Putusan-Putusan yang Menghargai Pidana Adat
Utama

Putusan-Putusan yang Menghargai Pidana Adat

Hukum pidana adat termasuk hukum yang yang hidup. Ia bisa menjadi sumber hukum.

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Bagaimana cara hakim mengatasi kelemahan Pasal 284 KUHP tentang perzinaan (overspel)? Kelemahan yang dimaksud adalah keharusan salah pihak sudah menikah. Apakah pasal ini tak bisa menjerat orang yang tidak terikat perkawinan?

Dalam sebuah perkara yang diputus Pengadilan Negeri Palu pada 2010, majelis hakim mempertimbangkan bahwa pengertian zina tak semata-mata yang adalah dalam KUHP, tetapi juga ‘makna menurut hukum adat’. Pertimbangan hakim merujuk pada yurisprudensi MA No. 93 K/Kr/1975, yang intinya menyebutkan delik adat zina adalah perbuatan terlarang lepas dari apakah perbuatan itu dilakukan di tempat umum atau tidak, lepas dari apakah salah satu pihak sudah menikah atau belum sesuai syarat Pasal 284 KUHP.

Overspeladalah perbuatan tercela yang beberapa kali disidangkan di pengadilan, dan hakim tak semata merujuk pada rumusan Pasal 284 KUHP. Pengadilan Tinggi Makassar juga pernah menghukum seseorang karena bersalah melakukan tindak pidana adat yaitu persetubuhan di luar perkawinan oleh orang yang sama-sama dewasa. Hakim memutus demikian karena perbuatan itu tidak ada bandingannya dalam KUHP. Jika tidak ada bandingannya dalam KUHP, maka hakim mencari ke hukum adat (Putusan No. 427/Pid/2008/PT.MKS Tahun 2009).

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang, Nyoman Serikat Putra Jaya, mengatakan sumber hukum pidana di Indonesia bukan hanya pidana tertulis tetapi juga pidana tidak tertulis. Secara formal, ketika Belanda memberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandch Indie (1 Januari 1918), hukum pidana adat memang tidak diberlakukan. Tetapi secara materill tetap berlaku dan diterapkan dalam praktek peradilan.

Setelah kemerdekaan, pidana adat mendapat tempat lewat UU Darurat No. 1 Drt 1951. Pasal 5 ayat (3) huruf b Undang-Undang ini menjelaskan tentang pidana adat yang tidak ada bandinganya dalam KUHP, pidana adat yang ada bandingannya dalam KUHP, dan sanksi adat. Sanksi adat dapat dijadikan pidana pokok atau pidana utama oleh hakim dalam memeriksa dan mengadili perbuatan yang menurut hukum yang hidup dianggap sebagai tindak pidana yang tidak ada bandingannya dalam KUHP.

Salah satu putusan yang menghargai pidana adat, menurut Prof. Nyoman Serikat, adalah putusan MA No. 984 K/Pid/1996 tanggal 30 Januari 1996. Dalam putusan ini, majelis hakim menyatakan jika pelaku (dader) perzinahan telah dijatuhi sanksi adat atau mendapat reaksi adat oleh para pemangku desa adat, dimana hukum adat masih dihormati dan hidup subur, maka tuntutan oleh jaksa harus dinyatakan tidak dapat diterima.

Putusan lain yang dikutip Guru Besar Undip Semarang itu adalah putusan MA No. 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991. Dalam putusan ini majelis mempertimbangkan ‘seseorang yang telah melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup (hukum adat) di daerah tersebut merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum adat, yaitu ‘delik adat’. Kepala dan para pemuka adat memberikan reaksi reaksi adat (sanksi adat) terhadap si pelaku tersebut. Sanksi adat itu  telah dilaksanakan oleh terhukum. Terhadap si terhukum yang sudah dijatuhi ‘reaksi adat’ oleh kepala adat tersebut, maka ia tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan badan peradian negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama, melanggar hukum adat, dan dijatuhi hukuman penjara menurut KUHP (Pasal 5 ayat 3 huruf b UU Darurat No. 1 Drt 1951). Dalam keadaan yang demikian itu, maka pelimpahan berkas perkara serta tuntutan kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)’.

Kedua putusan itu, menurut Prof. Nyoman, menunjukkan bahwa MA “mengakui eksistensi hukum pidana adat beserta reaksi adatnya yang masih hidup dalam masyarakat Indonesia”. Ia menyebut kedua yurisprudensi MA itu di depan peserta Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi di Banjarmasin, pertengahan Mei lalu.

Pijakan hukum pengakuan pidana adat tak hanya yurisprudensi. Berdasarkan Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.

Pasal 5 ayat (1) dan 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga menyebutkan hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.

Jika nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat mengakui dan memberi nilai tinggi terhadap penyelesaian hukum pidana adat, maka hakim pun bisa menjadikan perdamaian dalam kasus pidana bernilai tinggi. Putusan yang mempertimbangkan restorative justice bisa dilihat dari putusan MA No. 1600 K/Pid/2009.  Dalam putusan MA berargumen salah satu tujuan hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang terjadi karena adanya tindak pidana. Walaupun pencabutan telah lewat waktu tiga bulan sesuai syarat Pasal 75 KUHP, MA menilai pencabutan perkara bisa memulihkan ketidakseimbangan yang terganggu. MA mengatakan perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui. Bila perkara ini dihentikan, manfaatnya lebih besar daripada dilanjutkan.

Kini, dalam pembahasan Buku I RUU KUHP, masalah hukum yang hidup dalam masyarakat itu juga menjadi salah satu fokus perdebatan.
Tags:

Berita Terkait