Ahli Sebut Seponering Langgar Asas Legalitas
Berita

Ahli Sebut Seponering Langgar Asas Legalitas

Menurut Andi Hamzah apabila asas oportunitas ini dicabut sama saja merombak sistem hukum pidana dan hukum acara pidana.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Ahli Sebut Seponering Langgar Asas Legalitas
Hukumonline
Kewenangan Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (asas oportunitas) yang diatur   “Kewenangan seponering yang dimiliki oleh Jaksa Agung merupakan bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas,” ujar Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Prof I Gede Pantja Astawa saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang uji materi Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan di ruang sidang MK, Selasa (24/5).   Dia menjelaskan asas legalitas memperoleh justifikasinya dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan Indonesia sebagai negara hukum. Sebagai negara hukum, asas legalitas menjadi dasar pokok dalam setiap tindakan penyelenggara negara atau pemerintahan. Artinya, setiap tindakan penyelenggara negara harus memiliki legitimasi, yaitu kewenangan yang diberikan Undang-Undang.   “Dalam hukum pidana di Indonesia, kejaksaan menjadi satu-satunya lembaga yang diberikan kewenangan atributif melakukan penuntutan. Artinya kewenangan penuntutan () menjadi monopoli jaksa sebagai penuntut umum,” kata ahli yang dihadirkan Pemohon ini.   Dia melanjutkan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan menyebut mengesampingkan perkara hanya diberikan kepada Jaksa Agung setelah memperhatikan saran, dan pendapat dari institusi kenegaraan yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Namun, kewenangan Jaksa Agung ini justru sejatinya menyimpang dari tugas dan wewenang kejaksaan dalam melaksanakan kekuasaan negara bidang penuntutan. “Tugas dan wewenang tersebut secara ditentukan oleh KUHAP dan UU Kejaksaan yang didasarkan asas legalitas,” terangnya.   Soal lain, kata Pantja, Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan mengandung ketidakjelasan makna “kepentingan umum” sebagai alasan Jaksa Agung mengesampingkan perkara. Sebab, tidak ada batasan makna, cakupan, dan tolak ukur yang jelas dan spesifik tentang kepentingan umum, sehingga potensial mengandung multitafsir.   Menurutnya, Jaksa Agung dapat melakukan seponering secara subyektif berdasarkan wewenang istimewa yang diberikan oleh UU Kejaksaan walaupun ada frasa, “setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”. Sebab, frasa tersebut bersifat fakultatif yang pada akhirnya kempali kepada Jaksa Agung.   Selain itu, ada ketidakjelasan tentang institusi kenegaraan yang dianggap memiliki hubungan dengan masalah tersebut. Jika dicermati frasa “yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut”, maka badan kekuasaan yang dimaksud berada di wilayah kekuasan yudikatif atau institusi penegakkan hukum, yakni Kepolisian dan Mahkamah Agung (MA).   “Persoalannya bila substansi masalah tersebut dilihat dari sisi keadilan yang menyangkut hak korban, tidak cukup jika hanya melibatkan dua institusi tersebut,” kata dia.   Faktanya, lanjutnya, kewenangan Jaksa Agung ini, seringkali didasari alasan yang tidak rasional atau pun tidak beralasan. Hal ini sama saja mengikari hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil yang dijamin Pasal 28D UUD 1945. Dalam konteks korban, menjadi tidak diakui haknya karena tidak diperlakukan sama di hadapan hukum .   “Di satu sisi pribadi dan kepentingan korban dimarginalkan, sementara di sisi lain pelaku tindak pidana diperlakukan secara istimewa dihadapan hukum. Hal ini juga bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 945 yang menyatakan setiap orang harus bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun,” tambahnya.   Ahli pemerintah, Prof Andi Hamzah berpandangan apabila asas seponering dihapus bakal banyak peraturan perundangan-undangan yang diubah seperti KUHAP, KUHP. Termasuk saat ini terutama yang mengatur penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan yang payung hukum tertinggi ialah asas oportunitas. Apalagi, UU Pengadilan Anak juga mengenal yang bernaung di bawah asas oportunitas.         memutuskan SKPP Novel tidak sah.

Mereka khawatir Jaksa Agung menggunakan asas oportunitas secara sewenang-wenang terhadap kasus Novel Baswedan seperti kasus para seniornya yakni kasus seponering Bibit- Chandra dan Bambang-Abraham. Karena itu, Para Pemohon meminta MK memberi tafsir konstitusional terhadap Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan. Proses persidangan permohanan ini sudah memasuki pemeriksaan saksi atau ahli.
Pasal 35 huruf c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesiadianggap sebagai bentuk penyimpangan terhadap asas legalitas. Sebab, pelaksanaan asas oportunitas sendiri jutsru merupakan pengecualian terhadap asas legalitas.





dominis litis

legitimate









(equality before the law)



RUU KUHAPrestorative justice

“Bahkan, di Belanda dan negara-negara lain tidak hanya Jaksa Agung yang berwenang men-seponer perkara, tetapi semua Jaksa juga dengan pengawasan Jaksa Tinggi,” kata Andi Hamzah dalam persidangan.

Kata lain, menurutnya permohonan yang meminta mencabut asas oportunitas ini sama saja merombak sistem hukum pidana dan hukum acara pidana hanya karena ada satu kasus Novel Baswedan. Padahal, asas oportunitas sudah diterapkan berabad di Indonesia. “Jika ada tikus di lumbung, jangan lumbungnya yang dibakar,” kritik Andi memberikan perumpanaan.

Sebelumnya, Irwansyah Siregar dan Dedi Nuryadi mempersoalkan Pasal 35 huruf c UU Kejaksaan terkait kewenangan Jaksa Agung mengesampingkan perkara demi kepentingan umum (asas oportunitas). Awalnya, keduanya pernah divonis dalam kasus pencurian sarang burung walet sekaligus salah satu korban penembakan polisi yang melibatkan Novel Baswedan pada Februari 2004.

Belakangan, dugaan kasus penganiayaan pencuri burung walet dihentikan melalui Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) No. Kep B.03/N.7.10/Ep.1/02/2016 tanggal 22 Februari 2016 yang dikeluarkan Kejaksaan Tinggi Bengkulu dengan dalih kasusnya tidak cukup bukti dan sudah daluwarsa. Hakim Praperadilan pun telah 
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait