Minim Perlindungan Hak Korban, RUU Anti Terorisme Dikritik
Berita

Minim Perlindungan Hak Korban, RUU Anti Terorisme Dikritik

Aspek keamanan harus diseimbangkan dengan hak asasi manusia.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Peneliti ICJR Erasmus AT Napitupulu. Foto: Twitter @icjrid
Peneliti ICJR Erasmus AT Napitupulu. Foto: Twitter @icjrid
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Muhammad Syafi'i, terlihat geram dalam rapat dengar pendapat umum dengan sejumlah pemangku kepentingan di Gedung DPR, Selasa (31/5). Soalnya, draf RUU yang disodorkan pemerintah tak mengulas sedikit pun hak korban, namun cenderung fokus pada pemberatan hukuman dan penindakan.

“Ini pemerintah memberikan draf RUU abai juga. Nanti menjadi tugas kita untuk melengkapi,” ujarnya.

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus AT Napitupulu, menilai draf RUU cenderung tidak memperhatikan hak korban. Dia berpendapat, setidaknya korban  dibagi menjadi dua jenis. Pertama, korban akibat tindak pidana. Kedua, korban penangkapan akibat kesalahan prosedur.

"Korban akibat tindak pidana teroris, ledakan bom misalnya, mesti cepat mendapatkan layanan medis dari rumah sakit," katanya.

Ironisnya, pelayanan rumah sakit kerap menunggu pihak yang menjaminkan biaya medis. Oleh sebab itu, dibutuhkan peran negara dalam menjadi penjamin medis terhadap korban. Selain itu hak korban mesti dibuat sesingkat mungkin agar dapat segera mendapatkan pelayanan medis akibat menjadi korban akis terorisme.

Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satwari, menilai draf RUU Anti Terorisme memiliki semangat membangun Indonesia damai. Hanya saja, terkait dengan hak korban tidak diatur dalam RUU tersebut. Menurutnya, penguatan yang dibangun dalam RUU hanyalah penindakan dan pencegahan. Hasibullah mencatat sejak terjadinya insiden Bom Bali I hingga kini sama sekali tak memperhatikan hak korban.

“Ternyata draf RUU ini tidak ada penguatan untuk korban,” ujarnya.

AIDA yang memang fokus pada pemulihan hak korban mengusulkan adanya penambahan dalam Bab IV RUU tersebut, khususnya terkait dengan penanganan korban, rehabilitasi dan kompensasi. Menurutnya, hak korban mesti diakomodir dalam draf RUU. Pasalnya, tidak semua korban aksi ledakan teroris memiliki kemampuan dalam memenuhi pembiayaan medis di rumah sakit. Oleh sebab itu, negara mesti hadir.

Lebih lanjut, Hasibullah berpandangan ketika masa krisis, negara mesti hadir mengumumkan jaminan untuk kemudian dinormakan dalam RUU. Soalnya ketika terjadi teror ledakan bom, sekian banyak korban menunggu penjaminan medis. Dengan adanya penjaminan dari negara, seluruh biaya ditanggung dan dibebankan kepada negara, hingga kesehatan korban pulih.

“Kemudian kompensasi, mekanismenya bukan melalui pengadilan, tetapi melalui assesment dari lembaga terkait,” ujarnya.

Anggota Pansus RUU Anti Terorisme, Arsul Sani, membandingkan dengan negara Inggris. Menurutnya, UU Terorisme di Inggris memberikan kewenangan lebih kepada penegak hukum. Namun, dalam praktik menjalankan tugas fungsi pokoknya dilakukan pengawasan oleh lembaga pengawas. Selain itu, adanya lembaga yang menampung komplain masyarakat, termasuk dari korban yang tidak mendapat perhatian dari pemerintah.

“Kalau UU RUU Intelijen saja membuat pengawas, ini harus menjadi pertimbangan. Kalau ada kematian tidak wajar harus jadi perhatian, ini hak korban harus dikedepankan,” ujar anggota Komisi III dari Fraksi PPP itu.

Tolak pencabutan kewarganegaraan
Ketua bidang hukum Front Pembela Islam (FPI), Munarman menolak keras wacana pencabutan hak kewarganegaraan Indonesia dalam draf RUU tersebut. Menurutnya, pencabutan hak kewarganegaraan Indonesia akibat diduga terlibat jaringan di luar negeri itu suatu hal yang berlebihan.

Ia menilai ancaman pencabutan hak kewarganegaraan bertentangan dengan hukum internasional. “Itu berlebihan dan bertentangan dengan hukum internasional. Jadi RUU ini tidak boleh melanggar hak asasi manusia,” ujar Munarman yang juga mantan Ketua YLBHI itu.

Anggota Pansus RUU Anti Terorisme, Nasir Djamil, sependapat dengan masukan Munarman. Menurutnya, kehilangan kewarganegaraan akan berdampak hilangnya perlindungan dari negara. Ia berjanji akan merumuskan pasal dalam RUU tersebut dengan menyeimbangkan aspek keamanan dan hak asasi manusia.

“Jadi saya kira dua bandul ini harus diseimbangkan. Kalau kehilangan kewarganegaraan, kemudian mau kemana lagi,” pungkas anggota Komisi III dari Fraksi PKS itu.
Tags:

Berita Terkait