Vonis Diperberat dan Hak Politik Dicabut, Suryadharma Ali Tak Akan Kasasi
Berita

Vonis Diperberat dan Hak Politik Dicabut, Suryadharma Ali Tak Akan Kasasi

Kasasi dipercaya hanya memperberat hukuman.

Oleh:
NOV
Bacaan 2 Menit
Vonis Diperberat dan Hak Politik Dicabut, Suryadharma Ali Tak Akan Kasasi
Hukumonline
Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta mengoreksi putusan Pengadilan Tipikor Jakarta yang menghukum mantan Menteri Agama Suryadharma Ali dengan pidana penjara selama 6 tahun. PT DKI Jakarta memperberat hukuman Suryadharma menjadi 10 tahun berdasarkan putusan No.25/Pid.Sus/TPK/2016/PT.DKl tanggal 19 Mei 2016.

"Pertama, menerima banding penuntut umum dan penasihat hukum terdakwa. Kedua, memperbaiki putusan pengadilan tingkat pertama. Yang diperbaiki sekadar lama pidana penjara dan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak terdakwa untuk menduduki jabatan publik," kat Juru Bicara PT DKI Jakarta, Heru Pramono saat dikonfirmasi wartawan, Kamis (2/6).

Heru mengungkapkan, dalam amar putusan, majelis banding menaikkan hukuman Suryadharma dari semula 6 tahun menjadi 10 tahun penjara. Majelis juga mengabulkan tuntutan penuntut umum KPK yang meminta pencabutan hak-hak tertentu untuk menduduki jabatan publik selama lima tahun terhitung sejak terdakwa menjalani masa masa pemidanaan.

Sementara, pidana denda dan uang pengganti masih tetap sama, yaitu Rp300 juta subsidair 3 bulan kurungan dan Rp1,8 miliar. Apabila uang pengganti tidak dibayar satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, harta benda Suryadharma akan dilelang untuk menutupi uang pengganti. Jika tidak mencukupi, Suryadharma dipidana 2 tahun.

Heru menjelaskan, majelis banding tentu memiliki pertimbangan untuk memperberat hukuman Suryadharma. Seperti, apakah putusan yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama sudah memenuhi rasa keadilan dan apakah sudah sesuai dengan tingkat kesalahan terdakwa. Jika dianggap belum, maka majelis banding akan memperbaiki.

"(Vonis) 6 tahun ini kurang, makanya pengadilan tinggi menganggap dengan pertimbangannya kemudian dalam amarnya ini diubah diperbaiki menjadi 10 tahun. Yang lebih penting lagi pencabutan hak-hak (tertentu). Di tingkat pertama tidak dikabulkan. Lalu dikabulkan, karena PT DKI Jakarta menilai, oh ini perlu," ujarnya.

Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengapresiasi putusan PT DKI Jakarta yang memperberat hukuman dan mencabut hak politik Suryadharma. Sebagaimana diketahui, dahulu, KPK menuntut Suryadharma dengan pidana penjara selama 11 tahun. "(Jadi) Iya, sudah memenuhi dua pertiga tuntutan (jaksa)," ucapnya.

Menanggapi putusan banding, pengacara Suryadharma, Johnson Panjaitan merasa sedih dan kecewa. Ia menilai, majelis hakim yang memperberat hukum kliennya tidak benar-benar memeriksa dan meneliti berkas perkara. "Dan Pak SDA (Suryadharma) tidak akan mengambil langkah hukum (untuk mengajukan kasasi)," terangnya.

Johnson berpendapat, sudah menjadi sebuah keyakinan bagi para tahanan kasus korupsi, bahkan menjadi keyakinan publik bahwa tidak ada gunanya untuk mengajukan kasasi. Sebab, hanya akan memperberat masa hukuman. "Jadi, untuk apa? Hakim-hakim kita kan penakut. Seolah-olah dia hebat kalau menghukum berat kasus korupsi," imbuhnya.

Cabut kuasa
Sementara, Humphrey Djemat yang dahulu menjadi pengacara Suryadharma menyatakan prihatin terhadap putusan banding mantan kliennya. Ia mengaku sudah mencabut kuasa sejak dua bulan lalu karena ada perbedaan prinsip. Oleh sebab itu, ia tidak bisa terlalu banyak berkomentar mengenai putusan banding Suryadharma.

"Saya sudah tidak lagi jadi kuasa hukumnya sejak dua bulan lalu, sejak saya mengajukan banding dan memori banding. Tapi, bagaimanapun juga itu kan mantan klien saya yang saya bela habis-habisan sejak awal, sehingga tuntutan 11 tahun menjadi 6 tahun. Tapi, memang di banding, kita tidak menangani lagi karena saya sudah mencabut kuasa," tuturnya.

Untuk diketahui, pada 11 Januari 2016, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang diketuai Aswidjon menghukum Suryadharma dengan pidana penjara selama 6 tahun dan denda Rp300 juta subsidair tiga bulan kurungan. Majelis juga menghukum Suryadharma untuk membayar uang pengganti sebesar Rp1,8 miliar.

Suryadharma dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan kedua, yaitu Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 ayat (1) KUHP. Majelis tidak sependapat dengan tuntutan jaksa mengenai pencabutan hak politik karena vonia yang dijatuhjan sudah cukup pantas.

Dalam pertimbangannya, majelis menilai Suryadharma terbukti melakukan beberapa perbuatan. Pertama, menunjuk Petugas Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) selama 2010-2013 sekaligus pendamping amirul hajj yang tidak kompeten, yaitu istrinya Wardatul Asriya, anak, menantu, ajudan, pegawai pribadi, sopir, sopir istri hingga pendukung istrinya.

Selanjutnya, Suryadharma juga menggunakan Dana Operasional Menteri (DOM) hingga Rp1,821 miliar untuk kepentingan pribadi yang tidak sesuai dengan asas dan tujuan penggunaan DOM seperti untuk pengobatan anak, akomodasi Suryadharma, keluarga, ajudan ke Australia dan Singapura hingga membayar pajak pribadi tahun 2011.

Suryadharma menunjuk pula sejumlah majmuah (konsorsium) penyedian perumahan di Jeddah dan Madinah sesuai dengan keinginannya sendiri menggunakan plafon dengan harga tertinggi sehingga menyebabkan kerugian negara hingga 15,498 juta riyal karena penggunaan harga plafon sebagai harga kontrak dan tidak ada negosiasi maka terjadi kemahalan pengadaan perumahan yaitu kemahalan perumahan di Madinah 14,094 juta riyal dan Hotel Transito Jeddah sejumlah 1,404 juta riyal.

Terakhir, Suryadharma dianggap menyalahgunakan sisa kuota haji periode 2010-2012, sehingga memberangkatkan 1.771 orang jamaah haji dan memperkaya jamaah tersebut, karena tetap berangkat haji meskipun kurang bayar hingga Rp12,328 miliar yang terdiri dari 161 orang jamaah haji pada 2010 senilai Rp732,575 juta, 639 jemaah haji pada 2011 sejumlah Rp4,173 miliar, dan 971 jamaah haji sejumlah Rp7,422 miliar.

Sisa kuota itu digunakan untuk orang-orang tertentu dengan cara menaikkan batas minimum usia jamaah haji yang berhak mempergunakan sisa kuota nasional yaitu dari yang berusia di atas 60 tahun menjadi di atas 87 tahun dengan maksud memberangkatkan calon jamaah haji yang diusulkan anggota DPR sehingga sebagian sisa kuota haji nasional tidak dapat dipergunakan sepenuhnya oleh calon jamaah haji yang masih dalam daftar antrian.
Tags:

Berita Terkait