DPR dan Pemerintah ‘Ditantang’ Bahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual
Berita

DPR dan Pemerintah ‘Ditantang’ Bahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

DPD telah menyusun naskah akademik untuk kemudian disodorkan kepada DPR dan pemerintah.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Sejumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur dan perempuan mulai bermunculan ke publik. Berbagai tawaran solusi mulai Perppu Perlindungan Anak hingga pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pun menantang DPR dan pemerintah untuk segera melakukan pembahasan secara tripatrit.

Wakil Ketua DPD Gusti Kanjeng Ratu Hemas mendesak DPR dan pemerintah segera membahas sekaligus mengesahkan RUU PKS menjadi UU. Indonesia seperti dalam kondisi darurat terhadap kekerasan seksual terhadap anak. Sayangnya, hukum yang ada tidak mampu memberikan efek jera terhadap pelaku. Bahkan, bermunculan pelaku lain dengan kasus serupa. Selain itu, regulasi yang ada belum maksimal dalam memberikan advokasi dan perlindungan maksimal terhadap korban.

“DPD RI dalam masa reses kemarin telah melakukan upaya jemput bola melihat kemungkinan kasus Yuyun terjadi di daerah-daerah. Saat ini, DPD sudah menyusun naskah akademik RUU tersebut, tinggal dibahas dan segera disahkan bersama DPR RI dan Pemerintah,” ujar Hemas di Gedung DPD, Selasa (24/5).

Senator asal Yogyakarta itu berpandangan, lembaga yang dipimpinnya siap bekerjasama dengan berbagai kalangan. Mulai akademisi, Komnas Perempuan serta pihak terkait dalam merumuskan rancangan aturan PKS. Dengan begitu, diharapkan DPR dapat memberikan amunisi rumusan pasal soal hukuman yang mengedepankan keadilan bagi korban dan keluarganya. Tak kalah penting, memberikan efek jera bagi pelaku.

Ketua Komite III DPD, Hardi Selamat Hood menambahkan ancaman predator kekerasan seksual sudah tak dapat ditolerir. Keprihatinan tak saja datang dari parlemen, namun semua kalangan. Pemerintah tak boleh berdiam diri dengan aturan yang belum maksimal. Dalam rangka penegak hukum menghentikan ancaman tersebut, serta memulihkan kondisi korban dan melakukan pencehahan dibutuhkan aturan komprehensif.

DPD, kata Hardi, setidaknya sudah tiga bulan mempersiapkan RUU PKS. Pasalnya, sedari awal DPR menganggap RUU PKS menjadi prioritas Prolegnas 2016. Oleh sebab itu, masyarakat mesti mendukung agar DPR segera memasukkan RUU PKS dalam daftar Prolegnas prioritas 2016.

“Dan dapat segera dibahas bersama DPD, DPR dan pemerintah hingga disahkan sebagai UU,” ujarnya.

Wakil Ketua Komite III, Fahira Idris, berpandangan pencabutan Perda Minuman Keras (miras) merupakan langkah mundur dalam pencegahan terhadap tindakan buruk. Maraknya peredaran miras telah menimbulkan dampak buruk di berbagai daerah, di antaranya kejahatan seksual. Ia menilai miras menjadi pemicu terjadinya kejahatan seksual.

“Bahkan pelakunya pun di bawah umur yang belum selayaknya mengkonsumsi miras. Sangat disayangkan apabila pemerintah mengeluarkan kebijakan mencabut Perda tentang peredaran miras,” kata Senator Provinsi DKI Jakarta ini.

Anggota Komite III, Eny Khairani, mengatakan perlu ada upaya terpadu dari seluruh pihak untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi korban serta keluarganya. Atas dasar itu, DPD meminta semua pihak bergandengan tangan melakukan gerakan bersama anti kekerasan seksual. Selain itu, berempati terhadap anak dan perempuan dalam menciptakan lingkungan dan sistem pendidikan yang menjamin kenyamanan.

Menurutnya, DPD berencana mengkampanyekan gerakan anti kekerasan terhadap anak pada 23 Juli 2016 mendatang. Ia menilai gerakan tersebut sebagai respon cepat dari DPD dalam menyikapi berbagai kejahatan kekerasan seksual seraya menunggu pembahasan dan pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Tags:

Berita Terkait