Siap-siap, Produk Tak Halal Akan Ditarik dari Peredaran
Utama

Siap-siap, Produk Tak Halal Akan Ditarik dari Peredaran

Nantinya, semua produk yang beredar di Indonesia wajib bersertifikat halal.

Oleh:
KAR
Bacaan 2 Menit
Foto ilustrasi: mysharing.co
Foto ilustrasi: mysharing.co
Pemerintah menargetkan akan segera mengesahkan rancangan peraturan pemerintah tentang pelaksanaan UU No.33 Tahun 2014tentang Jaminan Produk Halal (RPP JPH). Sebab, regulasi itu mengamanatkan aturan tersebut harus disahkan paling lama dua tahun sejak undang-undang terbentuk pada Oktober 2014.

Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, Nur Syam, menegaskan bahwa pihaknya telah merampungkan draf RPP JPH. Kini, proses perancangan tersebut tinggal menunggu harmonisasi oleh Kementerian Hukum dan HAM. Selanjutnya, Nur Syam, yakin pada bulan Oktober RPP JPH bisa disahkan.

“Drafnya sudah selesai di pihak Kemenag. Nanti, kita lakukan rapat antar kementerian maupun instansi terkait, kemudian kita tunggu harmonisasi dari Kemenkumham. Insya Allah bulan Oktober bisa disahkan,” ujarnya di Jakarta, Kamis (3/6).

Berdasarkan draf RPP JPH yang didapatkan hukumonline, ada beberapa hal yang diatur di dalamnya. Dokumen setebal 21 halaman itu berisi 9 bab, antara lain mengatur mengenai kewajiban sertifikasi halal secara bertahap, lokasi dan tempat maupun proses produksi halal, lembaga pemeriksa halal, registrasi sertifikat halal luar negeri, dan pengawasan.

Di dalam bab II tentang kewajiban sertifikasi halal secara bertahap ditegaskan bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Menurut Pasal 2 ayat (2) RPP JPH, jenis produk yang dimaksud mencakup barang maupun jasa.

Secara eksplisit dirinci lebih lanjut bahwa barang dan jasa yang harus memiliki sertifikat halal adalah yang berkaitan dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetika, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Pasal 3 ayat (1) RPP JPH mengatur bahwa semua jenis produk yang disebutkan itu harus memiliki sertifikat halal paling lambat lima tahun setelah UU No.33 Tahun 2014 berlaku. Namun, kewajiban itu dilaksanakan secara bertahap. Menurut Pasal 3 ayat (2), tahapan tersebut dilaksanakan dalam tiga tahap sejak 1 November 2016 mendatang.

Dalam tahap pertama, produk yang harus memiliki sertifikat halal adalah yang terkait dengan makanan dan minuman. Kemudian, tahap kedua menyangkut produk yang terkait dengan kosmetik, produk kimiawi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.

Selanjutnya di tahap terakhir, semua produk yang terkait dengan obat dan produk biologi harus memiliki sertifikat halal. Adapun rincian produk-produk yang masuk dalam tahap satu, dua atau tiga nantinya akan diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Menteri.

Sementara itu, produk-produk yang sertifikat halalnya diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri, tidak perlu lagi mengajukan permohonan sertifikat halal. Hanya saja ada persyaratan yang harus dipenuhi. Pasal 27 mengatur bahwa lembaga halal luar negeri tersebut harus sudah melakukan kerja sama saling pengakuan dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Selain itu, sertifikat halal yang diterbitkan oleh lembaga halal luar negeri juga harus didaftarkan oleh BPJPH sebelum produknya diedarkan di Indonesia. Registrasi itu harus memenuhi ketentuan semua produk itu memiliki izin dari pihak terkait di Indonesia. Misalnya, untuk produk pangan olahan, obat, obat tradisional, suplemen makanan, dan kosmetik memiliki izin edar pula dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Kemudian, untuk produk daging segar memiliki izin edar dari Kementerian Pertanian. Sedangkan produk barang gunaan memiliki izin edar dan melengkapi ketentuan produk impor dari Kementerian Perdagangan maupun Kementerian Perindustrian.

Di dalam Pasal 29 ditegaskan bahwa semua produk yang harus bersertifikat halal diawasi oleh BPJPH dan kementerian maupun lembaga terkait yang berwenang. Pengawasan tersebut mencakup sembilan hal. Pertama, lembaga pemeriksa halal yang melakukan pengujian terhadap kehalalan produk tersebut. Kemudian, masa berlaku sertifikat halal, kehalalan produknya, pencantuman label halal, serta pencantuman keterangan tidak halal.

Selain itu, pengawasan juga dilakukan berkenaan dengan pemisahan lokasi, tempat, dan alat penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, serta penyajian antara produk halal dan tidak halal. Tak hanya itu, penyelia halal yang merupakan penanggung jawab atas proses produk halal juga diawasi. Demikian pula dengan produk luar negeri yang telah memperoleh sertifikat halal luar negeri dan kegiatan lain yang berkaitan dengan jaminan produk halal.

Menurut Pasal 33, selain pengawasan oleh pihak berwenang, masyarakat juga dapat melakukan pengawasan dalam bentuk pengaduan, pelaporan, atau permintaan penjelasan kepada BPJPH. Selanjutnya, jika terdapat bukti-bukti yang mengarah kepada adanya unsur tidak halal dalam suatu produk yang telah mendapatkan sertifikat halal atau mencantumkan label halal, maka BPJPH melakukan pemeriksaan.

Pasal 34 mengatur, jika hasil pemeriksaan BPJPH membuktikan bahwa produk tersebut mengandung unsur tidak halal, BPJPH membatalkan sertifikat halal. Selain pembatalan, BPJPH juga akan mengumumkan hasil pemeriksaannya tersebut kepada masyarakat. Selanjutnya, produk yang tidak halal itu wajib ditarik dari peredaran oleh pelaku usaha sejak tanggal ditetapkan.

Tags:

Berita Terkait