Catatan Penting Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Keuangan
Berita

Catatan Penting Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Keuangan

Hukum acara yang seragam menjadi hal penting.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Ragam jalur penyelesaian sengketa LAPS. Foto: www.ojk.go.id
Ragam jalur penyelesaian sengketa LAPS. Foto: www.ojk.go.id
Setidaknya, ada enam Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di sektor jasa keuangan yang dimuat dalam daftar lembaga telah ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Keenam LAPS itu mencakup penyelesaian sengketa di sektor perbankan, pasar modal, serta Industri Keuangan non Bank (IKNB), seperti asuransi, lembaga pembiayaan, dan dana pensiun.

Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK, Anto Prabowo mengatakan, penanganan sengketa melalui mekanisme khusus diperlukan karena konsumen butuh mekanisme pelayanan pengaduan dan penyelesaian sengketa yang cepat, murah, adil, dan efisien. Namun hal sebaliknya akan terjadi jika sengketa konsumen dibawa ke ranah pengadilan umum dimana proses penyelesaiannya memakan waktu lebih lama.

“OJK akan mengarahkan penyelesaian sengketa di industri jasa keuangan melalui LAPS,” ujar Anto saat memberikan pelatihan “Perkembangan Terkini Tugas Pokok dan Fungsi OJK” yang digelar di Bogor, Sabtu (4/6).

Berdasarkan Peraturan OJK (POJK) Nomor 1/POJK.07/2014 Tahun 2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaisan Sengketa di Sektor Jasa Keuangan ditetapkan tiga jenis layanan penyelesaian sengketa melalui LAPS, yakni mediasi, ajudikasi, dan arbitrase. Ketiga layanan ini bukanlah pilihan, tapi tahapan-tahapan yang dapat ditempuh.

Keberadaan LAPS menjadi pilihan antara konsumen dan Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) saat timbul sengketa. Namun, terdapat sejumlah catatan penting yang wajib diperhatikan oleh konsumen terkait tata cara penyelesaian sengketa keuangan di luar pengadilan. Pertama, penyelesaian melalui LAPS tidak bisa serta-merta langsung ditempuh. Pasal 2 POJK Nomor 1/POJK.07/2014 mengatur tata cara penyelesaian pertama kali mesti diselesaikan langsung dengan PUJK.

Langkah ini disebut dengan Internal Dispute Resolution (IDR) atau penyelesaian sengketa di internal lembaga jasa keuangan masing-masing. “OJK akan susun standarisasi Internal Dispute Resolution (IDR). Paling lama sebelum lebaran atau paling lambat setelah lebaran sudah selesai,” kata Anto.

Jika penyelesaian melalui IDR tak membuahkan hasil, konsumen bisa melanjutkan sengketa melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Jika diselesaikan lewat pengadilan, maka konsumen cukup mendaftarkan gugatan ke pengadilan niaga. Sementara, jika diselesaikan lewat jalur luar pengadilan (External Dispute Resolution/EDR), konsumen punya dua langkah yang bisa ditempuh, yakni fasilitasi terbatas oleh OJK dan melalui LAPS.

Pada tahap fasilitasi terbatas oleh OJK, antara konsumen dan PUJK yang bersepakat selanjutnya dibuat akta kesepakatan yang ditandatangani kedua belah pihak. Jika tidak ada kesepakatan, maka konsumen dapat meneruskan melalui LAPS. “OJK selaku pengawas dan regulator tidak menangani kasus melainkan hanya melakukan klarifikasi dan verifikasi,” jelasnya.

Kedua, sebetulnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan lewat LAPS tidak bersifat mutlak. Konsumen masih dimungkinkan memilih jalur penyelesaian luar pengadilan lain sepanjang terdapat kesepakatan antara kedua belah pihak dan lembaga penyelesaian sengketa tersebut memahami karakteristik industri keuangan. Pasalnya, jauh sebelum LAPS terbentuk, telah lebih dulu ada lembaga penyelesaian sengketa konsumen, seperti Badan Penyelesaian Sengketa  Konsumen (BPSK) yang masih diberi wewenang lewat Pasal 23 UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen untuk menyelesaikan sengketa.  “BPSK harus dapat persetujuan kedua belah pihak. Jika tidak maka kembali lihat klausul perjanjian,” katanya.

Sayangnya, mayoritas pelaku usaha justru mengeluhkan kondisi dimana masih terbuka kemungkinan sengketa diselesaikan melalui BPSK. Putusan-putusan BPSK sering melampaui kewenangan seperti membatalkan perjanjian kredit, membatalkan lelang, meminta konsumen tidak membayar ke PUJK, hingga menjatuhkan hukum pidana terhadap pengurus PUJK. Satu kritik lainnya, BPSK juga seringkali memutus sengketa konsumen yang tidak berdasarkan kesepakatan para pihak, yakni konsumen dan PUJK.

Bahkan, sejumlah PUJK juga mengadukan hal ini kepada OJK dan meminta agar keberadaan LAPS dipertegas sebagai choice of forum penyelesaian sengketa di industri keuangan. Lagipula, Pasal 45 ayat (2) UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh baik lewat pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Berbagai keluhan tersebut agaknya didengar dan ditanggapi oleh pihak OJK.

Anto mengatakan bahwa saat ini sedang disusun regulasi yang pada intinya akan mempertegas keberadaan LAPS sebagai jalan yang wajib ditempuh ketika timbul sengketa keuangan. Caranya, dengan membuat kebijakan pencantuman klausula penyesaian sengketa melalui LAPS dalam setiap perjanjian atau kontrak antara konsumen dan PUJK. OJK mengklaim ‘klausula baku’ tersebut diperbolehkan sepanjang tidak bertentangan dengan kebebasan berkontrak, syarat sah perjanjian, posisi yang setara dan tidak terdapat penyalahgunaan keadaan.

“Ke depan kita mendorong penyelesaian sengketa itu ditanyakan dulu ke konsumen, mau lewat pengadilan atau LAPS. Kita sedang dalam proses menyusun Surat Edaran OJK (SEOJK) yang mengatur pencantuman klausula melalui LAPS. Saat ini sedang susun naskah akademik, kalau Dewan Komisioner OJK oke, kita susun regulasinya. Saat ini baru tahap siapkan latar belakang dan urgensinya,” sebutnya.

Dalam suatu kesempatan, Partner dari Firma Hukum Ricardo Simanjuntak & Partners, Ricardo Simanjuntakmenyampaikan bahwa yang mesti diperhatikan oleh konsumen atau PUJK terkait dengan penyusunan kontrak dalam konteks penyelesaian sengketa melalui jalur arbitrase. Pertama, klausul penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak bisa diimplementasikan dalam praktek jika dalam kontrak hanya disebutkan klausul “Diselesaikan melalui LAPS POJK”.

Menurutnya, jika hanya disebut seperti itu, secara otomatis hanya jalur mediasi dan ajudikasi saja yang bisa dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Sebab, untuk dapat menempuh jalur arbitrase, Ricardo berpendapat kontrak tersebut mesti secara tegas menyatakan bahwa ketika terjadi sengketa dapat juga diselesaikan melalui “Arbitrase dan LAPS OJK”. Argumentasi yang ia bangun berangkat dari konsekuensi hukum dimana ada perbedaan mendasar antara jalur yang disepakati kedua belah pihak untuk ditempuh.

Dimana, kesepakatan pada mediasi dan ajudikasi, pihak konsumen punya hak untuk mengingkari kesepakatan tersebut. Sedangkan, PUJK tetap terikat dengan kesepatakan tersebut. Sekilas memang terjadi ketidakseimbangan antara konsumen dan PUJK jika memilih melakukan penyelesaian lewat mediasi dan ajudikasi. Dimana pihak konsumen bisa ‘melepaskan’ diri terhadap kesepakatan yang telah dibuat sementara PUJK mau tidak mau meskipun kondisi tersebut sangat merugikan tetap terikat dengan kesepakatan tersebut.

Hukum Acara Khusus
Ricardo mengatakan bahwa dalam rangka penegakan hukum, mutlak diperlukan hukum acara yang seragam. Tak cuma soal hukum acara, juga diperlukan kode etik, dewan kehormatan, hingga dewan pengawas yang diperuntukan untuk LAPS OJK. Problemnya, LAPS OJK masih terpisah-pisah. Dalam arti, masing-masing sektor berlum berada dalam payung lembaga yang sama.

Pasal 4 huruf b POJK Nomor 1/POJK.07/2014 Tahun 2014 tentang LAPS di Sektor Jasa Keuangan menyebutkan bahwa LAPS mesti mempunyai peraturan terkait dengan prosedur, biaya, jangka waktu, serta kode etik bagi mediator, ajudikator, dan arbiter. Artinya, keenam LAPS OJK masing-masing mesti memiliki prosedur hukum acara yang menjadi pedoman sebagai rujukan saat penanganan sengketa. Tanpa hukum acara yang seragam, Ricardo khawatir akan ada celah bagi oknum yang ingin melakukan tindakan-tindakan yang koruptif.

“Perlu standarisasi business process dan code of conduct. Tanpa hukum acara yang seragam, akan ada celah untuk pelaku yang ingin melakukan tindakan koruptif,” ujar Ricardo sekira akhir Maret 2016 di Jakarta.

Terhadap usulan tersebut, OJK merespon bahwa kebutuhan akan hukum acara khusus belum saatnya diatur. Sementara ini, OJK masih belum ingin masuk terlalu jauh untuk mengatur konteks hukum acara dalam LAPS OJK. Namun, tak menutup kemungkinan dalam perjalanannya nanti jika dirasa perlu atau ada kebutuhan tersebut, OJK memungkinkan hal tersebut untuk diregulasi.

“Kalau kita masuk terlalu jauh, bayangan saya itu kita masuk dalam wilayah yang sebetulnya bukan wilayah otoritas. OJK hanya pastikan dua belah pihak punya sarana (di LAPS) dan LAPS itu berfungsi sesuai tata cara yang disusun. Sementara sih belum karena kami melakukan evaluasi hukum acara sudah sesuai undang-undang arbitrase dan segala macam,” jelas Anto.

Menurutnya, roadmap jangka panjang OJK nantinya akan menyatukan enam LAPS yang terdaftar ke dalam satu wadah (singlebar). Hingga saat ini, upaya penyatuan tersebut masih pada tahap pembahasan dengan pihak terkait. Sebagai tindak lanjutnya, OJK sudah membentuk working group yang membahas secara intens kemungkinan dipercepatnya penyatuan ini. Sebab, kata Anto, jika merujuk pada roadmap berarti penyatuan tersebut baru akan diimplementasikan paling lambat 10 tahun ke depan.

OJK sendiri berharap proses penyatuan ini bisa dipangkas lebih cepat dari yang ditentukan. Namun, kata Anto, OJK tidak bisa memaksakan dan mengarahkan keenam lembaga tersebut dalam menentukan waktu penyatuan tersebut. OJK hanya punya kapasitas untuk mendorong keenam lembaga bila penyatuan tersebut dinilai oleh mereka akan lebih mengefisienkan dan mengefektifkan proses penanganan sengketa. Biarkan keenam lembaga tersebut yang menentukan dan menyepakati apa yang dianggap tepat.

Jika keenam LAPS sudah berada dalam satu wadah, bukan tidak mungkin akan muncul kebutuhan akan hukum acara khusus untuk penanganan sengketa di LAPS. Untuk saat ini, memang dirasa belum ada kebutuhan akan hukum acara khusus lantaran masing-masing LAPS telah memiliki hukum acara melalui Standar Operasional (SOP) yang secara teknis tidak jauh berbeda satu dan lainnya.“Kalau itu (hukum acara, red) iya nanti ketika jadi satu (wadah tunggal LAPS),” katanya.
Tags:

Berita Terkait