boleh jadi MK dapat membatalkan ketentuan norma tersebut.

Menurutnya, hakikat dari rancangan ketentuan Pasal 32 RUU Jabatan Hakim merupakan pengawasan secara tidak langsung. Dengan kata lain, ketentuan Pasal 32 memacu hakim agung sebagai pejabat negara agar meningkatkan kinerja dan kemampuannya sebagai hakim agung. “Ini tidak dalam pengawasan langsung, tapi pengawasan tidak langsung,” ujarnya.

Lebih lanjut, mantan advokat senior itu berpandangan jabatan hakim agung di banyak negara memang tidak terdapat periodesasi. Namun, dalam rangka menciptakan standar integritas hakim agung, maka dibutuhkan aturan agar memacu hakim agung menjadi lebih bagus. Sebagai pembentuk UU, DPR menggagas adanya standar peningkatan kualitas hakim agung.

“Jadi harus ada instrumen UU. Memang ada kekhawatiran di Pasal 32 seperti intervensi, padahal tidak. Tapi kita harus hormati semua masukan. Soal penilaian hakim agung, itu nanti ditetapkan oleh KY. Kita dorong KY agar lebih transparan,” katanya.

Wakil Ketua Baleg Dossy Iskandar Prasetyo menambahkan, posisi KY sebagai penyeimbang Mahkamah Agung terkait pengawasan etik. Ia menilai pembatasan masa periode hakim agung menjadi 5 tahun lantaran sebagai pejabat negara. Pejabat negara, kata Dossy, disesuaikan dengan masa periodesasi. Ia menilai gagasan pembatasan masa jabatan hakim agung untuk kemudian ditetapkan kembali perpanjangan masa periode dalam rangka check and balance.

Anggota Komisi III itu berpendapat, di usia sepuhnya hakim agung tidak berimbang dengan beban penyelesaian perkara yang ditanganinya. Akibatnya, pembuatan putusan pun dilakukan oleh staf hakim agung. Oleh sebab itu, dalam rangka penataan diperlukan evaluasi kapasitas kemampuan, kompetensi dan kesehatan para hakim agung dengan periodesasi. “Ini untuk menata penempatan jabatan hakim agung,” ujar politisi Hanura itu.

Anggota IKatan Hakim Indonesia (IKAHI), Prof Abdul Gani Andullah, mengatakan masa periodesasi disebabkan perlunya pemeriksaan kesehatan dan akademik terhadap hakim agung. Namun, kata Abdul Gani, bukan dalam merekrut ulang hakim agung. Ia menilai tidak semua hakim agung yang berusia di atas 67 tahun dalam kondisi renta. “Buktinya saya sudah 69 tahun masih sehat seperti ini,” ujarnya.

Meski tidak menunjukkan ketidaksetujuannya secara langsung terhadap rancangan Pasal 32 RUU Jabatan Hakim, Abdul Gani menilai hal tersebut masih sebatas keinginan semata pengusul, belum menjadi norma. Bahkan, rancangan aturan Pasal 32 pun belum dibahas antara DPR dengan pemerintah.

Kendati demikian, sebagai pelaksana UU, lembaga yudikatif mesti taat terhadap ketentuan tersebut bila akhirnya disetujui dan diundangkan oleh DPR dan pemerintah. Namun, bila dipandang dari aspek lain, maka alasan tersebut tidaklah logis. “Kalau dari politik hukum itu mau tidak mau kita harus taat ada periodesasi lima tahun. Kalau mau lihat rasionalitas logis. Tapi dari sisi lain tidak logis karena jabatan hakm itu berjenjang,” ujarnya.

Sementara Koordinator Forum Diskusi Hakim Indonesia (FDHI) Djuyamto sependapat dengan Prof Abdul Gani Abdullah. Menurutnya prinsip universal yang berlaku hakim merupakan jabatan yang tidak berlaku singkat. Sebaliknya semakin lama menjabat sebagai hakim maka semamkin matang pula sebagai ‘wakil Tuhan’ di muka bumi.

Menurutnya, dalam merancang ketentuan Pasal 32 mesti adanya penelitian terlebih dahulu. Makannya FDHI dalam daftar inventarisir masalah (DIM) RUU Jabatan Hakim menunjukan ketidaksepakatannya. Oleh sebab itu, FDHI dalam DIM yang dilayangkan ke Baleg meminta ketentuan rancangan Pasal 32 dihapus. “Kami kurang sepakat. Apa pernah diteliti melalui relasi putusan dengan yang dibuat,” pungkas Ketua Pengadilan Negeri Dompu Nusa Tengara Barat itu.
Tags:

Berita Terkait