Revisi UU Terorisme Perlu Perkuat Pemenuhan Hak-hak Korban
Berita

Revisi UU Terorisme Perlu Perkuat Pemenuhan Hak-hak Korban

Selama ini korban kejahatan terorisme mendapat perhatian yang minim dari pemerintah. Korban sulit mendapat bantuan medis, psikologis dan kompensasi.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Aparat kepolisian saat menggelar latihan penanganan tindak pidana terorisme. Foto: RES
Aparat kepolisian saat menggelar latihan penanganan tindak pidana terorisme. Foto: RES
Pemerintah dan DPR mulai membahas revisi UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Banyak pihak yang memberi catatan terhadap revisi UU Terorisme diantaranya organisasi masyarakat sipil yang mendampingi korban terorisme yaitu Aliansi Indonesia Damai (Aida). Direktur Aida, Hasibullah Satrawi, mengatakan pemerintah harus memberi jaminan kepada korban.

Selama ini korban tindak kejahatan terorisme mendapat perhatian yang minim dari pemerintah. Misalnya, penanganan terhadap korban pasca serangan teroris, ketika di rumah sakit (RS), korban tidak mendapat tindakan yang cepat karena RS bingung siapa penjamin korban. Untuk itu, revisi UU Terorisme harus memuat ketentuan yang mengatur pemenuhan hak-hak korban dan keluarganya yang terkena dampak tindak kejahatan terorisme.

“Klausul itu harus dimasukan dalam revisi UU Terorisme,” kata Hasibullah di Jakarta beberapa waktu lalu.

Hasibullah menekankan, setelah terkena dampak serangan terorisme, korban perlu mendapat penanganan yang cepat. Pemerintah harus menjamin korban mendapat penanganan yang terbaik di RS. Selain luka fisik, kondisi psikologis korban harus dipulihkan karena korban mengalami trauma. Tak ketinggalan, keluarga korban juga harus mendapat perhatian.

Saat ini mekanisme kompensasi untuk korban terorisme sangat rumit, karena harus melewati peradilan. Hasibullah berharap ke depan itu dibenahi agar mekanisme yang digunakan sifatnya assessment yang dilakukan lewat lembaga negara seperti BNPT atau LPSK. Lembaga itu yang mengidentifikasi siapa korban yang layak mendapat kompensasi. “Selama ini korban kalau mau mendapat kompensasi harus melalui proses peradilan,” urainya.

Salah satu korban bom di kedutaan besar Australia di Jakarta tahun 2004 silam, Nanda Olivia Daniel, merasakan minimnya peran pemerintah terhadap korban terorisme. Setelah bom meledak Nanda langsung mencari RS terdekat karena luka serius di bagian jarinya. Sesampainya di RS yang terdekat dengan lokasi, pihak RS kemudian merujuk Nanda ke RS lain. Di RS tempat rujukan itu Nanda mendapat perawatan dan dirawat inap kelas 1.

Nanda mengisahkan ketika itu pemerintah hanya menjamin ruang perawatan kelas 3 untuk korban bom. Sehingga keluarga Nanda harus membayar selisih sebesar Rp5 juta kepada RS. Luka fisik yang dialami Nanda ternyata butuh perawatan lanjut. Untungnya, untuk perawatan lebih lanjut Nanda mendapat tawaran dari pihak AusAid. Alhasil, Nanda mendapat perawatan yang memadai di Australia.

Setelah luka fisiknya membaik, Nanda merasa dirinya tidak butuh lagi pengobatan. Ternyata, dugaannya itu salah, Nanda mengalami trauma. Lagi-lagi Nanda tidak mendapat bantuan dari pemerintah, tapi pihak lain. Nanda berharap pemerintah lebih serius memperhatikan hak-hak korban tindak pidana terorisme. Korban bukan hanya membutuhkan penanganan medis yang sifatnya fisik tapi juga psikologis.

“Orang-orang di sekitar saya yang melihat itu, tapi saya tidak merasa mengalami masalah psikis,” urainya.

Senada, Hayati Eka Laksmi, istri salah satu korban bom Bali I yang terjadi tahun 2002, Imawan Sardjono, mengatakan bantuan terhadap korban dan keluarganya minim. Padahal pasca peristiwa tersebut perempuan yang disapa Eka itu dan kedua anaknya mengalami trauma. Untungnya, ada pihak yang membantu Eka dan kedua anaknya untuk konseling.

Eka melihat ada harapan bagi keluarga korban setelah terbitnya UU No.31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sebab regulasi itu mengatur pemberian bantuan medis, psikososial dan psikologis lewat LPSK. Ia berharap implementasinya bisa optimal sehingga dampaknya bisa dirasakan oleh korban dan keluarganya.

“Saya juga berharap ke depan ada bantuan pendidikan terutama untuk anak-anak korban. Sampai sekarang anak-anak korban tidak mendapat bantuan pendidikan dari pemerintah,” urainya.

Walau mengaku mendapat bantuan konseling dari LPSK, tapi Eka mengatakan anak-anaknya tidak mendapat bantuan seperti yang diperolehnya. Padahal, kedua anaknya mengalami trauma karena orang tuanya menjadi korban serangan terorisme. Oleh karenanya ia berharap ke depan pemerintah lebih serius lagi memperhatikan hak-hak korban dan keluarganya.
Tags:

Berita Terkait