Efektivitas Executive Review Perda
Kolom

Efektivitas Executive Review Perda

Prioritas yang perlu dilakukan adalah menyiapkan aturan teknis yang jelas untuk menerapkan ketentuan dalam UU Pemerintahan Daerah dan penyiapan kapasitas termasuk struktur dalam Kementerian Dalam Negeri serta organisasi pemerintahan di tiap-tiap provinsi untuk menjalankan fungsi pengawasan ini.

Bacaan 2 Menit
Foto: Koleksi Penulis
Foto: Koleksi Penulis
Pemerintah menargetkan pembatalan sebanyak 3000 peraturan daerah (perda) sampai dengan Juni 2016. Sebelumnya pada pertengahan April 2016, Kementerian Dalam Negeri telah membatalkan sejumlah 920 peraturan yang dinilai menghambat investasi. Hingga saat ini persoalan pembatalan perda kerap mengisi pemberitaan di berbagai media. Hampir semua menyorot soal perda yang dianggap bermasalah beserta pembatalannya.

Persoalan yang Masih Belum Terurai
Banyaknya perda bermasalah tidak hanya terungkap pada pemerintahan Presiden Jokowi saat ini. Pada kurun waktu 2004-2009, pemerintah telah membatalkan 1691 perda. Data dari laporan penelitian yang dilakukan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) pada 2011 menunjukkan jumlah perda terbanyak yang dibatalkan adalah perda retribusi yaitu 1066 perda. Selanjutnya, perda pajak sejumlah 224 perda dan perda perizinan sebanyak 179 perda. Data lain dari laporan penelitian PSHK tersebut dalam kurun waktu 2004-2009 pembatalan perda terbanyak dilakukan pada 2009. Terdapat 830 perda yang dibatalkan pada tahun tersebut.

Kini perda dipersoalkan lagi. Untuk membuka peluang investasi yang lebih luas, pemerintah menyisir kembali perda bermasalah dan akan dibatalkan. Langkah ini patut diapresiasi. Tak dipungkiri bahwa terdapat praktik pembentukan perda yang ditujukan mendongkrak pendapatan daerah, sehingga menarik pungutan berupa retribusi maupun pajak menjadi cara cepat bagi pemerintah daerah. Hanya perlu membentuk perda, pungutan itupun bisa dilakukan. 

Pada titik ini, seolah pemerintah daerah yang mutlak menjadi penyebab banyaknya perda bermasalah tersebut. Pemerintahan daerah yaitu DPRD bersama kepala daerah yang mempunyai kewenangan legislasi di daerah. Namun apabila mencermati desain normatif otonomi daerah, terdapat kewenangan pemerintah pusat dalam mencegah maupun mengatasi perda bermasalah tersebut. Undang-Undang Pemerintahan Daerah baik itu UU No. 32 Tahun 2004 maupun penggantinya yaitu UU No. 23 Tahun 2014 (UU Pemerintahan Daerah) memberi kewenangan pemerintah mengawasi perda baik ketika masih bentuk rancangan perda maupun sesudah disahkan. Persoalannya bagaimana pemerintah (pusat) menjalankan kewenangan tersebut karena hingga saat ini masih banyak perda yang bermasalah?

Pengawasan Berjenjang, Prosedur Lama Ditambah Sanksi
Secara sederhana prosedur pengawasan berjenjang mengatur perda diawasi secara bertingkat oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat. Gubernur memiliki kewenangan mengawasi perda kabupaten/kota. Selanjutnya Menteri Dalam Negeri berwenang mengawasi perda provinsi. Pengawasan berjenjang ini diatur dalam UU Pemerintahan Daerah. Prosedur berjenjang juga diatur dalam undang-undang sebelumnya yaitu UU No. 32 Tahun 2004.

UU Pemerintahan Daerah memberi kewenangan pengawasan kepada Menteri dan Gubernur sampai dengan kewenangan pembatalan melalui instrumen berupa keputusan menteri dan keputusan gubernur (Pasal 251). Menteri berwenang membatalkan perda provinsi sedangkan gubernur berwenang membatalkan perda kabupaten/kota. Apabila gubernur tidak membatalkan perda maka Menteri yang akan membatalkan perda tersebut (Pasal 251 ayat (3)). Keputusan pembatalan ini harus ditindaklanjuti dengan pemberhentian pelaksanaan perda dan pencabutan perda yang dibatalkan. Apabila pemerintah daerah tidak menindaklanjuti pembatalan, UU Pemerintahan Daerah telah menyiapkan sanksinya. Ketentuan adanya sanksi bagi pemerintah daerah ini merupakan materi pengaturan baru yang tidak terdapat dalam undang-undang sebelumnya.

Ada dua bentuk sanksi yang akan diterima oleh pemerintah daerah yaitu sanksi administratif dan sanksi penundaan evaluasi rancangan perda. Sanksi administratif dikenakan kepada kepala daerah dan anggota DPRD berupa tidak dibayarkannya hak-hak keuangan selama tiga bulan (Pasal 252 ayat (3)). Khusus untuk perda retribusi dan pajak daerah, apabila pemerintah daerah masih memberlakukan perda yang dibatalkan maka akan dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan dana alokasi umum dan/atau dana bagi hasil (Pasal 252 ayat (2)).

Pemerintah daerah diberi hak berdasarkan UU Pemerintahan Daerah untuk mengajukan keberatan apabila tidak menerima keputusan pembatalan perda (Pasal 251 ayat (7) dan ayat (8)). Gubernur dapat mengajukan keberatan atas pembatalan perda provinsi kepada presiden. Sedangkan, bupati/walikota mengajukan keberatan kepada Menteri Dalam Negeri. Selama pengajuan keberatan, sanksi yang diatur dalam Pasal 252 ayat (3) tidak diberlakukan.

Model Pengawasan Antisipatif
UU Pemerintahan Daerah mengatur secara khusus prosedur pengawasan untuk delapan jenis rancangan perda (Pasal 245). Delapan jenis rancangan tersebut mengatur tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), APBD, perubahan APBD, pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah. Sebelum ditetapkan oleh kepala daerah, rancangan perda tersebut harus mendapatkan evaluasi yang dilakukan secara berjenjang.

Gubernur mengevaluasi rancangan perda kabupaten/kota, sedangkan Menteri Dalam Negeri mengevaluasi rancangan perda provinsi. Evaluasi rancangan perda tentang pajak dan retribusi daerah provinsi dilakukan melalui koordinasi Menteri Dalam Negeri dengan Menteri Keuangan, dan untuk rancangan perda tata ruang berkoordinasi dengan Menteri yang menyelenggarakan urusan tata ruang. Sedangkan, evaluasi rancangan kedua jenis perda tersebut untuk tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh gubernur melalui konsultasi dengan Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya, Menteri Dalam Negeri akan berkoordinasi dengan Menteri Keuangan untuk pajak dan retribusi daerah dan menteri yang menyelenggarakan urusan tata ruang untuk rancangan perda tata ruang. 

Selain itu, UU Pemerintahan Daerah mengatur mekanisme register perda (Pasal 242). Register ini dilakukan setelah rancangan perda disetujui bersama oleh DPRD dan kepala daerah. Gubernur dan bupati/walikota belum dapat menetapkan perda dan mengundangkan dalam lembaran daerah sebelum mendapat nomor register (Pasal 243 ayat (1)). Pemberian nomor register juga dilakukan secara berjenjang. Gubernur berwenang memberi nomor register untuk perda kabupaten/kota dan Menteri Dalam Negeri berwenang memberi nomor register untuk perda provinsi. Proses register ini dimaksudkan untuk mendukung tertib administrasi pelaporan perda dan membentuk informasi perda secara nasional.

Efektivitas Prosedur Pengawasan
Model pengawasan berjenjang yang memberi kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri dan melibatkan pemerintah provinsi merupakan prosedur lama yang tidak berjalan efektif. Persoalan yang muncul terutama terkait dengan pelaksanaan kewenangan pemerintah provinsi dalam melakukan pengawasan. Beban pengawasan perda merupakan beban yang tidak mudah baik terkait dengan jumlah perda maupun substansi yang harus dikaji. Kapasitas dan penugasan yang jelas bagi pelaksana pengawasan merupakan salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mengatur pengawasan berjenjang ini. Mekanisme yang diatur dalam pengawasan yang lama adalah dengan membentuk tim yang bersifat temporer baik untuk pengawasan oleh Kementerian Dalam Negeri maupun pemerintah provinsi. Padahal pengawasan ini merupakan tugas yang rutin dengan beban yang besar.

Persoalan lain yang muncul adalah tingkat ketaatan penyerahan perda untuk direview oleh pemerintah provinsi maupun Kementerian Dalam Negeri. UU Pemerintahan Daerah sudah mengantisipasi agar pemerintah daerah taat dalam menyerahkan perda dengan memberikan sanksi adminsitratif berupa teguran tertulis dari Menteri Dalam Negeri apabila Gubernur tidak menyerahkan perda, dan Gubernur memberikan sanksi teguran tertulis bagi bupati/walikota yang tidak menyerahkan perda (Pasal 249 ayat (2) dan ayat (3)). Implementasi kewajiban penyerahan perda ini seharusnya diimbangi dengan penyebaran informasi daerah yang tidak menyerahkan perda.

Permasalahan norma yang mengatur instrumen pembatalan perda juga menjadi salah satu penghambat efektivitas pengawasan perda. UU No. 32 Tahun 2004 mengatur pembatalan perda dilakukan oleh presiden melalui instrument peraturan pesiden (Pasal 145 ayat (3)). Namun, dalam prakteknya pembatalan perda dilakukan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Pengaturan lainnya, terkait masalah berkaitan dengan pembatalan perda pajak dan retribusi daerah. UU No. 29 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) mengatur pembatalan perda pajak dan retribusi daerah dilakukan oleh Presiden dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Pasal 158 ayat (5)). Padahal UU PDRD juga mengatur apabila Presiden tidak menerbitkan Perpres pembatalan maka perda tersebut tetap diberlakukan (Pasal 158 ayat (9)).  

Sejak diberlakukannya UU PDRD pada 1 Januari 2010, nampaknya pembatalan perda tidak pernah dilakukan lagi. Ada hambatan teknis ketika pembatalan perda harus melalui pembentukan Perpres. Dalam satu tahun, presiden bisa mengeluarkan ratusan Perpres untuk membatalkan perda. Dengan tidak adanya perpres pembatalan tersebut maka perda pajak dan retribusi daerah yang berpotensi menghambat investasi tetap diberlakukan sesuai ketentuan Pasal 158 ayat (9).  Dengan pengaturan UU PDRD yang saat ini masih berlaku, maka menjadi pertanyaan instrumen hukum apa yang akan digunakan pemerintah untuk membatalkan perda pajak dan retribusi daerah. Apakah akan mengeluarkan perpres sesuai ketentuan UU PDRD atau UU Pemerintahan Daerah yang pembatalannya dapat dilakukan oleh Gubernur dan Menteri Dalam Negeri. Tentunya ini akan menimbulkan perdebatan apabila pemerintah tidak menyelesaikan benturan ketentuan ini terlebih dahulu.

Kritik lain terkait dengan pengawasan perda oleh pemerintah ini adalah ketiadaan mekanisme pelaporan atau pengaduan dari masyarakat untuk mengadukan adanya perda-perda bermasalah. Hal ini juga berkaitan dengan pengawasan perda hanya dirasakan efektif bagi perda-perda pajak dan retribusi daerah. Perda di luar bidang tersebut jarang terdengar dibatalkan oleh pemerintah. Padahal berbagai pemberitaan banyak menyorot keberadaan perda yang bermasalah, di luar perda pajak dan retribusi daerah.

Prioritas Perbaikan
UU Pemerintahan Daerah telah mengatur model pengawasan berjenjang terhadap perda dengan dilengkapi ketentuan sanksi administratif bagi pemerintah daerah yang tidak menjalankan ketentuan dalam undang-undang tersebut. Namun, implementasi norma dalam UU Pemerintahan Daerah tersebut membutuhkan keseriusan dari Kementerian Dalam Negeri sebagai pelaksana utama pengawasan perda ini. Prioritas yang perlu dilakukan adalah menyiapkan aturan teknis yang jelas untuk menerapkan ketentuan dalam UU Pemerintahan Daerah dan penyiapan kapasitas termasuk struktur dalam Kementerian Dalam Negeri serta organisasi pemerintahan di tiap-tiap provinsi untuk menjalankan fungsi pengawasan ini.

Usulan lainnya terkait dengan penyampaian informasi kepada masyarakat, setidaknya meliputi informasi perda-perda yang dibatalkan dan penerapan sanksi bagi pemerintah daerah. Informasi ini diperkukan sebagai kontrol masyarakat terhadap tindaklanjut pemerintah daerah untuk menghentikan pelaksanaan perda yang dibatalkan serta pencabutannya. Di pihak pemerintah (pusat) juga perlu melakukan pengawasan pemerintah daerah terhadap tindaklanjut keputusan pembatalan perda. Tindakan yang juga mendesak dilakukan oleh pemerintah bersama DPR adalah melakukan sinkronisasi pengaturan pembatalan perda antara UU Pemerintahan Daerah dengan UU PDRD.

Pemerintah juga harus aktif merespon pemberitaan atau laporan masyarakat tentang adanya perda bermasalah baik perda yang berhubungan dengan pajak dan retribusi daerah maupun perda materi lainnya yang menimbulkan persoalan baru di masyarakat. Untuk mengefektifkan peran ini, pemerintah juga harus membuka akses bagi masyarakat untuk malaporkan adanya perda-perda yang dianggap bermasalah.  


* Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia 
Tags: