Masuk Birokrasi, Hakim Mesti Tanggalkan Status Pejabat Negara
RUU Jabatan Hakim

Masuk Birokrasi, Hakim Mesti Tanggalkan Status Pejabat Negara

Karena berkaitan dengan fasilitas yang akan diterima.

Oleh:
ROFIQ HIDAYAT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi profesi hakim. Foto: RES
Ilustrasi profesi hakim. Foto: RES
Rancangan Undang-Undang (RUU) Jabatan Hakim mengatur profesi hakim sebagai pejabat negara. Namun, masih perlunya pendalaman terkait ‘pejabat negara’ yang disandang oleh hakim, antara lain seorang hakim ketika memilih masuk struktur organisasi mesti menanggalkan status ‘pejabat negara’.

Anggota Badan Legislasi (Baleg) Arsul Sani melontarkan pandangan terkait status hakim sebagai pejabat negara. Menurutnya, hakim dalam perjalanan kariernya tidak melulu menjalankan fungsinya sebagai seorang hakim. Setidaknya, terdapat hakim non palu, yakni tidak menangani perkara. Dalam praktiknya, terdapat hakim ditempatkan menjadi kepala di badan mau pun Humas Mahkamah Agung, misalnya.

“Kalau hakim dari tingkat pertama jadi pejabat negara, apakah status pejabat negara itu melekat ketika menjadi birokrat di MA atau harus dilepaskan,” ujarnya dalam rapat konsultasi antara Baleg dengan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial di Gedung DPR, Selasa (24/5).

Anggota Baleg lainnya, Muchtar Luthfi A Mutty, berpandangan bila penerapan status pejabat negara tidak diberlakukan terhadap hakim ad hoc boleh jadi akan menjadi persoalan. Pasalnya, bakal terdapat pihak yang mempersoalkan putusan karena bukan sebagai pejabat negara. Hakim di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) misalnya, setidaknya terdapat hakim ad hoc.

“Kalau bukan pejabat negara kemudian putusan tidak sah, maka putusan pengadilan Tipikor jadi masalah, bagaimana dengan putusan pengadilan Tipikor sebelumnya,” ujar politisi Nasional Demokrat itu.

Perwakilan dari Mahkamah Agung, Hakim Agung I Gusti Agung Sumantha, berpandangan hakim sebagai pejabat negara mesti terdapat jenjang senioritas. Pasalnya, dalam perjalanan meniti karier, seorang hakim dituntut terus belajar sembari memperbanyak pengalamannya. Oleh sebab itu, dalam profesi hakim terdapat tingkatan senioritas. Lembaga tempatnya bernaung mengusulkan dalam RUU Jabatan Hakim dibuat sistem kepangkatan hakim di tingkat bawah. “Bagi kami penting untuk menyatakan senioritas,” ujarnya.

Terkait dengan hakim non palu, Sumantha berpandangan menjadi hal lumrah. Pasalnya, dalam praktik di Mahkamah Agung banyak terdapat hakim ‘yang dinonpalukan’ lantaran menjabat jabatan di struktur lembaga. Misalnya, kepala Badan Pengawasan (Bawas) Mahkamah Agung. Ia menegaskan terhadap hakim agung yang memegang jabatan struktural lembaga mesti menanggalkan status pejabat negara. Hal itu berkaitan dengan fasilitas yang diterima sebagian hakim berstatus pejabat negara dan sebaliknya.

“Kalau soal pejabat negaranya harus dilepaskan kalau memilih struktural. Kalau balik lagi (menjadi hakim menjalankan fungsinya, red) bagaimana, ini yang harus kita bicarakan lagi,” ujar Sumanha yang juga pengurus Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) itu.

Hakim agung lainnya, Prof Abdul Gani Abdullah, menambahkan RUU Jabatan Hakim mesti cermat dalam menempatkan posisi hakim sebagai pejabat negara. Hakim Agung misalnya, mesti jelas hak dan kewajibannya. Terpenting, RUU Jabatan Hakim mesti menjelaskan hakim sebagai pejabat negara.

“Apakah pejabat negara mulai hakim di pengadilan tinggi. Kalau hakim pejabat negara tapi perlakuannya berbeda dengan pejabat negara lainnya. Jadi harus ada rumusannya,” ujarnya.

Ketua Komisi Yudisial, Aidul Fitriciada Azhari, berpandangan aturan hakim sebagai pejabat negara sudah diatur dalam UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Menurutnya, bila merujuk negara menganut sistem common law perekrutan calon hakim terhadap kalangan professional, tidak ada pola promosi. Namun, diberlakukan mekanisme evaluasi per lima tahun terhadap hakim.

Sementara Indonesia menggunakan sistem karier. Bila menggunakan sistem karier maka masuk ke Departemen Kehakiman dan bestatus PNS. “Sementara kita mau karier tapi mau pejabat negara. Jadi harus diperhitungkan apakah pejabat negara dikaitkan dengan sistem dan rumpun,” ujarnya.

Aidul mengatakan, ada risiko terhadap profesi yang berstatus pejabat negara seperti mesti melalui periodesasi lima tahunan, misalnya. Bbila ingin konsisten, maka perekrutan hakim dengan mekanisme seleksi dengan mengutamakan kualitas. “Jadi di situlah periodesasi berlaku. Kenapa kami memandang penting evaluasi karena pejabat negara dengan penilaian profesional dengan melibatkan berbagai pihak untuk melakukan penilaian,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait