Perjalanan Panjang Perppu Kebiri
Berita

Perjalanan Panjang Perppu Kebiri

Mulai dari usulan Mensos, hingga keputusan rapat terbatas yang dipimpin Presiden.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HLM
Ilustrasi: HLM
Pemberitaan yang ramai mengenai kekerasan seksual terhadap anak mendorong Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Aturan yang akrab disebut Perppu Kebiri itu berisi tentang pemberatan pidana bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak.

Hingga kini, kontroversi masih mewarnai penerbitan Perppu Kebiri tersebut. Salah satu lembaga swadaya masyarakat yang lantang menyuarakan penolakan terhadap Perppu Kebiri adalah Institute for Criminal Justice Reform (ICJR). Direktur Eksekutif ICJR, Supriyadi W Eddyono mengatakan, pihaknya kini tengah bersiap untuk melakukan pengujian materiil.

“Mengenai rencana judicial review, ICJR masih menunggu naskah resmi dari pemerintah dan sikap DPR,” katanya, Rabu (25/5).

Saat ini, Perppu Kebiri memang tinggal menunggu pembahasan oleh DPR. Dari proses pembahasan itulah nantinya diputuskan apakah parlemen akan menyetujui atau tidak Perppu Kebiri menjadi UU. Persetujuan ataupun penolakan DPR tersebut bisa dikatakan akan menjadi perjalanan panjang lahirnya Perppu Kebiri.

Wacana penerbitan Perppu Kebiri lahir hampir setahun yang lalu. Hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak pertama kali diusulkan oleh Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa. Ia mengatakan bahwa di banyak negara telah banyak diterapkan hukuma kebiri kimia untuk mengontrol libido pelaku.

Usulan Khofifah kemudian ramai diperbincangkan. Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly pun serius menanggapi. Di sela-sela Pertemuan Menteri Hukum ASEAN (ALAWMM) di Bali pada Oktober 2015, ia mengatakan bahwa pihaknya langsung mengkaji urgensi penerbitan Perppu Kebiri. Ia menginformasikan bahwa pembahasan dilakukan bersama-sama dengan Jaksa Agung, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan, serta instansi lain maupun lembaga swadaya masyarakat.

Tak lama berselang, Yasonna menyampaikan bahwa hukuman kebiri sebaiknya masuk di dalam undang-undang yang dibahas dalam Prolegnas. Di sisi lain, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise bersitegas bahwa hukuman kebiri bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak sudah mendesak. Sehingga, Perppu Kebiri harus segera diterbitkan.

Di sisi lain, pegiat hak anak dan perempuan justru tak setuju dengan penerbitan Perppu Kebiri. Direktur Institut Pemberdayaan Anak dan Perempuan Indonesia, Ninik Rahayu, yakin bahwa kebiri bukan solusi untuk mengatasi kejahatan seksual. Menurutnya, hukuman kebiri hanya menimpali kejahatan dengan sebuah kejahatan lain. Oleh karena itu, ia beserta 32 anggota jaringan masyarakat lainnya meminta pemerintah mengkaji lebih jauh terkait hukuman kebiri, dan menggantinya dengan penerapan efek jera yang disertai dengan pemulihan kondisi pelaku dan korban kejahatan seksual.

Penolakan lain disampaikan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Setidaknya ada delapan alasan yang membuat Komnas Perempuan berseberangan dengan pemerintah. Salah satu alasannya, kekerasan seksual bukan hanya perkosaan semata. Komnas menilai, dengan menghukum kasus perkosaan, berpotensi mengecilkan keluasan bentuk dan intervensi pada kekerasan seksual lainnya. Selain itu, kekerasan seksual tidak selalu terjadi karena dorongan seksual.

Sementara itu, organisasi pembela hak anak lainnya, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), mendesak Pemerintah Indonesia agar segera menerbitkan Perppu Kebiri. Sebab, kekerasan terhadap anak, khususnya kekerasan seksual, dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime). Anak-anak yang menjadi korban tidak bisa membela diri sehingga banyak harus meregang nyawa.

Dukungan atas penerbitan Perppu Kebiri juga datang dari parlemen. Anggota Komisi III Arsul Sani berpandangan, hukuman kebiri terhadap pedofil perlu diberlakukan. Pasalnya, korban pedofil acapkali terjadi. Bahkan korban tak saja ‘dieksekusi’ di tempat sepi, namun di sekolah.

Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid mengingatkan, revisi UU No.35 Tahun 2014 menjadi jalan keluar mengatasi lemahnya aturan yang ada terkait perlindungan anak. Namun menurutnya, bila menggunakan Perppu, bakal dikhawatirkan Indonesia terkesan menjadi negara dalam keadaan darurat. Padahal sebagai negara hukum, mestinya mempersiapkan segala aturan sebelum terjadinya peristiwa pidana.

Di tengah banyaknya pro dan kontra terhadap penerbitan Perppu Kebiri, pada tanggal 11 Mei lalu rapat terbatas Presiden dengan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Menteri Hukum dan HAM serta Komisi Perlindungan Anak akhirnya diputuskan bahwa pemerintah akan menerbitkan Perppu untuk memperberat pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang salah satunya adalah menerapkan hukuman kebiri.

Tags:

Berita Terkait