Ini 3 Isu Krusial RUU Pengampunan Pajak
Berita

Ini 3 Isu Krusial RUU Pengampunan Pajak

Mulai reformasi perpajakan hingga data dan informasi kekayaan peserta pengampunan pajak.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: YOZ
Ilustrasi: YOZ
Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengampunan Nasioal (Tax Amnesty/Pengampunan Pajak) mulai dilakukan pembahasan oleh Panitia Kerja (Panja) di Komisi XI DPR. Sejumlah isu krusial dalam RUU tersebut menjadi catatan yang mesti dikritisi.

"Ada tiga isu krusial dalam pembahasan RUU Pengampunan Pajak yang saat ini sedang dibahas oleh Panja," ujar anggota Komisi XI Ecky Awal Mucharam di Gedung DPR, Jumat (27/5).

Pertama, terkait dengan reformasi perpajakan yang mesti dilakukan bersamaan dengan pengampunan pajak. Di kebanyakan negara, kebijakan pengampunan pajak tanpa reformasi perpajakan. Ujungnya, berakhir gagal. Sebaliknya, kunci keberhasilan negara yang menerapkan kebijakan pengampunan pajak didahului dengan melakukan reformasi perpajakan.

Reformasi perpajakan meliputi aspek regulasi, administrasi dan institusi perpajakan. Dalam pembahasan, sedari awal masing-masing fraksi di DPR acapkali mendorong agar pengampunan pajak menjadi bagian tak terpisahkan dari reformasi perpajakan. Kunci dari reformasi perpajakan melalui revisi terhadap UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Sebagaimana diketahui, UU KUP telah direvisi sebanyak tiga kali. Terakhir, revisi dilakukan menjadi UU No.28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketigas Atas UU No.6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). “Tanpa disertai reformasi perpajakan negara tidak akan punya bargaining position yang kuat dalam Tax Amnesty,” ujarnya.

Kedua, terkait dengan tarif tebusan yang dinilai terlampau rendah. Menurutnya, rendahnya tarif tebusan dapat menciderai rasa keadilan. Bahkan, membuat negara lehilangan banyak potensi penerimaan negara. Sebagaimana diketahui, dalam draf RUU Pengampunan Pajak, tarif tebusan sebesar 2,4 atau 6 persen diperuntukan non-repatriasi dan 1,2, atau 3 persen untuk repatrasi.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu mengatakan, nyaris semua fraksi di parlemen meminta tarif dinaikan. Usulan yang diminta mulai kisaran 5 hingga 15 persen. Namun, terdapat sebagian fraksi termasuk PKS meminta agar sanksi administrasi dihapus, sehingga hanya pidana pajak yang diterapkan. Dengan begitu, tarif tebusan sesuai tarif normal KUP setidaknya berkisar 25 hingga 30 persen.

“Saya yakin ini pun masih menarik bagi mereka karena sanksi administrasi saja besarnya 48% dari pokok utang pajak, ditambah penghapusan pidananya,” ujarnya.

Ketiga, terkait dengan data dan informasi harta peserta pengampunan pajak. Pasal 15 dalam draf RUU Pengampunan Pajak menyatakan, “Data dan informasi yang terdapat dalam Surat Permohonan Pengampunan Pajak tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak”.

“Kami meminta agar hal ini menjadi hanya terbatas pada pidana perpajakannya saja. Data dan informasi dari Pengampunan Pajak harus tetap dapat digunakan untuk penyidikan, penyelidikan, dan pengusutan pidana lainnya seperti korupsi, narkoba, terorisme, dan perdagangan manusia,” ujarnya.

Wakil Ketua DPR Agus Hermanto mengakui masih terdapat beberapa isu krusial yang mesti diperdalam pembahasannya. Oleh sebab itu, pembahasan RUU Pengampunan Perpajakan tak akan rampung dalam masa sidang kali ini. Menurutnya, pembahasan di Panja masih terjadi perdebatan panjang lantaran belum menemui titik temu. Padahal, pembahasan RUU mesti memiliki keputusan yang demokratis dan kebersamaan sebelum diambil keputusan.

“Karena masih mempunyai keinginan yang berbeda. Ini belum menyatu,” pungkas politisi Partai Demokrast itu.

Tags:

Berita Terkait