Sanksi Administrasi Parpol yang Disclaimer Kelola Dana APBN ala Prof Saldi Isra
Berita

Sanksi Administrasi Parpol yang Disclaimer Kelola Dana APBN ala Prof Saldi Isra

Parpol dianggap lebih takut kehilangan haknya untuk mengikuti Pemilu ketimbang terkena kasus korupsi.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Guru Besar Universitas Andalas, Padang, Prof Saldi Isra. Foto: SGP
Guru Besar Universitas Andalas, Padang, Prof Saldi Isra. Foto: SGP
Guru Besar Universitas Andalas, Padang, Prof Saldi Isra mengusulkan sanksi administrasi bagi partai politik (parpol) yang dinyatakan disclaimer dalam pengelolaan dana parpol dari APBN/APBD. Menurut pakar hukum tata negara ini, sanksi tersebut merupakan sanksi yang paling ditakuti ketimbang sanksi pidana dalam kasus korupsi.

"Konsekuensinya administratif yang saya tawarkan, mereka tidak boleh ikut jadi peserta Pemilu untuk periode berikutnya. (Korupsi) Bisa saja karena itu uang negara. Tapi, bagi partai, yang paling ditakutkan bukan soal korupsi, melainkan apakah mereka masih punya kesempatan untuk ikut Pemilu berikutnya," katanya usai acara diskusi dana parpol di KPK.

Saldi menjelaskan, UU No.2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, mengatur bahwa salah satu sumber keuangan parpol berasal dari bantuan keuangan APBN/APBD. Bantuan itu diberikan secara proporsional kepada parpol yang mendapatkan kursi di DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota berdasarkan jumlah perolehan suara.

Apabila mengacu PP No.5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, jumlah bantuan negara kepada parpol dihitung sebesar Rp108 untuk setiap suara yang diperoleh dari pemilu sebelumnya. Namun, Saldi berpendapat seharusnya dana bantuan yang diberikan negara melalui APBN/APBD kepada parpol lebih diperbesar.

Lebih lanjut, Saldi menawarkan dua skema untuk bantuan dana APBN/APBD yang diberikan negara kepada parpol. Pertama, semua parpol yang lolos sebagai peserta Pemilu mendapatkan bantuan sama rata. Kedua, masing-masing parpol yang lolos Pemilu akan memperoleh bantuan dana dari APBN/APBD sesuai hasil perolehan suara.

Semakin besar bantuan APBN/APBD terhadap parpol, sambung Saldi, semakin besar pula otoritas negara untuk melakukan audit dana parpol. Nanti, ada dua audit yang dilakukan terhadap dana parpol, yakni audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk dana dari APBN, dan audit oleh akuntan publik untuk dana dari non APBN.

"Apabila mereka dikasih dana yang cukup, diaudit oleh BPK dan disclaimer, misalnya dalam lima tahun atau satu periode mereka tidak bisa mempertanggungjawabkan dua atau tiga tahun anggaran, mereka kehilangan haknya untuk menjadi peserta Pemilu berikutnya. Jadi, mereka diperbesar dana APBN-nya, tapi pertanggungjawabannya juga harus ditingkatkan," ujarnya.

Namun, bagaimana cara mengontrol pengelolaan dana APBN/APBD yang diberikan kepada parpol? Mengingat dana ini bersumber dari keuangan negara, maka harus dipastikan pula pengelolaan, penggunaan, dan pertanggungjawabannya. Saldi menyarankan agar ada auditor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diperbantukan di parpol.

"Kalau ada dana APBN dengan jumlah seperti itu, di setiap DPP (Dewan Pimpinan Pusat) parpol ditaruh orang yg paham keuangan, misalnya orang BPKP yang diperbantukan di situ. Makanya, saya katakan parpol dikasih uang yang cukup untuk menyelenggarakan partainya, lalu diselenggarakan dengan baik dibantu orang dari BPKP," ucapnya.

Sementara, Direktur Gratifikasi KPK Giri Suprapdiono mengaku pihaknya masih merumuskan bagaimana cara agar dana parpol yang bersumber dari APBN/APBD tidak disalahgunakan. "Masih dirumuskan. Intinya, pendanaan negara kepada parpol adalah bukan suatu pilihan, namun suatu keharusan," terangnya.

Giri mengungkapkan, KPK masih membahas skema dan mekanisme yang akan digunakan untuk mengontrol pengelolaan dana parpol yang bersumber dari APBN/APBD. Hingga kini, belum ada suatu rumusan yang pasti. "(Tapi) Tranparansi, akuntabilitas, dan responsibility harus jadi acuan tata kelola pendanaan," tuturnya.

Tags:

Berita Terkait